Akhirnya KPK Tetapkan Lima Tersangka Kasus Korupsi Pengadaan Tanah di Rorotan
KPK tetapkan lima tersangka dalam kasus pengadaan tanah di Rorotan, Jakarta Utara, yang merugikan negara Rp 223 miliar.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya menetapkan lima tersangka dalam kasus perkembangan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan tanah di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, tahun 2019-2020. Perbuatan kelima tersangka tersebut merugikan keuangan daerah setidaknya senilai Rp 223 miliar.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Rabu (18/9/2024), mengatakan, lima tersangka yang ditetapkan dalam kasus tersebut adalah Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya (PPSJ) Yoory C Pinontoan, Senior Manager Divisi Usaha atau Direktur Pengembangan PPSJ Indra S Arharrys, Direktur Utama PT Totalindo Eka Persada (TEP) Donald Sihombing, Komisaris PT TEP Saut Irianto Rajagukguk, dan Direktur Keuangan PT TEP Eko Wardoyo.
”KPK selanjutnya melakukan penahanan kepada para tersangka untuk 20 hari pertama terhitung sejak 18 September 2024 sampai 7 Oktober 2024. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang Gedung KPK Merah Putih,” kata Asep kepada wartawan.
Menurut Asep, Yoory C Pinontoan, yang merupakan Dirut PPSJ yang menjabat sejak 2016-2024, diperintahkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membuat bank tanah untuk kegiatan apa saja.
KPK selanjutnya melakukan penahanan kepada para tersangka untuk 20 hari pertama terhitung sejak 18 September 2024 sampai 7 Oktober 2024. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang Gedung KPK Merah Putih.
Kerja sama pengelolaan lahan
Kemudian, untuk pengadaan tanah tersebut, PPSJ bekerja sama dengan PT PT TEP yang bergerak di bidang jasa konstruksi pembangunan gedung-gedung pencakar langit baik itu apartemen, mal, dan kantor serta penjualan tanah. Sekitar Februari 2019, PT TEP berencana membeli enam bidang tanah milik PT Nusa Kirana Real Estate (PT NKRE) di Rorotan dengan luas 11,7 hektar dengan harga Rp 950.000 per meter persegi dengan nilai transaksi total Rp 117 miliar.
Baca juga: Jakarta Tambah Dua RDF Plant Tahun 2024
”Pada 18 Februari 2019, PT TEP mengirimkan surat tentang kerja sama pengelolaan lahan seluas 11,7 hektar yang berlokasi di Jalan Rorotan-Marunda, Kelurahan Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, dengan harga penawaran Rp 3,2 juta meter persegi menggunakan skema kerja sama operasional (KSO) pengelolaan tanah bersama antara PT TEP dan PPSJ. Hal itu kemudian direspons oleh YCP dengan mengirimkan surat kepeminatan atas penawaran tanah tersebut,” kata Asep.
Setelah diadakan rapat negosiasi antara PT TEP dan PPSJ, Yoory dan Donald sepakat besaran harga tanah yang akan dilakukan KSO adalah Rp 3 juta per meter persegi. Namun, saat itu PPSJ belum menunjuk kantor jasa penilai publik (KJPP) untuk menilai harga tanah. Selain itu, PPSJ juga belum melakukan kajian internal untuk penawaran KSO dari PT TEP.
Yoory dan Indra mengetahui bahwa harga wajar tanah Rorotan ditawarkan oleh PT TEP sebetulnya jauh di bawah harga penawaran PT TEP, yaitu Rp 2 juta per meter persegi.
”Yoory dan Indra mengetahui bahwa harga wajar tanah Rorotan ditawarkan oleh PT TEP sebetulnya jauh di bawah harga penawaran PT TEP, yaitu Rp 2 juta per meter persegi. Informasi harga wajar sesuai analisis internal dan informasi dari KJPP Wisnu Junaidi juga telah disampaikan oleh Farouk M Arzby kepada Yoory. Namun, dia mengabaikan hal tersebut,” katanya.
Yoory bahkan mengarahkan agar tidak perlu menunjuk KJPP independen untuk melakukan penilaian harga wajar tanah. Namun, Yoory justru menyarankan agar cukup menggunakan laporan penilaian KJPP yang ditunjuk atau ditugaskan oleh penjual, yaitu PT TEP. Hal itu bertentangan dengan Peraturan Gubernur DKI Nomor 50 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa BUMD dan Pergub DKI Nomor 51 Tahun 2019 tentang Penugasan kepada BUMD terkait penyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Setelah itu, Yoory dan Donald melakukan penandatanganan perjanjian pendahuluan tentang perjanjian kerja sama operasional proyek tanah Rorotan antara PPSJ dan PT TEP. Dalam surat perjanjian itu, PT TEP mengaku sebagai pemilik sah dan berhak sepenuhnya atas enam bidang tanah seluas 11,7 hektar atas nama PT NKRE dan belum ada peralihan hak kepemilikan atas tanah dari PT NKRE ke PT TEP.
”Pada awal Maret 2019, PPSJ membayar kepada PT TEP uang muka dengan nilai total senilai Rp 30 miliar atas perjanjian KSO ini. Namun, karena tidak mendapat persetujuan Dewas PPSJ, perjanjian KSO ini kemudian dibatalkan dan uang muka dikembalikan oleh PT TEP kepada PPSJ,” jelasnya.
Ubah transaksi
Yoory kemudian memerintahkan agar transaksi itu diubah dari skema KSO menjadi skema beli putus tanah tanpa melakukan proses beli putus tanah dari awal sesuai dengan ketentuan yang berlaku di PPSJ. Pembayaran uang muka tahap 1 KSO senilai Rp 20 miliar pada 6 Maret 2019 dan pelunasan tahap pertama sebesar Rp 10 miliar tanggal 8 Maret 2019 tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selanjutnya, pada akhir Maret 2019, Yoory dan Donald melakukan penandatanganan enam akta PPJB atas enam bidang tanah Rorotan antara PPSJ dan PT TEP. PPSJ juga membayar uang muka pembelian tanah kepada PT TEP sebesar RP 150 miliar walaupun saat itu PT TEP belum melunasi kewajiban pembayaran tanah kepada PT NKRE.
Pembayaran dilanjutkan pada April-September 2019 di mana PPSJ melakukan beberapa kali pembayaran senilai Rp 201 miliar kepada PT TEP. Dengan demikian, total pembayaran untuk tanah seluas 11,7 hektar luas awal ditambah 0,6 hektar penambahan luas setelah pengukuran ulang adalah Rp 370 miliar.
Kondisi lahan juga tidak memenuhi kriteria teknis lahan rumah susun sederhana yang telah ditentukan pada Pasal 3 Peraturan Gubernur DKI Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pembangunan Rusuna.
Tak berhenti sampai di situ, PT TEP dan PPSJ kembali menandatangani enam akta jual beli (AJB) untuk jual beli tanah di Rorotan dengan luas total 12,3 hektar. Yoory menentukan sendiri lokasi lahan di Rorotan yang akan dibeli secara sepihak tanpa didahului kajian teknis yang bersifat komprehensif. Kondisi tanah yang akan dibeli itu berupa rawa sehingga membutuhkan biaya pematangan lahan yang cukup besar.
”Kondisi lahan juga tidak memenuhi kriteria teknis lahan Rumah Susun Sederhana yang telah ditentukan pada Pasal 3 Pergub DKI Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pembangunan Rusuna,” kata Asep.
Selain itu, memo laporan penilaian atas penawaran lokasi Jalan Rorotan-Marunda seluas 11,7 hektar itu dibuat bertanggal mundur (backdate) oleh pegawai PPSJ atas perintah Yoory. Memo intern bertanggal 21 Februari 2019 yang merupakan memo penyampaian laporan gabungan kajian evaluasi proposal penawaran dan hasil survei fisik, kajian analisis pasar pesaing, dan kajian analisis finansial atau hitungan kelayakan secara aktual baru dibuat pada 27 Maret 2019 oleh Maulina Wulansari.
Penanggalan mundur itu diduga untuk menjustifikasi atau mendukung keputusan Yoory untuk membeli tanah dan mengesankan seolah-olah proses investasi atau pengadaan berjalan sesuai prosedur atau ketentuan yang berlaku.
Penanggalan mundur itu diduga untuk menjustifikasi atau mendukung keputusan Yoory untuk membeli tanah dan mengesankan seolah-olah proses investasi atau pengadaan berjalan sesuai prosedur atau ketentuan yang berlaku.
Penyimpangan dalam proses investasi pengadaan lahan Jalan Rorotan-Marunda sebesar 11,7 hektar yang dilakukan Yoory tersebut juga diduga dipengaruhi dan terkait dengan penerimaan gratifikasi berupa valuta asing dollar Singapura setara Rp 3 miliar dari PT Totalindo Eka Persada dan fasilitas atau kemudahan dalam penjualan aset milik pribadi yang segera dibeli oleh pegawai PT TEP.
Uang dari PT TEP itu digunakan untuk membeli satu rumah dan satu apartemen oleh pegawai PT TEP atas instruksi Eko Wardoyo selaku Direktur Keuangan PT TEP yang sumber dananya berasal dari kas perusahaan dalam bentuk pinjaman lunak kepada pegawai yang membeli aset tersebut.
Baca juga: Lahan Pertanian Ibu Kota yang Terus Menyusut
Yoory dan empat tersangka lainnya disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Sebelumnya, Yoory C Pinontoan juga telah divonis penjara 6 tahun dan 6 bulan dalam kasus korupsi lahan di Munjul, Jakarta Timur. Meskipun tidak ada alat bukti dan barang bukti yang menguatkan perbuatannya, Yorry dinilai telah merugikan negara senilai Rp 152,5 miliar.
Ia dinyatakan bersalah karena telah memperkaya pihak lain, yaitu Direktur PT Adonara Propertindo dan wakilnya, yaitu Tommy Adrian dan Anja Runtuwene, serta pemilik PT Adonara Propertindo, Rudy Hartono Iskandar. Selain pidana kurungan, majelis hakim juga menjatuhkan pidana denda kepada Yoory senilai Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.