Jaksa Banding Putusan Pengadilan yang Hanya Meminta Toni Bayar Rp 5.000
Jaksa ajukan banding karena hakim dalam putusannya tak pertimbangkan tuntutan jaksa. Jaksa menuntut Toni Rp 200 juta.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hanya dihukum membayar biaya perkara Rp 5.000 dan penjara 3 tahun menjadi alasan jaksa penuntut umum atau JPU mengajukan banding untuk perkara tedakwa Toni Tamsil. Toni diadili dalam perkara perintangan penyidikan kasus pengelolaan timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar ketika dihubungi dari Jakarta pada Jumat (13/9/2024) mengatakan, JPU telah menyatakan banding terhadap putusan pengadilan untuk terdakwa Toni Tamsil pada 4 September lalu. Toni merupakan terdakwa perkara perintangan penyidikan terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk 2015-2022.
Toni Tamsil diadili majelis hakim di Pengadilan Negeri Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung. Dalam putusan bernomor 6/Pid.Sus-TPK/PN Pgp yang dibacakan pada 29 Agustus 2024 itu, majelis hakim memutuskan Toni melanggar Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menjatuhkan pidana 3 tahun penjara dipotong masa tahanan, serta membayar biaya perkara Rp 5.000.
Putusan majelis hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan JPU. Jaksa menuntut Toni dipidana penjara selama 3 tahun 6 bulan, dipidana denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan, serta membayar biaya perkara Rp 10.000.
Adapun kerugian negara dalam kasus korupsi di PT Timah ini mencapai Rp 300 triliun. Sejauh ini, lebih dari 20 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi ini, termasuk Toni.
Jaksa penuntut umum menuntut agar terdakwa dihukum membayar denda. Namun, oleh hakim tidak menghukum terdakwa untuk membayar denda.
Tuntutan jasa tak dipertimbangkan
Menurut Harli, alasan banding terhadap putusan hakim tersebut didasarkan pada adanya tuntutan jaksa yang tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim. ”Jaksa penuntut umum menuntut agar terdakwa dihukum membayar denda. Namun, oleh hakim tidak menghukum terdakwa untuk membayar denda,” kata Harli.
Selain itu, sambung Harli, pengajuan banding oleh jaksa juga terkait dengan vonis pidana penjara yang lebih ringan dari tuntutan jaksa. Menurut Harli, tuntutan jaksa tersebut telah mempertimbangkan hal-hal yang meringankan, yakni terdakwa belum pernah dihukum, bersikap sopan, dan bersikap kooperatif selama persidangan. ”Hal itu termasuk menjadi alasan untuk banding,” kata Harli.
Secara terpisah, kuasa hukum Toni Tamsil, Jhohan Adhi Ferdian, mengaku, pihaknya baru mengetahui alasan banding pihak JPU tersebut. Apa pun alasannya, Jhohan mengaku pihaknya menghormati upaya hukum yang diajukan tersebut.
”Kami menghormati jika rekan jaksa penuntut umum mengajukan banding karena hal tersebut, sama seperti kami menghormati putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Pangkalpinang,” ujarnya.
Jhohan juga mengingatkan bahwa hak banding yang sama juga diberikan oleh majelis hakim kepada kliennya sebagai terdakwa. Setelah jaksa menyatakan banding, terdakwa juga menyatakan banding dan sudah memasukkan memori banding pada pekan lalu ke Pengadilan Tinggi Bangka Belitung.
”Kami menghormati putusan majelis hakim meski juga merasa keberatan. Jadi, karena jaksa banding, kami banding. Kami saat ini sedang menunggu jadwal sidang banding,” ujarnya.
Jhohan juga mengingatkan bahwa hak banding yang sama juga diberikan oleh majelis hakim kepada kliennya sebagai terdakwa.
Tersangka Hendry Lie
Dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan timah, hingga saat ini penyidik belum menahan seorang tersangka bernama Hendry Lie. Yang bersangkutan belum pernah ditahan sejak ditetapkan sebagai tersangka pada April 2024 lalu meski sebelumnya Hendry pernah diperiksa sebagai saksi. Hendry Lie ditetapkan sebagai tersangka bersama adiknya, Fandy Lingga, selaku pemilik PT Tinindo Internusa.
Menurut Harli, hingga saat ini Hendry Lie masih sakit dan dirawat di Singapura. Hendry pun belum pernah diperiksa sebagai tersangka. Ketika ditanya tentang kemungkinan untuk membawa Hendry pulang dan dirawat di Jakarta, Harli tidak mengiyakan atau menampik. ”Perkara ini masih terus berproses,” kata Hendry.
PT Tinindo Internusa adalah satu dari lima perusahaan smelter yang diduga melakukan proses pengolahan timah secara menyimpang dari Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) yang telah disetujui. Dalam dakwaan yang sudah dibacakan kepada beberapa terdakwa kasus timah, Hendry Lie melalui PT Tinindo Internusa disebut menerima uang dengan total sebesar Rp 1,05 triliun.