Eks Sekjen Kemenhan Laksdya (Purn) Agus Setiadji mengisahkan pengalamannya berhadapan dengan birokrasi di bukunya.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·2 menit baca
KOMPAS/EDNA CAROLINE PATTISINA
Laksamana Madya (Purn) Agus Setiadji saat peluncuran bukunya, Memoar Jejak Langkah Sang Perwira: Pengambilan Keputusan di Antara Ketidakpastian, di Jakarta, Selasa (12/11/2024).
JAKARTA, KOMPAS — Struktur birokrasi di Indonesia yang belum terinstitusionalisasi sehingga minim perencanaan dan implementasi membutuhkan pejabat yang tidak ABS alias asal bapak senang. Mental non-ABS ini bisa memperbaiki sistem Indonesia.
Hal itu disampaikan Laksmana Madya (Purn) Agus Setiadji dalam peluncuran bukunya, Memoar Jejak Langkah Sang Perwira: Pengambilan Keputusan di Antara Ketidakpastian, Selasa (13/11/2024).
Agus sebelumnya pernah menduduki berbagai jabatan, seperti Sekjen Kementerian Pertahanan, Kepala Badan Sarana Pertahanan yang bertugas untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista), Sekretaris Utama Badan Keamanan Laut (Sestama Bakamla), dan Kepala Dinas Pengadaan TNI AL. ”Saya menulis buku ini sebagai referensi agar adik-adik saya tidak terpeleset,” katanya.
Agus mengatakan, sistem birokrasi yang pernah ia jalani memiliki banyak ketidakpastian. Tidak saja karena ada kebijakan yang berubah-ubah, tetapi juga perencanaan yang tidak matang. Akibatnya, seorang birokrat harus mengambil keputusan dalam keadaan yang tidak pasti. Di tengah sistem yang tidak sempurna itu, seorang birokrat punya kekuasaan yang harus dieksekusi sebagai bagian dari tugas negara. ”Di sini, kita harus bisa menjaga diri,” katanya.
KOMPAS/EDNA CAROLINE PATTISINA
Laksamana Madya (Purn) Agus Setiadji saat peluncuran bukunya, Memoar Jejak Langkah Sang Perwira: Pengambilan Keputusan di Antara Ketidakpastian, Selasa (12/11/2024) di Jakarta.
”Jangan jadi orang yang ABS, asal bapak senang,” kata Agus memberikan tipsnya.
Ia mengalami sendiri ada pengaruh dari pihak luar atau pejabat yang berusaha memotong komunikasi antara bawahan dan atasan. Misalnya, saat menjadi Kepala Dinas Pengadaan di TNI AL, ada rekanan yang mendekatinya dan mengatakan telah berkomunikasi dengan pimpinan TNI AL. Isinya, pengadaan pesawat latih dari AS diubah jumlahnya dari delapan menjadi dua dengan nilai anggaran yang sama. Tentunya, perkataan ini disertai dengan sekoper uang yang dititipkan.
Agus menolak. Ia lalu mengontak pimpinan langsung dan mengonfirmasi. Ternyata memang rekanan itu hanya mencatut nama pimpinan.
Ia mengatakan, tidak ABS memang berisiko. Akan tetapi, seorang pemimpin memang harus berani mengambil risiko di tengah ketidakpastian. Ia mencontohkan pada 2016 saat ia baru empat hari menjadi Sestama Bakamla ketika terjadi operasi tangkap tangan terhadap pimpinan Bakamla. Ia harus mengambil keputusan yang tidak populer. ”Alokasi anggaran yang harusnya sudah disdistribusi saya stop semua. Kalau tidak saya stop, itu akan merugikan keuangan negara,” tambahnya.
Mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto sebagai pembahas buku mengatakan, salah satu topik yang menarik perhatiannya adalah soal kepemimpinan di level strategis.
Menurut Andi, seorang pemimpin di lembaga pemerintahan perlu memakai dan menghargai struktur birokrasi yang ada di bawahnya dengan baik. Ia juga melihat tentang pentingnya politik birokrasi, yaitu memetakan jaringan yang ada di balik orang-orang yang ada di birokrasi.
Anggota I Badan Pemeriksa Keuangan Nyoman Adhi Suryadnyana, yang juga hadir sebagai pembahas buku, mengatakan, pengambilan keputusan di tengah ketidakpastian membutuhkan data dan tujuan yang akurat.
Dalam implementasinya terkait industri pertahanan, Nyoman Adhi mengatakan, saat ini industri pertahanan masih belum efisien. Harus dibenahi sejak awal, di mana industri pertahanan tidak bisa diatasi hanya oleh satu atau dua kementerian. ”Perlu ada konsep tentang perencanaan ke depan,” kata Adhi.