KPK Ubah Sikap Lagi, Tunda Klarifikasi Bobby terkait Gratifikasi Jet Pribadi saat Pilkada
Kasus dugaan gratifikasi penggunaan jet pribadi Bobby Nasution terancam mandek karena ia maju sebagai kontestan Pilkada.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Senasib dengan dugaan gratifikasi Kaesang Pangarep dalam penggunaan fasilitas jet pribadi, kasus yang sama yang menjerat Wali Kota Medan Bobby Afif Nasution pun kini dialihkan lagi dari Direktorat Gratifikasi Komisi Pemberantasna Korupsi ke Direktorat Penerimaan Layanan dan Pengaduan Masyarakat atau PLPM KPK. Namun, karena Bobby tengah mengikuti kontestasi Pilkada Serentak 2024, laporan itu terancam tak ditindaklanjuti karena kebijakan baru KPK.
Padahal, sebelumnya, KPK telah mengeluarkan kebijakan bahwa selama penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024, kasus baru yang belum masuk tahapan penyelidikan dan penyidikan akan dihentikan sementara proses hukumnya.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Tessa Mahardhika Sugiarto kepada wartawan, Jumat (6/9/2024), mengatakan, sudah ada laporan masuk dugaan gratifikasi Bobby Nasution yang masuk ke Direktorat PLPM per Jumat. Oleh karena itu, jika sebelumnya KPK bersikap pasif menunggu Bobby mengklarifikasi dugaan gratifikasi selama 30 hari setelah penerimaan. Kini, KPK memfokuskan pendalaman laporan di Direktorat PLPM.
”Direktorat Gratifikasi yang dalam hal ini berada di dalam Kedeputian Pencegahan membantu dengan menyerahkan bahan-bahan yang sudah masuk ke Direktorat PLPM,” kata Tessa.
Hadir langsung atau lewat situs resmi KPK
Meskipun demikian, Tessa menegaskan bahwa jika Bobby tetap ingin mengklarifikasi dugaan gratifikasi penggunaan pesawat jet pribadi itu, KPK tetap mempersilakan. Bobby bisa hadir langsung ke KPK maupun menyampaikan klarifikasi melalui situs resmi KPK di alamat kpk.go.id.
”Artinya, pada saat penanganan dugaan gratifikasi itu ditangani oleh Direktorat PLPM, baik saudara K (Kaesang) dan saudara BN (Bobby Nasution) bisa tetap mengklarifikasi melalui website yang tadi saya sampaikan, atau datang sendiri. Namun, hal itu tidak lagi menjadi beban dari Direktorat Gratifikasi dalam penanganannya,” kata Tessa.
Artinya, pada saat penanganan dugaan gratifikasi itu ditangani oleh Direktorat PLPM, baik saudara K (Kaesang) dan saudara BN (Bobby Nasution) bisa tetap mengklarifikasi melalui website yang tadi saya sampaikan, atau datang sendiri. Namun, hal itu tidak lagi menjadi beban dari Direktorat Gratifikasi dalam penanganannya.
Padahal, sebelumnya Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pernah menyampaikan bahwa KPK akan memanggil Kaesang untuk mengklarifikasi terkait dugaan penerimaan gratifikasi fasilitas pesawat jet pribadi dari pengusaha e-dagang yang ramai di sosial media.
Namun, Tessa menampik hal tersebut. Menurut dia, di tahapan penelaahan itu, pihak pelapor akan dipanggil dan diklarifikasi. Kemungkinan, pihak-pihak lain juga akan diklarifikasi. Meskipun demikian, ia sendiri belum bisa memastikan kapan klarifikasi itu akan dilakukan.
”Secara prinsip untuk pelaporan dan penanganan perkara di tingkat penyelidikan bersifat rahasia. Jadi, sampai sejauh mana penanganannya, kami belum bisa buka saat ini,” katanya.
Saat ditanya apakah kasus Bobby Nasution ini berpeluang ditutup sementara karena sedang mengikuti kontestasi pilkada, Tessa mengaku setelah KPK mengeluarkan kebijakan moratorium penanganan perkara kandidat peserta pilkada, hanya kasus-kasus yang sudah naik di tingkat penyelidikan dan penyidikan yang akan tetap diproses sesuai prosedur.
Yang jelas, untuk menaikkan ke tahap penyelidikan atau penyidikan butuh kehati-hatian untuk peserta pilkada.
Namun, jika ada perkara baru masuk pascapemilihan kepala daerah atau calon wakil kepala daerah didaftarkan dan diumumkan, kasusnya akan ditunda sementara penanganan sampai pilkada selesai.
”Maksud dari penundaan itu sebenarnya adalah KPK tetap bekerja, tapi mencermati dengan lebih hati-hati. Karena ada laporan yang sifatnya tidak benar, atau tidak bisa ditindaklanjuti. Yang jelas, untuk menaikkan ke tahap penyelidikan atau penyidikan butuh kehati-hatian untuk peserta pilkada,” imbuhnya.
Sebelumnya, calon wali kota Tangerang dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Faldo Maldini menyebut bahwa ia memahami keresahan publik terkait hal tersebut. Ia juga sudah mengusulkan kepada Kaesang untuk bertemu dengan awak media. Terkait dengan hal itu, ia memastikan, Kaesang terbuka dan akan menjelaskan semuanya.
”Kami sudah usulkan, jadwalkan waktu buat ngopi-ngopi ngobrol sama teman-teman media. Beliau baru balik dari Amerika dan mengurusi kehamilan istri. Beliau masih cari waktu. Kita tunggu waktunya Mas Ketum, ya. pasti dijelaskan semua, terbuka semua kok,” ujar Faldo (Kamis, 5/9/2024).
Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni mengatakan, Kaesang sudah kembali dari Amerika Serikat dan berada di Jakarta sejak 28 Agustus 2024. Hampir setiap hari, Kaesang berkantor di DPP PSI. Jika tidak ke luar kota, ia mengaku selalu bertemu dengan Kaesang dan berdiskusi tentang persiapan Pilkada 2024 pada sore atau malam setelah jam kerjanya sebagai Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang.
”Mas Kaesang memimpin rapat koordinasi finalisasi dukungan pilkada dan menandatangani berkas-berkas rekomendasi,” kata Raja.
Gratifikasi lewat anak dan keluarga
Terpisah, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan, terkait ribut-ribut perilaku hedon dan memamerkan gaya hidup mewah (flexing) Kaesang dan istrinya, Erina Gudono, ia membenarkan pernyataan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dan Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM bahwa perilaku itu harus diselidiki dalam konteks dugaan gratifikasi.
”KPK dan Pukat UGM mengatakan, jika kasus seperti Kaesang dibiarkan hanya dengan alasan dia bukan pejabat publik, maka nanti bisa banyak pejabat yang menyalurkan gratifikasi lewat anak dan keluarganya,” tulis Mahfud di akun X @mohmahfudmd, Selasa (5/9).
Mahfud menambahkan, publik tentu tidak bisa memaksa KPK memanggil Kaesang, karena semua itu tergantung itikad baik dari KPK. Namun, jika alasannya karena Kaesang bukan pejabat, perlu dikoreksi dalam dua hal.
Pertama, ungkapan KPK itu disebut ahistoris. Menurut dia, banyak koruptor yang terlacak setelah anak atau istrinya yang bukan pejabat diperiksa. Contohnya adalah Rafael Alun, seorang pejabat eselon III Kementerian Keuangan yang sudah divonis penjara karena anaknya yang memamerkan hidup mewah ditangkap. Anak Rafael Alun menganiaya seseorang dengan mobil mewahnya.
”KPK pun melacak kaitan harta dan jabatan Rafael Alun sebagai ayah dari si anak, ternyata ada hasil korupsi. KPK memproses dan Rafael Alun dipenjarakan,” tambah Mahfud.
Kedua, menurut dia, jika hanya karena alasan Kaesang bukan pejabat publik, lalu dianggap tidak bisa diproses, ia khawatir nanti pejabat lainnya justru bisa meminta pemberi gratifikasi untuk menyerahkan kepada anak atau keluarganya.