HUT DPR, Komitmen Kepatuhan kepada Konstitusi Dipertanyakan
Ketua DPR Puan Maharani menyampaikan komitmen DPR untuk patuh pada konstitusi. Hal itu kontras saat putusan MK dilabrak.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Puan Maharani mengingatkan semua anggota DPR agar menjaga komitmen terhadap kepentingan negara. Langkah-langkah politik yang diambil harus selaras dengan konstitusi dan tetap memperhatikan aspirasi rakyat.
Puan menuturkan, DPR adalah lembaga negara yang juga merupakan lembaga politik. Sebagai lembaga negara, fungsi dan kewenangan DPR diatur undang-undang agar dapat menjalankan kedaulatan rakyat secara demokratis. Adapun sebagai lembaga politik, DPR juga sangat dipengaruhi oleh berbagai dinamika politik.
”DPR sebagai lembaga negara yang juga lembaga politik tetap berkomitmen untuk mendudukkan kepentingan negara yang lebih besar selaras dengan konstitusi dengan tetap memperhatikan aspirasi dari rakyat,” ujar Puan dalam pidato memperingati HUT ke-79 DPR, Kamis (29/8/2024).
Oleh karena itu, lanjutnya, kekuasaan DPR harus dilaksanakan secara konstitusional, bermartabat, penuh hikmat kebijaksanaan, dekat dengan rakyat. Dengan demikian, prinsip demokrasi sungguh-sungguh dijalankan. DPR pun akan ikut berperan penting dalam membangun peradaban demokrasi yang semakin berkedaulatan rakyat.
Di sisi lain, kelembagaan DPR terus bertransformasi menyesuaikan dinamika politik dan sosial yang berkembang dari masa ke masa. Transformasi tersebut dibutuhkan sebagai upaya bangsa Indonesia untuk membangun demokrasi yang berkeadaban dan berlandaskan Pancasila.
Terlebih, DPR pada setiap periode zaman memiliki tantangan dan tuntutan yang berbeda. Maka, sebagai lembaga legislatif, DPR harus dapat menjawab berbagai tantangan itu sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang dimiliki.
Sebagai wakil rakyat, lanjut Puan, DPR diharapkan dapat menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk menyejahterakan masyarakat. Jangan ada lagi rakyat yang tertinggal dan ditinggalkan dari setiap kebijakan yang dilakukan DPR. Dengan demikian, seluruh rakyat dapat merasakan kehadiran negara demi kehidupan yang lebih baik.
Puan melanjutkan, DPR memberikan perhatian yang sangat besar pada pelaksanaan Pemilu 2024. Bahkan, terungkap anggaran untuk membangun kelembagaan politik melalui Pemilu 2024 cukup besar. Oleh karenanya, seluruh eksekutif dan legislatif yang terpilih pada pemilu lalu harus berkontribusi dalam menyempurnakan praktik berdemokrasi di Indonesia. ”DPR harus terus menyempurnakan praktik berdemokrasi yang semakin berkeadaban dalam memenuhi amanat konstitusi,” tuturnya.
Dalam fungsi legislasi, kata Puan, DPR bersama pemerintah telah menyelesaikan 63 judul Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang (UU) selama masa sidang 2023-2024. Rinciannya adalah enam RUU yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan 57 RUU kumulatif terbuka.
Adapun keenam UU yang berasal dari daftar Prolegnas tersebut adalah UU tentang Ibu Kota Negara, UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan UU tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta. Kemudian UU tentang Aparatur Sipil Negara, UU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan, serta UU tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
”DPR dan pemerintah dalam membentuk undang-undang harus patuh pada konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan syarat formal yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian, undang-undang yang dihasilkan memiliki legitimasi yang kuat,” ucap Puan.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, pidato Puan justru berbanding terbalik dengan realitas yang terjadi di DPR. Sebab, manuver DPR dalam sepekan terakhir justru menunjukkan tindakan yang mengutamakan kepentingan politik praktis dan sesaat dari partai dibandingkan kepentingan negara.
Hal itu terlihat saat Badan Legislasi DPR tidak tegak lurus dengan konstitusi ketika hendak merevisi UU Pilkada yang isinya bertentangan dengan Putusan MK Nomor 60 dan 70. Bahkan, hampir semua fraksi menyetujui revisi yang bertentangan dengan konstitusi itu.
DPR juga mengabaikan aspirasi rakyat yang mengingatkan agar tidak melawan putusan MK. Bahkan, aspirasi harus disampaikan melalui gelombang unjuk rasa besar-besaran di Jakarta dan berbagai kota-kota di Indonesia. Meskipun pada akhirnya DPR membatalkan revisi UU Pilkada.
”Jadi, praktiknya kepentingan negara yang lebih besar justru ditempatkan di bawah kepentingan politik pragmatis parpol-parpol di parlemen,” kata Lucius.
Di sisi lain, lanjutnya, DPR tidak pernah belajar dari kritik publik dalam merevisi undang-undang. Praktik revisi undang-undang kembali dilakukan secara kilat, seperti di sejumlah undang-undang lain yang bermuatan kepentingan dari penguasa. Akhirnya, partisipasi bermakna yang sering kali diingatkan oleh MK diabaikan.
Menurut Lucius, fungsi DPR saat ini telah direduksi hanya menjadi lembaga politik ketimbang lembaga negara. Sebab, berbagai manuver politik melalui koalisi mewarnai semua pembuatan kebijakan. Bahkan, kebijakan yang menjadi keinginan penguasa dengan mudah didukung oleh DPR hanya karena pimpinan parpol koalisi patuh di bawah Presiden.
”DPR sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan Presiden justru diturunkan derajatnya hingga menjadi lembaga negara kelas dua di bawah Presiden. DPR sungguh-sungguh lemah,” tutur Lucius.