Puisi
retak belum melampaui tarah maka berhentilah. usah kau terus-teruskan menakik pohon masa lalu yang tak bergetah itu. matahari telah melambung naik, embun jantan telah meniti buih di daun-daun, itik telah turun ke sungai

Follow The Reason Karya Andi Sulistiyanto
MARHALIM ZAINI
retak belum melampaui tarah
maka berhentilah. usah kau terus-teruskan menakik pohon masa lalu
yang tak bergetah itu. matahari telah melambung naik, embun jantan
telah meniti buih di daun-daun, itik telah turun ke sungai, merbah telah
terbang ke rimba.
usah kau sebut-sebut juga retak pada tiang rumah. retak telapak kaki
orang-orang ladang yang lupa gelanggang. sebab kelak hanya dikau,
atau aku, yang paham ruas kayu pada kayan, yang turun temurun
menjaga tepi kain sendiri, yang tak lupa letak belah pada tarah.
meski kita tak dapat tidur di atas rasa malu sekaum, yang turun temurun
kita jaga sebagai ranjang wasiat, namun tak boleh tidak, mari turun
ke gelanggang orang ramai, ke sekolong kampung tempat kita pernah
bertukar pantun, tempat kita pernah bertukar tanda pada jari,
bertukar sungai pada tasik.
meski retak ini, retak yang kelak akan memanjang juga pada tanjung
di bawah pelaminan ini, jangan sampai belah tersebab tarah, jangan
sampai telingkah tersebab tanah, jangan sampai pisah tersebab sumpah.
2020
si buta penunggu lesung
ia hanya mendengar suara ketukan kayu saling beradu
dari palung lesung, seperti saling berebut denyut
pada petang yang lengang.
sebab hanya pada telinga ia percaya, karena gelap
pada mata, adalah cahaya dari kebisuan panjang.
maka ia selalu menunggu suara-suara lain
datang memanggil namanya, bukan sebagai perempuan
penunggu tangga rumah, tapi sebagai kayu yang beradu
di palung petang.
ia akan tersenyum, ketika tak lagi berkain tubuhnya
oleh malam. sebab ia sangat paham, hanya suara
yang datang dari cahaya, yang membuat ia tak lagi
merindukan mata.
2020
yang melimpah dari cucuran atap
dengan kedua tanganmu yang muda, kau tampung semua
yang jatuh dari langit tua. hari masih sangat pagi, udara
dalam mulutmu beku, dan kota-kota belum tumbuh
dari kakimu.
kau pungut yang melimpah. tapi yang tumpah bukan hujan
yang dulu, yang kausebut-sebut sebagai malaikat pembawa
berkah. ini hanya serpih rumbia, yang mulai lepas dari kepalamu.
lihat, kepalamu. apa yang tumbuh itu hanya pikiran-pikiran
tentang masa depan. yang bocor di sana sini. yang gampang
masuk angin. yang tak tertampung di kedua tanganmu,
yang muda.
tapi mari duduk di sini. di tepi sebuah hari. memandang yang jauh,
lebih indah daripada menunggu yang jatuh. yang jauh juga
melimpah dan tak tertampung oleh kedua mata kita,
yang juga masih muda.
2020
sedang di tempayan air berkocak
apatah lagi, laut dalam diriku. laut yang gelombangnya
tak pernah kenyang makan tanah pulau. pulau yang tanahnya
tinggal sepetak kuburan.
2019
Ebi Langkung
Tangan Tungku
dari telapakku kuarang namamu
bersiap pergi
ke haribaan tuhan
dari jariku kuletup sajakmu
bersiap tiada
kosong di tengah lelehan doa
dari tanganku kuabukan derajatmu
duduk sama rata
masuk sebagai batang keluar sebagai asap
batas yang fana di genggaman
api cinta
2019
Tungku Asyura
nyalalah bara menghangatkan batin kembara
di atas belanga pepat dilipat
ketan putih mengukus hari asyura
harum seruang-ruang dapur
menghantar dupa
mengepulkan mantra di beranda
melingkari hari dan musim
darah khusein mengalir
harum ke dandang dan piring
bersedih tak lupa pejamkan doa
sarungkan pedang si mangsa
kita hidang pulut putih dan pulut merah maniskan bunga-bunga
jika luput lahirmu saatnya menyuling asma
dari lapar yang samar cinta memekar semesta
2019
Jantung Hutan
kupelihara gema, suara-suara burung
daun-daun rimbun kupejam
dalam menunglah aku menunggu bayangmu
memasuki jantungku memilih putih
daripada sorak hembusan yang tersasar
akulah dengan pohon-pohon menjulang
membikin dahan bagi sarang-sarang
tempat telur-telur kau peram
hingga menetas cangkang kesunyian
dalam gelaplah aku menyeru
seperti cawan hijau terbalik aku menaungimu
dengan akar-akar yang menjalar
kupeluk dirimu dalam kabut
kususui kau seumpama petapa menjilat petang
hingga serbuk tungku mengurai dari pecahan kaca perenungan
lalu matahari mencuri mataku yang memejam
menebar sinar dan burung-burung melepas ikatan dan terbang
2019
Buku Bayang
Adalah lembaran-lembaran kening
Yang memeram waktu
Sebiji dua biji menumbuh
Karena nyala langit jiwaku
Lalu kelebat-kelebat menghitam
Di tanah pikirku
Dan jadilah kata, klausa yang kau pegang ini
Kau baca, kau peluk atau kau letakkan di meja
Bersama setengah dingin kopimu
2019
Ebi Langkung lahir dan tinggal di Sumenep, Madura. Buku puisinya bertajuk Siul Sapi Betina (2015).
Marhalim Zaini lahir di Bengkalis, Riau, 15 Januari 1976. Buku puisinya antara lain Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu (2013). Kini ia mengelola Rumah Kreatif Suku Seni Riau di Pekanbaru.