Puisi
Dulu hanya bulu dan ngiau pilu di tubuh malam-Ku yang kosong dan gelap. Belum kucing. Belum langkah ringan di atas genting. Kemarin hanya mampir menghidu amis yang sumir

"ABSTRAKSI" Karya M Andi Dwi Iskaryanto
Dedy Tri Riyadi
Belum
Dulu hanya bulu
dan ngiau pilu
di tubuh malam-Ku
yang kosong dan gelap.
Belum kucing.
Belum langkah ringan
di atas genting.
Kemarin hanya mampir
menghidu amis yang sumir
pada bicara hari-hari-Ku
yang lenggang sepanjang lanskap.
Belum belang.
Belum cakar berkali-kali
di sebatang tiang.
Masa depan. O, kardus
di sudut gudang. Sudikah
Kau lahirkan anak-anak-Ku?
2019
Relikui Orang Suci
1/
Iman memindahkan gunung
juga iman menghimpun balung
maka kau kutemui dalam ruang
sebelum tangga menuruni katakombi
patahan gigi, pecah tulang dahi dalam
guci porselin cina, kotak perak, wadah kaca
sebab mencintai harus sampai hilang diri
dan merindukan satu pertemuan cukup dengan
bersetia berdoa untuk kebaikan & keselamatan
padahal selalu saja ada yang tertinggal
semacam sentuhan ke atas makam
atau sekilas penglihatan di bawah
bayangan, dan aku si sakit yang tiba-tiba
merasa sudah disembuhkan.
2/
Kuasa yang lebih besar diberikan
supaya kau lebih bisa dari sekadar memberi
seperti kisah kepulangan sepotong gigi
yang diletakkan pada takhta tinggi sebuah negeri
3/
Bukan cinta jika ia menyesatkan,
sebab cinta selalu membebaskan –
berkali-kali ada yang mati, ia akan
selalu membangkitkan. Tapi – bukankah
mati semata-mata badan?
2019
Penafsiran Sederhana pada Poci Teh Yixing
Pada mulanya tragedi
dan perintah untuk mengungsi –
semacam materai di dasar poci
dan seekor ikan digurat pada sebelah sisi.
Lenganmu lekuk sempurna
bagi upaya berselesa –
sehabis menahbiskan seisi dunia
sebagai cinta, dan mengajarkan tiga kata
yang bisa kaumaknai: jangan lelah mencari,
atau – aku tidak (pernah) sembunyi.
Karenanya, pada tutup yang semacam kubah,
ia mencukupkan selintasan itu dengan lubang kecil –
agar kau dengar desis itu, dan justru di mulut
yang nyaris seperti bibir hendak mencium
hanya harum dan suara air meluncur
akan tersedia bagi sebentuk cengkrama
antar-saudara. Sebab setelah dihukum
dalam bara, ia beri warna antara – seperti
darah dan terakota. Agar kau kenang lagi
kisah Kain mengembara.
2019
Saddam HP
Tentang Zorro
Karena berjalan adalah kehilangan arah,
ia memilih menutup mata. Di pintu
tidurnya sabda mengetuk-ngetuk:
”Berjaga-jagalah agar jangan jatuh.”
Napas malam menguarkan aroma maut
Getir tercampur dalam cawan anggur
Di mimpinya luas terbentang laut
Siapa yang harus meminumnya?
Dari kehampaan
Denting lembing
Jatuh di keningnya
Maka ia tebas sunyi
Dengan sekali ayun
”Yang hidup dengan pedang,
Akan mati oleh pedang.”
Enam mata pedang hanya muslihat
Usai bunyi direkat di daun telinga
Ia makin kehilangan arah
Sebab mata sabda terkelupas
Oleh cambuk dosa yang mengeras
Lasiana, 2019
Rumah Duka
Ia menunggu kabar dari angin
Seperti kemarin
Namun tak ada
Selain pekat pintu malam
Bagai noda dosa
Ia ingat kaki masa kecil yang lincah
Bersembunyi di keliling sinagoga
Ditembusi duri terantuk batu
Mahir berlangkah pulang sebelum petang
Tetapi tentara memasuki rumahnya
Mengambil anaknya dari pelukan
Dan menyerahkan pada negara
Pada paku dan tombak yang tertawa
Mengejek luka di telapak dan lambung
Wangi duka tertiup angin
Ke ranjang yang merawat bilur
riwayat masa kecil yang hilang
Ke dapur bertabur adonan roti
ragi belum sempat dicampur
Ke sumbu lilin yang padam
menggigil merindu api
Ke ukiran kayu di beranda
milik sang ayah yang tiada
Ke jubah tenunan tanpa jahitan
tersampir di tiang jemuran
Ke tali kasut yang terlepas
sebelah entah di mana
Ke lubuk hatinya yang sederhana
tapi berlabirin dan rahasia
”Siapakah ibuku? Dia yang
membacakanku puisi sebelum tidur.”
Suara itu sayup.
Yosep milik sepi,
Air mata milik wanita,
Jangan sampai jatuh ke pipi.
Angin menderu jauh
Menerbangkan butir bening di kelopak
Menyisakan keping-keping tangis yang mengerak.
”Jangan tangisi diriku,
Tangisi dirimu dan anakmu!”
Malam menutup pintu lagi
Di dadanya bergemuruh badai
Sementara hari-hari berjalan pelan
Bagi duka yang berumah di hatinya.
Assumpta, 2019
Sepersekian Detik Sebelum Pukul Tiga
Sebelum dijemput maut
Sisa cahaya di matanya
Bertukar tegur dengan wajah ibu
Yang memanggil pulang
”Belum selesai, Ibu. Belum selesai.”
Lasiana, 2019
Dedy Tri Riyadi lahir di Tegal, Jawa Tengah, 16 Oktober 1974. Salah satu buku puisinya adalah Berlatih Solmisasi (2017). Ia tinggal dan bekerja di Jakarta.
Saddam HP lahir di Kupang, NTT, 21 Mei 1991. Ia aktif di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Buku puisi perdananya berjudul Komuni (2019).