SK Perpanjangan Kepengurusan PDI-P Digugat, Yasonna Laoly: Mengada-ada
SK perpanjangan kepengurusan PDI-P terbit saat kader PDI-P, Yasonna Laoly, masih menjabat Menkumham.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menilai gugatan terhadap surat keputusan perpanjangan kepengurusan DPP PDI-P mengada-ada. Gugatan yang diajukan empat orang yang mengklaim kader PDI-P itu pun dinilai DPP PDI-P sarat kepentingan politik, bahkan sesat logika.
Empat orang yang mengklaim sebagai kader PDI-P itu ialah Pepen Noor, Ungut, Ahmad, dan Endang Indra Saputra. Tim advokasi mereka terdiri dari Victor W Nadapdap, Lawrence Tantio Nadapdap, Jonathan S Meliala, dan Linda Sugianto.
Berdasarkan sistem informasi perkara Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, SIPP.PTUN-Jakarta.go.id, yang diakses Selasa (10/9/2024), gugatan tersebut diregister dengan nomor 311/G/2024/PTUN.JKT pada 9 September 2024. Namun, di sistem, tertulis bahwa gugatan dilayangkan oleh pihak-pihak bernama Djupri, Jairi, Manto, Suwari, dan Sujoko. Adapun pihak tergugat adalah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Victor W Nadapdap melalui keterangan tertulis mengatakan, surat keputusan pengesahan kepengurusan Dewan Pengurus Pusat (DPP) PDI-P periode 2019-2024 yang diperpanjang hingga 2025 diduga bertentangan dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PDI-P. Karena itu, pihaknya mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta.
Berdasarkan keputusan Kongres PDI-P pada 9 Agustus 2019, menurut Victor, telah ditetapkan keputusan No 10/KPTS/Kongres-V/PDI-Perjuangan/VIII/2019 tentang AD/ART PDI Perjuangan, sekaligus menugaskan DPP PDI-P masa bakti 2019-2024.
Karena itu, jika Kemenkumham mengesahkan SK No M.HH-05.11.02 Tahun 2024 yang membolehkan masa bakti susunan pengurus DPP PDI-P diperpanjang hingga 2025, lanjut Victor, hal tersebut sama saja bertentangan dengan Pasal 17 terkait dengan struktur dan komposisi DPP. Pasal itu mengatur masa bakti DPP selama lima tahun.
”Berdasarkan Pasal 17 itu, seharusnya masa bakti kepengurusan yang sesuai dengan AD/ART adalah hingga 9 Agustus 2024,” ujar Victor.
Ditambah lagi, menurut Victor, Pasal 70 AD/ART PDI-P menetapkan bahwa kongres partai dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan memiliki wewenang untuk mengubah dan menyempurnakan serta menetapkan AD/ART partai.
Dengan mengikuti aturan tersebut, kata Victor, perubahan AD/ART yang memuat masa bakti kepengurusan harus dilakukan melalui kongres. Hal ini seperti tertuang dalam Pasal 5 UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, yang menyebutkan perubahan AD/ART dilakukan berdasarkan hasil forum tertinggi pengambilan keputusan partai politik, yakni kongres.
Sesat logika
Ketua DPP PDI-P Yasonna Laoly mengaku belum mengecek gugatan tersebut. Ia baru mengetahuinya di pemberitaan media. Namun, membaca isi gugatannya, ia melihat, gugatan terlalu mengada-ada. ”Laporan mengada-ada itu,” ucapnya.
Saat Kemenkumham mengesahkan SK perpanjangan kepengurusan PDI-P, Yasonna masih menjabat Menkumham. Presiden Joko Widodo menggantinya dengan politisi Partai Gerindra, Supratman Andi Agtas, 19 Agustus lalu.
Sementara Ketua DPP PDI-P Deddy Yevry Sitorus menilai, gugatan terhadap SK perpanjangan kepengurusan PDI-P ke PTUN sebagai sebuah langkah politik yang keterlaluan. Gugatan tersebut, menurut Deddy, bukan upaya hukum murni.
”Tidak ada kerugian apa pun, baik moril maupun materil, bagi penggugat. Gugatan ini lebih kelihatan sebagai upaya ’penyerangan’ terhadap PDI-P. Dan yang aneh, beberapa pengacara penggugatnya, menurut informasi, terlihat berafiliasi dengan satu partai tertentu. Jadi, menurut saya, aroma politiknya sangat terasa,” ujar Deddy.
Ia menjelaskan, proses perpanjangan kepengurusan DPP PDI-P sudah dikaji dengan sangat mendalam terhadap aturan dan konstitusi partai. Perpanjangan kepengurusan juga sudah melalui proses pembahasan dan pengkajian hukum di Kemenkumham.
Jika kemudian harus mengikuti logika para penggugat, konsekuensi hukumnya akan sangat besar. Sebab, pada 2019, PDI-P mempercepat kongres dan menyesuaikan mekanisme penyusunan pengurus di daerah dan provinsi untuk menyesuaikan dengan agenda politik nasional pada saat itu.
Jika memakai logika penggugat, surat keputusan DPP PDI-P yang dikeluarkan pasca-percepatan kongres itu menjadi tidak sah. Termasuk keputusan DPP PDI-P menyangkut pemilihan kepala daerah saat itu. ”Kalau begitu, akan terjadi krisis kenegaraan,” ungkapnya.
Deddy mencontohkan Gibran Rakabuming Raka yang kala itu menjadi Wali Kota Surakarta dengan menggunakan SK DPP PDI-P yang dipercepat kongresnya. Jika keputusan DPP saat itu cacat hukum, maka Gibran adalah produk cacat hukum.
”Artinya, dia (Gibran) harus dianulir sebagai cawapres (calon wakil presiden) terpilih di 2024. Karena untuk menjadi cawapres, dia harus memenuhi kriteria pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Kalau keputusan PDI-P paca-percepatan kongres tidak sah, Gibran pun tidak sah. Demikian pula dengan semua produk hukum pada Pilkada 2020 di seluruh Indonesia,” tutur Deddy.
Karena itu, menurut Deddy, sesat logika ini harus dihentikan dan tidak boleh difasilitasi, apalagi kalau motivasinya adalah politik. ”Saya sarankan agar para otak kotor, atau mastermind dan dalang dari upaya sabotase PDI Perjuangan ini, untuk berpikir panjang dan tidal usah cari masalah,” ujarnya.