Para penyair berkelas ”Pos Budaya” telah membuktikan bahwa dunia kepenyairan di Bali terus bergerak.
Oleh
Cokorda Yudistira dan Putu Fajar Arcana
·4 menit baca
ARSIP IDAYATI
Suasana peluncuran antologi puisi Blengbong di Gedung Kriya, Taman Budaya Denpasar, Selasa (25/5/2021). Peluncuran buku ini juga disertai Pameran Sketsa Nyoman Wirata yang merespons puisi-puisi para penyair.
Umbu punya cara yang unik untuk mendidik para penyair. Ia mengibaratkan halaman sastra yang diasuhnya seperti lapangan sepak bola. Di situ, para penyair bisa bekompetisi melalui tahapan-tahapan yang ia beri istilah sendiri, untuk kemudian ”dinobatkan” sebagai penyair berkelas ”Pos Budaya”.
Sejak era akhir tahun 1980-an, menurut catatan Ketut Syahruwardi Abbas, setidaknya ratusan penyair telah dilahirkan dalam kelas ”Pos Budaya” di halaman sastra Bali Post Minggu. Upaya untuk melacak keberadaan para penyair itu, menurut Abbas, tidak mudah karena berbagai alasan. Banyak di antara mereka, misalnya, sudah tidak menulis lagi atau benar-benar tidak ketahuan keberadaannya. ”Jadi hanya 58 penyair yang kami undang, tentu dengan berbagai kriteria,” katanya.
Abbas bersama dua penyair lainnya, GM Sukawidana dan Wayan Jengki Sunarta, telah menyusun satu buku yang berisi puisi-puisi para penyair yang dikategorikan ”Pos Budaya”. Buku antologi bertajuk Blengbong itu telah diluncurkan pada Selasa (25/5/2021) di Gedung Kriya, Taman Budaya Denpasar. Lebih istimewa lagi, peluncuran buku bersejarah itu, disertai dengan pameran sketsa karya Nyoman Wirata, yang merespons puisi-puisi para penyair, termasuk beberapa puisi karya Umbu Landu Paranggi.
Menurut Jengki, puisi-puisi dalam ”Pos Budaya” yang terbit antara tahun 1980-an sampai 1990-an dikategorisasi kualitasnya sama dengan puisi-puisi yang terbit di majalah sastra Horison pada periode yang sama. Pada saat itu, rubrik puisi di Horison diampu oleh Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, yang aktif menulis puisi sampai kini.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Suasana menjelang pembukaan pameran sketsa yang dilangsungkan serangkaian peluncuran buku antologi sajak berjudul Blengbong berlangsung di Gedung Kriya Taman Budaya Bali, Kota Denpasar, Selasa (25/5/2021).
Umbu, tambah Jengki, membuat tahapan-tahapan berdasarkan kualitas puisi yang dikirim para penyair. Pada awalnya adalah kategori ”pawai”, kemudian ”kompetisi”, ”kompetisi promosi”, dan puncaknya ”pos budaya”. ”Dan ini bisa berlangsung bertahun-tahun. Bisa jadi di tengah jalan seorang penyair gugur alias menyerah dan tidak menulis lagi,” kata Jengki.
Pada saat peluncuran Blengbong, penulis dan pembaca puisi Putri Suastini Koster mengatakan, penerbitan buku para penyair berkelas ”Pos Budaya” ini telah membuktikan bahwa dunia kepenyairan di Bali terus bergerak. ”Seni kontemporer di mana puisi ada di dalamnya terbukti terus menggeliat. Jadi Bali tak hanya seni tradisi, seni kontemporer pun tumbuh baik,” katanya.
Akademi puisi
Penyair Nyoman Wirata, yang membuat sketsa puisi-puisi dalam Blengbong, mengatakan, upayanya merespons puisi menjadi sebentuk sketsa sama hakikatnya seperti menulis puisi. ”Bedanya saya berangkat dari teks untuk mewujudkannya menjadi garis dan gambar, tetapi proses kreatifnya sama saja,” katanya.
Hanya puisi seperti berangkat dari ruang hampa, ruang imajinasi, sementara sketsa dari ruang yang ada dalam kata-kata.
Tak jarang satu puisi membutuhkan waktu berhari-hari untuk dialihkreasikan menjadi karya sketsa. Pengalaman estetik serupa juga ia alami ketika sedang menulis puisi. ”Hanya puisi seperti berangkat dari ruang hampa, ruang imajinasi, sementara sketsa dari ruang yang ada dalam kata-kata,” kata Wirata. Sebagai bentuk apresiasi kepada para penyair, Wirata menghadiahkan karya-karya sketsanya kepada para penyair yang puisi-puisi terangkum dalam Blengbong.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Judul sebuah sketsa yang dipamerkan di Gedung Kriya Taman Budaya Bali, Kota Denpasar, Selasa (25/5/2021).
Penyair Warih Wisatsana, salah satu ”murid” Umbu mengatakan, cara Umbu melahirkan para penyair seperti belajar dalam sebuah akademi. Ia meninggalkan profesinya sebagai jurnalis tahun 1990-an, karena menerima ”surat kreatif” dari Umbu. Dalam surat itu, Umbu, antara lain, mengatakan, kreativitas membutuhkan totalitas tanpa pamrih. ”Dia harus ditekuni secara serius jika ingin mendapatkan puisi yang bernas nan cerdas,” ujar Warih menirukan surat Umbu.
Karena Bali ibarat pulau sastra, pulau yang setiap aktivitas manusianya dimulai dari susastra. Ingat lagi soal subak atau ilmu salak itu, semua itu dari susastra.
Sejak menerima surat itu, Warih seperti berpindah kuliah. ”Tadinya saya ingin jurnalistik jadi basis kreatif saya, tetapi kemudian ada pilihan lain, mengikuti Akademi Puisi dari Umbu hahaha…” katanya. Jangan membayangkan akademi puisi Umbu benar-benar seperti sebuah sekolah. Warih bermaksud mengatakan bahwa Umbu memberi pelajaran hidup lewat puisi. Ia menyodorkan rumus-rumus hidup lewat kontak di koran atau apresiasi-apresiasi puisi setiap minggu, yang disebut gradug-grudug (main-main).
KOMPAS/EDDY HASBY
Umbu Landu Paranggi, Oktober 2016.
Sesungguhnya Blengbong dirancang ketika Umbu masih segar-bugar. Dalam buku juga dimuat hasil wawancara Umbu yang ditulis sebagai prolog berjudul ”Pulau Sastra”. Umbu, antara lain, mengatakan, bersastra di Bali tidak sama dengan belajar sastra secara akademis di sekolahan. ”Karena Bali ibarat pulau sastra, pulau yang setiap aktivitas manusianya dimulai dari susastra. Ingat lagi soal subak atau ilmu salak itu, semua itu dari susastra,” katanya.
Sayangnya, pada 6 April 2021 lalu Umbu dipanggil Tuhan. Ia sendiri tak sempat melihat hasil ”kurasinya” selama 20 tahun, telah menghasilkan para penyair berkelas internasional, yang kini mewarnai dunia perpuisian di Tanah Air.