Soal Wawancara ”Settingan”, Presiden Balik Badan, Pengamat: Ironis
Dugaan wawancara ”settingan” Presiden Jokowi menuai kritik. Tanpa melibatkan jurnalis, informasi tersaji hanya searah.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA, NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo, di Jakarta, Jumat (30/8/2024), enggan memberikan komentar mengenai keputusannya yang lebih memilih doorstep atau wawancara cegat dengan pegawai negeri sipil dibandingkan dengan wartawan. Sejumlah kalangan menilai, pilihan Presiden tersebut hanya akan menghasilkan informasi searah. Padahal, berbagai isu aktual perlu ditanyakan wartawan demi memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui informasi.
Ditemui seusai meresmikan gedung Pelayanan Respirasi Ibu dan Anak Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur, Jumat, alih-alih memberikan tanggapan terkait dengan pilihannya tersebut, Presiden hanya tersenyum. Presiden lantas mengangkat kedua tangan seakan meminta wartawan berhenti bertanya lalu membalikkan badan, dan meninggalkan lokasi.
Pada 21 Agustus 2024 lalu terdapat video yang diunggah akun resmi Sekretariat Presiden di kanal Youtube. Rekaman video tersebut menunjukkan ada satu pertanyaan dan sedikit tanggapan dari Presiden terkait putusan Mahkamah Konstitusi dan revisi Undang-Undang Pilkada.
Meski tampak menyerupai wawancara cegat, di video itu hanya tampak tiga tangan yang menyodorkan alat rekam. Di video itu tak tampak mikrofon berlogo stasiun televisi seperti wawancara cegat biasanya berlangsung terhadap pejabat negara. Pertanyaan lanjutan yang biasanya sering diajukan wartawan pun nihil.
Wawancara cegat yang diduga settingan kembali muncul pada video yang diunggah akun serupa pada 27 Agustus 2024 lalu. Dalam video itu terdapat mikrofon yang disodorkan ke Presiden, tetapi tanpa logo stasiun televisi. Saat itu, Presiden mendapatkan pertanyaan tentang unjuk rasa mahasiswa terkait dengan revisi Undang-Undang Pilkada yang berujung dengan dibatalkannya revisi undang-undang itu oleh DPR.
Ironis
Dosen jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Ignatius Haryanto, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (30/8/2024) sore, mengatakan, wawancara settingan yang seolah-olah melibatkan jurnalis itu cukup disesalkan. Semestinya wawancara dilakukan dengan jurnalis dalam menggali informasi lebih jauh mengenai berbagai isu yang juga ingin diketahui masyarakat.
Wawancara settingan juga berpotensi membatasi upaya jurnalis untuk menggali informasi mendalam.
”Ini ironis mengingat Pak Jokowi sejak di Solo (saat menjadi wali kota) dikenal terbuka dengan media. Agak disesalkan pada akhirnya di-setting seolah Pak Jokowi ditanya oleh wartawan secara langsung,” ujarnya.
Wawancara settingan juga berpotensi membatasi upaya jurnalis untuk menggali informasi mendalam. Sebab, tanpa adanya pertanyaan dari jurnalis, informasi yang tersaji dari wawancara tersebut hanya searah.
Oleh sebab itu, menurut Haryanto, jurnalis harus kritis terhadap pernyataan Presiden dalam rekaman video tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan menggali informasi dari pihak lain sehingga berita yang disampaikan memenuhi prinsip cover both side atau memberitakan secara berimbang.
”Informasi dalam video rekaman itu jangan dijadikan satu-satunya sumber (berita). Jurnalis harus memeriksa sumber-sumber lain agar masyarakat tidak mendapatkan informasi yang satu arah,” ucapnya.
Saat rekaman video yang diunggah pada 27 Agustus itu diambil, wartawan peliput Istana sedang berada di ruang pers dan mereka akan dengan penuh semangat bersedia dilibatkan jika diundang turut wawancara dengan Presiden. Jadi, sebenarnya tak ada alasan bahwa saat itu tak ada wartawan di lingkungan Istana (Kompas.id, 29/8/2024).
Menurut Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana, wajar jika jurnalis kecewa terhadap hal itu. ”Sebab, seorang jurnalis dalam mencari berita harus kritis dan skeptis, melakukan konfirmasi, dan tidak hanya satu arah dalam mendapatkan berita,” ujarnya.
Keterbukaan dan transparansi
Yadi menyebutkan, keterbukaan dan transparansi merupakan syarat kemerdekaan pers bisa terpelihara dan berjalan dengan baik. Demokrasi yang baik juga membutuhkan kemerdekaan pers.
Pembatasan kerja jurnalistik akan menghalangi hak memperoleh informasi akurat dan faktual. ”Jadi, siapa pun harus memberikan jalan untuk kemerdekaan pers. Sebaliknya, dalam bekerja, pers juga wajib berlandaskan kode etik dan aturan yang berlaku,” ujarnya.
Video rekaman pernyataan Presiden yang diunggah akun Youtube Sekretariat Presiden bisa dijadikan salah satu bahan bagi wartawan membuat karya jurnalistik. Namun, hal itu tetap perlu dikritisi.
Yadi menambahkan, video rekaman pernyataan Presiden yang diunggah akun Youtube Sekretariat Presiden bisa dijadikan salah satu bahan bagi wartawan membuat karya jurnalistik. Namun, hal itu tetap perlu dikritisi dengan bertanya kembali kepada Presiden.
”Tentu sesuai dengan angle (sudut pandang) masing-masing. Jadi, tidak begitu saja menerima informasi satu arah,” ucapnya.