Menjajal Popularitas untuk Memimpin Jawa Barat
Genderang pertarungan antartokoh di Jawa Barat sudah mulai ditabuh meski perhelatan politik baru digelar setahun lagi. Tokoh-tokoh berpotensi terus bermunculan seiring safari politik parpol untuk menjaring calon yang akan diusung dalam pemilihan gubernur pada Juni 2018.
Deklarasi dukungan Partai Nasional Demokrat kepada Wali Kota Bandung Ridwan Kamil untuk maju sebagai calon Gubernur Jabar pada 19 Maret 2017 memicu hiruk-pikuk politik di kawasan Jawa Barat. Nasdem seolah-olah menabuh genderang pemilihan gubernur Jabar lebih awal untuk memancing reaksi elemen-elemen politik di provinsi ini.
Alhasil, beberapa partai politik yang memiliki pengaruh kuat di Jabar buru-buru menggadang-gadang kader mereka yang potensial untuk dihadapkan dengan jagoan Nasdem. Betapa tidak, Jawa Barat adalah lumbung suara terbesar di negeri ini dan secara tradisional adalah basis Golkar, PDI-P, dan PPP, tiga parpol ”kawakan”.
Langkah Nasdem ini terbilang berani lantaran pengalaman berpolitik yang masih relatif baru dan hanya memiliki dukungan politik riil pada Pemilu 2014 sebesar 4,6 persen. Meskipun partai yang dipimpin Surya Paloh ini berkali-kali menekankan asas ”politik tanpa mahar”, deklarasi tanpa koalisi yang kuat bisa saja dianggap sebagai tindakan yang terlalu berani.
Tindakan Nasdem terbilang nekat karena mereka tahu kekuatan pemilih dan simpatisan Nasdem secara jumlah tidak berpengaruh signifikan terhadap elektabilitas Ridwan Kamil atau yang akrab disapa dengan Kang Emil.
”Tindakan Nasdem mencalonkan Ridwan Kamis termasuk tindakan yang berani, bahkan nekat.”
Sebaliknya, partai-partai yang sudah kaya pengalaman dan memiliki jam terbang tinggi dalam kancah politik di Jabar masih terlihat adem ayem. Partai Golkar, misalnya, meskipun memiliki kader yang berkualitas, seperti Dedi Mulyadi (saat ini menjabat Bupati Purwakarta sekaligus Ketua DPD Golkar Jabar), masih menahan diri untuk mendeklarasikan kandidatnya.
Dedi Mulyadi sendiri meskipun memiliki kans terkuat untuk dicalonkan Golkar, tetap membuka peluang kepada kader Golkar dan tokoh-tokoh lain untuk mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di Jabar. Begitu juga dengan PDI-P, partai pemenang Pemilu 2014 yang menguasai 20 persen kursi DPRD Jabar.
Kendati memiliki peluang yang paling besar untuk mengajukan calon gubernur sendiri, tampaknya ”Partai Moncong Putih” ini masih memperhitungkan tingkat elektabilitas kader-kader potensialnya. Sebut saja Ketua DPD PDI-P Jabar TB Hasanudin atau Ineu Purwadewi, Ketua DPRD Jabar.
Partai Keadilan Sejahtera, meski tidak memiliki dominasi suara pemilih dan kursi DPRD, performa partai ini dalam Pilkada Jabar terbilang bagus. Terbukti, selama dua kali pemilihan gubernur, ”Partai Dakwah” ini selalu sukses mengantarkan calon yang diusungnya menjadi gubernur terpilih.
Untuk menghadapi pilkada tahun depan, PKS sudah menggadang-gadang kandidatnya sendiri, yaitu Deddy Mizwar, Wakil Gubernur Jabar saat ini, dan Netty Prasetiani, istri Gubernur Jabar Ahmad Heryawan.
Partai Persatuan Pembangunan pun tidak mau ketinggalan dalam meramaikan bursa calon gubernur Jabar kali ini. Salah satu kader partai yang kini digadang-gadang untuk maju sebagai cagub adalah Bupati Tasikmalaya Uu’ Ruzhanul Ulum.
PKS sudah menggadang-gadang kandidatnya sendiri, yaitu Deddy Mizwar, Wakil Gubernur Jabar saat ini, dan Netty Prasetiani.
PPP memilih Bupati Tasikmalaya ini lantaran pemilih ”Partai Kabah” di Jabar mayoritas berasal dari daerah Tasikmalaya dan sekitarnya. PPP di Jabar sendiri cukup populer di kalangan pemilih Islam di Jabar.
Partai-partai lain yang memiliki kursi di DPRD Jabar, seperti Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat, pun sudah mempersiapkan bakal calon gubernur sendiri meskipun untuk mendapatkan tiket lolos pencalonan masing-masing partai harus berkoalisi untuk menggenapkan ketentuan minimal dukungan yang diperintah oleh undang-undang.
Nama Desy Ratnasari anggota DPR dari Fraksi PAN disebut-sebut sebagai salah satu kandidat kuat dari ”Partai Matahari Putih” ini. Sementara Partai Demokrat dikabarkan masih menjagokan Dede Yusuf, mantan Wagub Jabar.
Peta politik
Di atas kertas, PDI-P merupakan satu-satunya parpol yang memiliki kekuatan dukungan untuk mengajukan calon sendiri tanpa koalisi. Golkar, PKS, Demokrat, dan Gerindra cukup berkoalisi dengan satu partai sudah bisa mendapatkan tiket lolos pencalonan gubernur. Sementara PAN, PPP, PKB, Nasdem, dan Hanura masih perlu bekerja keras untuk menarik partai-partai lain dalam satu koalisi besar untuk bisa meloloskan kandidat yang akan diusung.
Tren politik yang berkembang dalam pilkada serentak menunjukkan, koalisi menjadi pilihan yang paling banyak dilakukan partai politik untuk mendapatkan dukungan yang meyakinkan. Hanya di daerah yang menjadi basis kekuatan partai sebuah parpol berani mengajukan calon kepala daerah tanpa koalisi.
Dengan kata lain, parpol cenderung akan memilih koalisi jika penguasaan dukungan di daerah tersebut kurang meyakinkan meskipun merupakan pemenang pemilu.
Peta politik Jabar berdasarkan hasil Pemilu 2014 menunjukkan bahwa PDI-P merupakan pemenang pemilu dengan perolehan suara 2.072.727 (17,8 persen) dan menguasai 20 kursi DPRD. Kendati PDI-P belum menyatakan akan membentuk koalisi untuk mengusung calon gubernur, bukan berarti partai ini hendak menutup diri untuk bergabung dengan partai lain. Artinya, pilihan koalisi menjadi sebuah keniscaayaan bagi partai ini.
Ada dua kondisi obyektif yang membuat koalisi menjadi keniscayaan bagi PDI-P dan partai-partai politik lain dalam Pilkada Jabar kali ini. Pertama, karakter pemilih Jabar yang dinamis yang bisa dilihat pada perolehan suara parpol dalam hasil pemilu.
Sejak Pemilu 2004, tidak ada satu parpol pun yang tampil sebagai pemenang dengan dukungan suara yang signifikan. Pemilu 2004, Golkar mendominasi dukungan mayoritas pemilih Jabar. Hasilnya, Golkar tampil sebagai pemenang dengan menguasai 28 kursi DPRD. Pada Pemilu 2009, dominasi Golkar dipatahkan Demokrat yang berhasil menguasai 28 kursi DPRD. Pemilu 2014 PDI-P tampil sebagai pemenang.
Kedua, pemenang pemilu belum pernah memenangi pilgub secara langsung di Jabar. Pilgub 2008 menampilkan tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Secara kasatmata, paslon yang diusung Golkarlah yang akan memenangi pilkada tersebut.
Selain memiliki kekuatan sebagai pemenang Pemilu 2004, pasangan yang diusung, yakni Danny Setiawan-Iwan R Sulandjana, adalah petahana. Faktanya, pasangan tersebut hanya mengantongi 24,95 persen suara pemilih dan dinyatakan kalah.
Pilkada Jabar 2013 diikuti lima paslon, yaitu 3 paslon dari parpol dan 2 paslon perseorangan. Partai Demokrat selaku pemenang Pemilu 2009 mengusung pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana. Kali ini Demokrat berkoalisi dengan PAN, Gerindra, dan PKB.
Posisi Demokrat dalam pilkada saat itu sama dengan posisi Golkar pada Pilkada 2003, sebagai pemenang pemilu dan calon gubernur yang diusung, yaitu Dede Yusuf merupakan petahana Wagub Jabar. Hasilnya, pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana hanya mampu meraih dukungan sebesar 25,24 persen. Paslon dari Partai Demokrat yang notabene adalah pemenang Pemilu 2009 dinyatakan kalah.
Kedua kondisi ini akan menjadi pelajaran bagi PDI-P sebagai pemenang Pemilu 2014 untuk mengusung bakal cagub pada Pilkada Jabar tahun depan. Jika harus berkoalisi, pilihan mitra koalisi yang bisa menjaga komitmen untuk memenangi pilkada harus menjadi syarat utama. Pelajaran ini juga penting bagi Golkar dan Demokrat serta partai-partai lain yang ingin memenangi pilkada ini.
Jika harus berkoalisi, pilihan mitra koalisi yang bisa menjaga komitmen untuk memenangi pilkada harus menjadi syarat utama.
Dalam Pilkada 2013 PDI-P mengusung pasangan Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki dengan perolehan suara 28,41 persen. Angka ini terpaut relatif kecil dari paslon pemenang, Ahmad Heryawan-Dedy Mizwar yang diusung PKS, PPP, dan Hanura.
Kuda hitam PKS
PKS meskipun belum pernah menjadi pemenang pemilu di Jabar, posisinya dalam menentukan kemenangan pilkada sangat strategis. Terbukti, dalam dua pilgub Jabar, kemenangan paslon ditentukan kehadiran PKS. Pada Pilgub 2003, PKS—bersama PAN—mengusung pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf.
Koalisi dua partai papan tengah ini memang terasa lemah lantaran kekuatan politik keduanya yang terbilang kecil, ditambah dengan paslon yang diusung juga masih muda dan relatif baru dalam politik praktis. Dari tiga paslon yang bertarung, boleh jadi paslon dari PKS dan PAN ini yang disepelekan lawan-lawan politiknya.
Namun, tanpa diduga pasangan Aher-Dede Yusuf-lah yang memenangi pilkada dengan perolehan suara 40,50 persen.
Tanpa diduga pasangan Aher-Dede Yusuflah yang memenangi pilkada.
Kemenangan ini menjadi modal politik yang kuat bagi PKS dan PAN untuk menghadapi Pemilu 2009 di Jabar dan Pilkada 2013. Struktur politik pasca-Pemilu 2009 mengalami perubahan yang berpengaruh juga terhadap lanskap politik di Jabar. Perubahan ini tecermin dari pola dukungan partai dalam Pilkada 2013.
Partai Demokrat berhasil merangkul PAN—mitra koalisi PKS dalam Pilkada 2008—sekaligus memboyong Dede Yusuf untuk dijadikan sebagai calon orang nomor 1 di Jabar. Sebaliknya, PKS tetap mempertahankan Ahmad Heryawan, gubernur petahana, sebagai cagub, lalu merangkul PPP dan Hanura. Peta pertarungan kali ini menempatkan PKS dan PAN secara frontal karena kedua partai inilah yang mengorbitkan dua calon petahana yang bertarung dalam Pilkada 2013.
Hasilnya, kandidat dari PKS, Ahmad Heryawan-Dedy Mizwar yang keluar sebagai pemenang.
Pada Pilkada 2018, sosok Ahmad Heryawan yang merupakan daya tarik PKS tidak akan tampil lagi karena sudah dua periode menjabat Gubernur Jabar. Nama Dedy Mizwar disebut-sebut memiliki kans untuk diorbitkan sebagai pengganti Aher.
Popularitas Dedy sebagai aktor kawakan dianggap memiliki potensi untuk mendongkrak popularitas paslon dari PKS. Selain Dedy, nama istri Ahmad Heryawan, Netty Prasetiani, juga sudah mulai digadang-gadang oleh kader PKS untuk dimasukkan dalam bursa cagub Jabar 2018-2023.
Selain mempersiapkan figur pengganti, PKS juga mulai mengamati calon mitra koalisi yang dinilai pantas dan sejalan dalam menyukseskan kemenangan kandidat mereka. Boleh jadi, Gerindra sudah masuk dalam hitungan karena partai ini berhasil menjaga komitmen dalam memenangkan cagub mereka dalam Pilkada DKI.
Apalagi, hingga sekarang Gerindra belum menemukan sosok cagub yang layak untuk ditawarkan kepada pemilih Jabar. Sosok Ridwan Kamil yang pernah digadang untuk dicalonkan sebagai cagub sudah dipinang Nasdem.
Golkar hingga sekarang masih menjagokan kadernya sendiri, yaitu Dedi Mulyadi. Meski belum dideklarasikan secara terbuka, langkah-langkah dukungan yang dilakukan pengurus tingkat wilayah terhadap Bupati Purwakarta ini semakin hari semakin bertambah.
Sosok kesundaan dan gaya kepemimpinan yang merakyat dianggap pendukungnya sebagai keunggulan Dedi untuk dicalonkan.
Sosok Sunda dan gaya kepemimpinan merakyat menjadi keunggulan Dedi Mulyadi.
Ridwan Kamil yang dikenal sebagai sosok pemimpin yang inovatif dan kreatif dianggap ideal untuk memimpin Jabar yang wilayah dan penduduknya paling besar se-Indonesia. Namun, untuk di beberapa kawasan, terutama pantura, sosok Kang Emil belum dikenal masyarakat.
Nama Ridwan Kamil terbilang popular hanya di kalangan kelas menengah dan masyarakat perkotaan. Kondisi yang sama juga terjadi pada sosok Uu’ Ruzhanul Ulum, sosok yang dijagokan PPP. Nama Uu’ cukup populer di kawasan Tasik dan sebagian wilayah Jabar bagian timur yang didominasi PPP.
Kekuatan Uu’ di luar basis PPP perlu diuji kembali karena di beberapa kawasan yang sudah menjadi daerah basis partai, sosok di luar partainya sulit diterima masyarakat.
Bagi parpol, Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang menjadi barometer kekuatan politik untuk mengukur prestasi politik pada Pemilu 2019. Untuk itu, memenangi Pilkada Jabar 2018 merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi.
Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang menjadi barometer kekuatan politik untuk mengukur prestasi politik pada Pemilu 2019.
(SULTANI/LITBANG KOMPAS)