Gugat UU Tapera ke MK, Serikat Pekerja Minta Iuran Tapera Tak Dipaksakan
MK diminta menghapus kata wajib dalam UU Tapera. Dengan begitu, iuran tapera tidak lagi bersifat wajib, tetapi sukarela.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 11 serikat pekerja dari berbagai sektor, Rabu (18/9/2024), menggugat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat yang mewajibkan semua pekerja berpenghasilan setara atau lebih dari upah minimum menjadi peserta tabungan perumahan rakyat atau tapera. Iuran tapera tersebut dinilai akan semakin membebani pekerja yang gajinya sudah dipotong berbagai iuran yang sudah ada selama ini.
Untuk itu, Mahkamah Konstitusi (MK) diminta mengubah sifat wajib iuran tapera tersebut menjadi iuran yang dilaksanakan sukarela atau disepakati oleh pekerja. Ada tiga pasal di dalam UU Tapera yang diuji konstitusionalitasnya oleh para pekerja dengan didampingi kuasa hukum Denny Indrayana, advokat sekaligus ahli hukum tata negara.
Adapun ke-11 serikat pekerja itu di antaranya Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional, Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif KSPI, Federasi Serikat Pekerja Listrik Tanah Air (Pelita) Mandiri Kalimantan Barat, serta Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan. Selain itu, Gabungan Serikat Buruh Indonesia, Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Serikat Buruh Sejahtera Independen ’92, Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman, dan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia.
Mereka menguji Pasal 7 Ayat (1), Pasal 9 Ayat (1), dan Pasal 64 Huruf a UU Tapera. Pasal 7 Ayat (1) mengatur, ”Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta”.
Pasal 9 Ayat (1) UU Tapera berbunyi, ”Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) wajib didaftarkan oleh Pemberi Kerja”. Sementara itu, Pasal 64 Huruf a pada undang-undang yang sama berbunyi, ”Pemberi Kerja berkewajiban untuk: a. mendaftarkan pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) sebagai peserta”.
Dalam permohonannya, para serikat pekerja tersebut sebenarnya setuju dengan program kebijakan tapera dari pemerintah yang bermaksud baik untuk memfasilitasi masyarakat pekerja memperoleh pembiayaan perumahan. Namun, isu utama dalam kebijakan ini adalah sifat ”wajib” sehingga harus diikuti oleh setiap pekerja, baik masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maupun non-MBR.
Sebelum ada program tapera, potongan-potongan penghasilan masyarakat sudah banyak.
Para pemohon dalam perkara ini dikategorikan sebagai masyarakat pekerja MBR, yaitu masyarakat dengan keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapatkan dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah. Potongan 3 persen dari gaji yang diterima akan kian membebani hidup para pekerja, apalagi kenaikan UMR tidak memadai dan hanya ala kadarnya.
Disebutkan pula, sebelum ada program tapera, potongan-potongan penghasilan masyarakat sudah banyak. Hal itu di antaranya potongan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk kesehatan dan ketenagakerjaan serta Pajak Penghasilan (PPh). Apabila ditotal, potongan pendapatan seorang pekerja setiap bulan untuk membayar iuran BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan PPh 21 sebesar 8,7 persen dari gaji per bulan yang didapatkan.
Potongan gaji membengkak
Persentase tersebut, menurut pemohon, dinilai sangat besar, khususnya untuk pekerja MBR. Apalagi jika harus ditambah dengan iuran wajib 3 persen dari program tapera. Maka, jumlah keseluruhan potongan wajib pendapatan per bulan para pekerja, khususnya MBR, menjadi 11,7 persen dari penghasilan per bulan.
Ketua Umum DPP KSPSI Jumhur Hidayat, Rabu, mengatakan, pihaknya memahami bahwa pemerintahan yang akan datang bakal kesulitan mencari uang untuk APBN. Sebab, uang dihambur-hamburkan oleh pemerintahan sebelumnya. Ia tidak menyalahkan jika pemerintah mencari dana untuk memenuhi APBN mendatang.
”Tapi, jangan cari dana dari rakyat kecil, rakyat lemah, kaum buruh, petani. Rakyat biasa suruh nyumbang lewat tapera. Ada lagi asuransi kendaraan wajib. Orang yang punya motor, punya mobil, wajib punya asuransi. Ada lagi tambahan iuran dana pensiun, padahal sudah ada BPJS yang mengatur itu. Itu saya tahu, ujungnya buat APBN,” kata Jumhur.
Padahal, menurut dia, banyak sumber pendapatan lain, misalnya dari kaum oligark yang menguasai banyak sumber daya, baik tambang maupun komoditas lain. Ia pun menyarankan agar pemerintah menerapkan wealthy tax atau menarik pajak dari orang-orang kaya.
”Di seluruh dunia, ada namanya wealthy tax, mungut uang dari orang-orang kaya, orang berpunya. Bukan orang susah yang makan saja kembang kempis,” ujar Jumhur.
Sementara itu, Denny Indrayana mengatakan, potongan iuran tapera sebesar 3 persen tersebut tidak adil dan bertentangan dengan prinsip kewajiban negara yang seharusnya justru memberikan perumahan untuk rakyat. Akan tetapi, negara lagi-lagi mengutip uang dari rakyat.
”Maka, kami mengajukan uji konstitusionalitas UU Tapera, khususnya Pasal 7, dengan kata ’wajib’-nya. Itu yang kami minta untuk dinilai konstitusionalitasnya oleh MK,” kata Denny.
Paradigma negara dalam mengurus permasalahan publik sungguh sangat menyedihkan.
Denny menilai, paradigma negara dalam mengurus permasalahan publik sungguh sangat menyedihkan. Di satu sisi, masyarakat kecil memiliki kewajiban yang banyak kepada negara, termasuk iuran tapera. Namun, disisi lain, negara memberikan banyak kelonggaran atau insentif kepada para oligark yang pembayaran pajaknya problematik.
”Banyak kasus soal itu. Dan, penguasaan kekayaan alam kita, tambang misalnya, justru terlepas dari kekuasaan negara. Padahal, amanat Pasal 33 UUD 1945, kekayaan alam itu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Yang terjadi, negara kebalik paradigmanya. Untuk masyarakat, makin banyak iuran. Makin terjepit secara ekonomi,” tuturnya.