Ironisnya, Tanah Air untuk tahanan politik seperti penyair Hersri Setiawan adalah Pulau Buru. Sembilan tahun ia ditahan, disiksa lahir batin. Pantai Sanleko diabadikannya dalam puisi.
Oleh
Linda Christanty
·5 menit baca
ARSIP PRIBADI
Linda ChristantyARSIP PRIBADI
Orang Kurdi telah menjadi satu spesies burung. Mereka melintasi robekan halaman-halaman sejarah yang menguning, mengelana. Kajal Ahmad, penyair perempuan Kurdi, mengandaikan ini dalam puisinya, ”Burung-Burung”. Ia menegaskan pada bait lain: Ya, orang Kurdi adalah burung!/ dan bahkan ketika/ tiada tempat tersisa/ tiada perlindungan bagi rasa sakitnya/ mereka berpaling kepada ilusi bepergian/ antara iklim hangat dan dingin Tanah Air.
Kajal lahir di Kirkuk, kota di Kurdistan, sebuah negeri yang diimpikan, yang masih menjadi sengketa dengan Irak. Kini ia menetap di Jordania, negeri asing.
Sebagaimana Kajal, diperkirakan jutaan orang Kurdi menjadi diaspora di berbagai negeri Timur Tengah dan Eropa Barat. Jumlah pasti tidak diketahui, karena mereka sering menutup diri. Identitas menjadi tanda bahaya.
Saya menemukan puisi Kajal pertama kali dalam My Voice: A Decade of Poems from The Poetry Translation Centre, antologi puisi dwibahasa yang disunting Sarah Maguire. Buku itu berisi 111 puisi yang ditulis 45 penyair dari 27 negara dan terbit di London, Inggris, pada 2014. Sejumlah puisi ditulis penyair yang pernah mengalami pemenjaraan atau yang terasing dari negerinya.
Saya gembira menemukan puisi Toeti Heraty, satu-satunya penyair Indonesia dalam antologi tersebut. Ia menyuarakan kemerdekaan perempuan atas tubuh dan menolak kiasan yang menghalangi melalui ”Post Scriptum”: Ingin aku tulis/ sajak porno sehingga/ kata mentah tidak diubah/ jadi indah, pokoknya/ tidak perlu kiasan lagi.
Meninggalkan tanah kelahiran, karena rasa terancam, bukan bepergian yang menyenangkan. Pada tahun My Voice terbit, saya pergi ke Den Haag untuk menghadiri acara sastra yang diselenggarakan Winternachten Festival. Kisah penyair Rodaan Al Galidi membuat saya tercenung. Ia kabur dari Irak pada 1998. Ia mengelabui petugas imigrasi dengan paspor palsu untuk menjadi penduduk gelap di Belanda. Permohonan suakanya dikabulkan sembilan tahun kemudian.
Saya mencoba menelusuri nama keluarga Rodaan, Al Galidi. Tidak ada Al Galidi lain, kecuali Rodaan. Tidak ada Rodaan, kecuali nama dirinya.
Latif Tas, peneliti dari SOAS University of London, menulis buku Legal Pluralism in Action: Dispute Resolution and the Kurdish Peace Committee, yang juga terbit pada 2014 dan mengungkap alasan orang Kurdi melarikan diri dari Turki ke Inggris. Tidak hanya ancaman fisik yang dialami mereka, juga budaya. Warna turut menentukan nasib.
”Saat ini orang Kurdi di Turki tidak dapat mengenakan warna tradisional mereka (kuning, merah, dan hijau) di depan umum: hal itu dapat menyebabkan pemenjaraan atau bahkan membahayakan nyawa mereka,” tulisnya.
Keselamatan belum tentu terwujud di negeri lain. Pada 9 Januari 2013, beberapa minggu sesudah Tas mewawancarai Sakine Canziz, aktivis perempuan Kurdi ini dibunuh di Paris bersama dua perempuan aktivis lainnya, Fidan Dogan dan Leyla Söylemez.
Dalam bukunya Agha, Shaikh and State: The Social and Political Structures of Kurdistan, Martin van Bruinessen, antropolog dan profesor emeritus dari Utrecht University, mengatakan bahwa perampasan tanah-tanah Kurdi pun terjadi secara masif. Tanah ağa (pemimpin tradisional) dan sheikhs (pemimpin keagamaan) diambil paksa oleh Pemerintah Turki dengan topeng melawan feodalisme, lalu diserahkan kepada orang Turki. Penelitian Bruinessen berlangsung di wilayah Kurdi di Suriah, Turki, Irak, dan Iran, antara tahun 1974 hingga 1976.
Negara Kurdi merdeka pertama kali dicetuskan dalam pengertian modern setelah Kekaisaran Turki kalah perang dari Sekutu. Perjanjian Sevres yang disepakati pasca-Perang Dunia I itu mendukung pendirian negara Armenia dan negara Kurdistan. Republik Turki berdiri pada 1924, tetapi Kurdistan tidak terbentuk jadi negara.
Abdullah Ocalan, salah seorang pemimpin politik terpenting Kurdi, melanjutkan cita-cita memperjuangkan negara Kurdistan, yang meliputi wilayah di empat negara (Iran, Suriah, Irak, Turki) sesuai Perjanjian Sevres. Kurdistan yang diimpikannya dihuni beragam etnis dan pemeluk agama, menghormati hak-hak perempuan dan menjaga ekosistem.
Bersolidaritas kepada orang Kurdi, Nelson Mandela menolak Hadiah Ataturk yang diberikan Pemerintah Turki untuknya pada 1992.
Ocalan ditangkap pada 1999 dan dipenjarakan di Pulau Imrali, Turki. Belum lama ini para pengacara Ocalan mendesak Pemerintah Turki mengakhiri larangan berkunjung ke Imrali, terlebih kabar kematiannya berembus pada 14 Maret 2021. Terakhir kali ia boleh dikunjungi pada Agustus 2019.
Ironisnya, Tanah Air untuk tahanan politik seperti penyair Hersri Setiawan adalah Pulau Buru. Sembilan tahun ia ditahan, disiksa lahir batin. Pantai Sanleko diabadikannya dalam puisi: getaran sepi/ melimbur datang/ bersama gelombang bergulung/ - bayangan seragam loreng mata tentara dendam kesumat - bayangan gagang karaben bersambaran di atas kepala oleh rasa sendiri/ basah/ tampuk mataku.
Salah satu puisi penyair terkemuka Indonesia paling dipuja, Sapardi Djoko Damono, membuat kita merenungkan arti cinta kepada Tanah Air, puisi ini berjudul ”Selamat Pagi Indonesia”:
selamat раgі, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk/ dan menyanyi kecil buatmu/ aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan ѕераtu/ dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam/ kerja yang sederhana;/ bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan/ tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal/ selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah/ di mata perempuan yang sabar/ di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;/ kami telah bersahabat dengan kenyataan untuk diam-diam mencintaimu.
Hari ini Sapardi berulang tahun ke-81 dan ia wafat tahun lalu.
Namun, puisi Kajal masih menghantui kita dengan kenyataan yang dihadapi mereka yang terpaksa pergi: mengelana dari satu negeri ke negeri lain/ dan tiada pernah mewujudkan impian untuk menetap.
Bukankah puisi adalah Tanah Air bagi penyair?
***
Linda Christanty adalah sastrawan dan pegiat budaya