Ragam Fenomena ”Doorstep” di Istana
”Doorstep” yang dimodifikasi intens diterapkan di Istana. Mengapa Jokowi enggan menanggapi pertanyaan langsung wartawan?
Wawancara cegat atau kerap disebut doorstep dengan Presiden Joko Widodo sangat biasa dilakukan. Berbagai isu aktual bisa ditanggapi. Presiden pun biasanya terbuka menjawab pertanyaan wartawan. Namun, ketika ramai isu sensitif seperti unjuk rasa mengawal keputusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat ambang batas dan usia calon kepala daerah, Presiden bahkan tak sanggup memandang mata wartawan. Mengapa begitu?
Menjelang Pemilu Presiden 2024, doorstep yang dimodifikasi mulai terjadi kendati tidak setiap saat. Setelah unjuk rasa besar yang memprotes revisi kilat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), pekan lalu, Presiden Jokowi terkesan menghindari wartawan.
Seusai membuka Kongres Partai Nasdem di Jakarta, Minggu (25/8/2024) malam, misalnya, Presiden berjalan lurus tak berani memandang wartawan yang dihalangi oleh Satgas Nasdem yang berbaris rapat menghalangi kerja wartawan. Padahal, wartawan-wartawan tak kurang lantang menyapa dan memanggilnya meminta wawancara. Hal serupa terjadi saat kunjungan kerja Presiden Jokowi di Lampung, Senin (26/8/2024).
Walakin, pada 21 Agustus, akun resmi Sekretariat Presiden di kanal Youtube maupun akun resmi @jokowi di Instagram mengunggah rekaman seakan-akan ada wawancara cegat dengan Presiden Jokowi. Rekaman menunjukkan ada satu pertanyaan dan sedikit tanggapan terkait putusan MK dan revisi UU Pilkada.
Baca juga: Mengapa DPR dan Pemerintah Melawan Putusan MK Terkait Pilkada?
Namun, bila dicermati, hanya terdapat tiga tangan yang menyodorkan alat rekam. Tak ada mik yang bertanda stasiun televisi, juga tak ada pertanyaan lanjutan yang biasanya menjadi ciri khas wartawan dalam menggali informasi lebih dalam.
Beberapa warganet pun mengomentari. ”Fun fact: yg wawancara bukan wartawan asli. PNS istana,” tulis @dhiofaiz. Selain itu, masih banyak komentar pedas lain dari warganet.
Di media sosial X, sehari setelahnya akun @karimasoyou pun menuliskan kritik. ”Yg nanya bukan wartawan, tapi biro pers pake mic ala-ala wartawan,” demikian kutipan unggahannya.
Rekaman pura-pura doorstep serupa muncul kembali, Selasa (27/8/2024). Dalam video itu, Presiden Jokowi tampil segar dengan kemeja lengan panjang berwarna biru muda, mirip kemeja yang biasa dipakai presiden terpilih Prabowo Subianto. Presiden dengan penuh senyum berjalan santai menyusuri lorong Istana dengan didampingi asisten ajudan Syarif Muhammad Fitriansyah. Sesaat kemudian, terdengar suara seolah wartawan yang menyapa Presiden dengan ucapan ”selamat sore”.
Presiden kemudian segera menghentikan langkahnya dan membalas sapaan ”selamat sore”. Di hadapan Presiden, sudah siap dua telepon seluler dengan mode perekam suara dan dua mikrofon. Berbeda dengan mik yang biasa dipegang wartawan, mik yang disodorkan ke Presiden ini sama sekali tanpa lambang identitas televisi tertentu yang biasanya melekat pada mik wartawan televisi. Sejenak kemudian, terdengar suara dari pegawai Biro Pers Media dan Informasi yang melontarkan pertanyaan ke Presiden.
”Pak ada tanggapan terkait sejumlah demo yang terjadi belakangan ini dan bagaimana juga dengan mahasiswa yang masih ditahan?” demikian bunyi pertanyaan pertama yang dilontarkan. Isu terkait unjuk rasa mengawal keputusan Mahkamah Konstitusi terkait ambang batas dan syarat usia di Pilkada ini memang sedang hangat terjadi di masyarakat. Beberapa pengunjuk rasa masih ditahan polisi.
Ketika rekaman video diambil, wartawan peliput Istana sedang berada di ruang pers dan mereka akan dengan penuh semangat bersedia dilibatkan jika diundang turut wawancara dengan Presiden. Jadi, sebenarnya tak ada alasan bahwa saat itu, tak ada wartawan di lingkungan Istana. Ini berbeda dengan ketika terjadi pembatasan fisik di masa pandemi.
Akun @follyakbar.my.id pun berkomentar, ”Itu pns ngapain akting wartawan.” Selain itu, akun @adid_maulana pun menuliskan, ”Ini konsepnya kayak bikin konten gitu ya pak?”. Selain itu, tentu banyak kritik ataupun dukungan yang tetap disampaikan dalam kolom komentar.
Baca juga: Selepas Pilpres, Berakhir Pula Puasa ”Ngevlog” Presiden Jokowi, seperti Apa?
Model doorstep pura-pura ini pun sempat muncul Rabu (12/6/2024) ketika Presiden Jokowi menyuarakan larangan dan bahaya judi daring. Kala itu, tangan-tangan yang mengulurkan alat perekam ke arah Presiden juga berasal dari Biro Pers dan Media Istana.
Jauh sebelumnya, pada Jumat (26/1/2024), kanal Youtube Sekretariat Presiden mengunggah video keterangan pers Presiden Jokowi terkait UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Melihat latar belakang hiasan dinding seperti terlihat di di video, rekaman yang berisi penjelasan Presiden Jokowi tersebut dilakukan di Ruang Teratai Istana Bogor.
Rangkaian bunga dan jajaran bendera yang terlihat di belakang Presiden mirip dengan hiasan panggung saat penyambutan kunjungan resmi Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao di Istana Bogor, Jumat pagi. Sehabis meliput upacara penyambutan, menjelang shalat Jumat, para wartawan yang bertugas di istana ditarik ke ruang pers karena hari itu tidak diagendakan ada konferensi pers.
Saat itu, para wartawan dari berbagai media pun mengolah dan mengirim berita ke kantor redaksi masing-masing. Semakin sore, semakin sedikit wartawan yang masih bertahan di ruang pers. Namun, tiba-tiba, kanal Youtube Sekretariat Presiden mengunggah video saat Presiden Jokowi menjawab pertanyaan. Pertanyaan dilontarkan dua orang, seorang perempuan dan laki-laki. Mendengar kekhasan suaranya, pertanyaan itu bukan disampaikan wartawan yang hari itu bertugas di Istana, melainkan sepertinya dari pihak Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden. Apalagi, pada hari Jumat itu juga tidak diagendakan ada konferensi pers atau wawancara dengan wartawan seputar isu UU Pemilu.
Dalam video itu, terlihat Presiden Jokowi menyampaikan penjelasan seputar UU Pemilu, bahkan hingga menunjukkan lembaran kertas berisi poin-poin. Kertas yang tercetak rapi itu sepertinya telah disiapkan sebelumnya.
”Itu, kan, ada pertanyaan dari wartawan mengenai menteri boleh kampanye atau tidak. Saya sampaikan ketentuan dari aturan perundang-undangan. Ini saya tunjukin,” kata Presiden Jokowi dengan gestur menunjuk pada kertas yang dipegangnya.
Kepala Negara pun menuturkan bahwa Pasal 299 UU Pemilu menyampaikan dengan jelas bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye. ”Jelas. Itu yang saya sampaikan ketentuan mengenai UU Pemilu, jangan ditarik ke mana-mana,” ujarnya.
Selanjutnya, pada Pasal 281 juga dijelaskan bahwa kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden dan wakil presiden harus memenuhi ketentuan, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatan kecuali fasilitas pengamanan, dan menjalani cuti di luar tanggungan negara. ”Sudah jelas semuanya kok, sekali lagi jangan ditarik ke mana-mana, jangan diinterpretasikan ke mana-mana, saya hanya menyampaikan ketentuan aturan perundang-undangan karena ditanya. Ya, terima kasih,” kata Presiden Jokowi.
Keterangan ini disampaikan di tengah polemik yang saat itu mengemuka terkait pernyataan sebelumnya dari Presiden Jokowi bahwa presiden dan menteri boleh berkampanye dan memihak tetapi tidak boleh menggunakan fasilitas negara.
Wartawan sungguhan
Pada era pandemi Covid-19, Presiden Jokowi sering kali juga membuat rekaman video satu arah. Namun, kala itu, rekaman video tidak dibuat dengan format tanya jawab seolah-olah sedang diwawancara oleh wartawan.
Reporter salah satu stasiun televisi Teddy menyebut akan lebih baik apabila isu-isu krusial ditanyakan wartawan sesungguhnya, bukan oleh ASN yang bertugas di Biro Pers Media dan Informasi Sekretariat Presiden.
Teddy pun mengaku sering ditanyakan oleh teman ataupun pengikutnya mengenai apakah wartawan benar-benar melakukan doorstep itu. ”Kami pengin kasih info jujur bahwa bukan kami (yang melakukannya),” ujarnya.
Seorang mantan staf Istana pun sempat secara jujur mengatakan, dia jauh lebih menyukai apabila wartawan Istana yang mengikuti Presiden dan melakukan wawancara cegat. Sebab, isu-isu aktual akan lebih tertangkap.
Blak-blakan
Secara terpisah, pengajar ilmu komunikasi Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, menyebut perilaku komunikasi Presiden Joko Widodo tak lepas dari penilaiannya atas persepsi publik terhadap dirinya. Saat ini, persepsi publik terhadap Presiden Jokowi dalam kondisi negatif setelah pemilihan presiden dan menjelang pemilihan kepala daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 membuka celah bagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju dalam pemilu presiden. Putusan ini serta-merta dihormati Presiden Jokowi.
Sikap sebaliknya ditunjukkan pada putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang menutup peluang untuk putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, maju dalam Pilkada 2024. Sehari setelah putusan MK muncul dan DPR memproses revisi UU Pilkada secara kilat, pemerintah yang diwakili Mendagri Tito Karnavian dan Menkumham Supratman Andi Agtas ikut saja dengan proses revisi kilat itu.
Mereka bahkan ikut menyetujui upaya pemberian persetujuan pengesahan revisi UU Pilkada. Maka wajar jika persepsi publik yang muncul menuding Presiden Jokowi tak keberatan dengan proses itu dan menyetujuinya.
”Akhirnya banyak yang protes, baik akademisi maupun guru besar. Ini berarti demokrasi sedang tidak baik-baik saja. Jokowi menangkap publik menilai tidak positif atas tindak lanjut putusan MK Nomor 60 dan 70 itu,” kata Emrus, Rabu (28/8/2024).
Karenanya, Emrus memastikan ada perubahan cara berkomunikasi Presiden Jokowi. Ketika masih merasa mendapat dukungan, pasti hubungannya ataupun cara berkomunikasinya lebih informal dan lebih merakyat. Namun, saat merasa tidak mendapat dukungan dari masyarakat, secara psikologis, komunikasi Presiden Jokowi berubah menjadi kaku, formalistik, dan tertutup. Dengan penilaian publik yang negatif dalam konteks demokrasi, menurut Emrus, Presiden Jokowi semestinya membuka diri.
Presiden, lanjutnya, tak bisa mengatakan putusan MK dan tindak lanjut dalam bentuk revisi UU Pilkada sebagai urusan legislatif dan yudikatif. Sebab, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, segala sesuatu menjadi tanggung jawab presiden. Apalagi dalam urusan revisi UU Pilkada, wakil pemerintah sudah ikut menyetujui materi revisi.
Dengan keterbukaan, masa satu setengah bulan sampai akhir masa jabatan akan berakhir lebih baik. ”Ibaratnya blak-blakan Istana. Masyarakat Indonesia ’kan umat beragama, pasti mau memaafkan,” tambahnya.
Baca juga: Kisah di Balik Proses RUU Pilkada: Dibatalkan MK, Dihidupkan Lagi oleh DPR Bersama Pemerintah
Sementara itu, pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menilai Presiden tidak seharusnya melakukan wawancara cegat pura-pura tanpa pelibatan wartawan. Ia bahkan menjuluki Presiden sebagai Drama King yang menginginkan segala sesuatu tampil sempurna, termasuk rekaman video kualitas terbaik dengan pertanyaan dan jawaban yang pasti terbaik.
”Yang saya sesalkan, dia berbuat seolah benar dan tidak salah. Perlawanan pers bisa dilakukan dengan tidak menayangkan gambar itu. Kalau pola siaran pers kan memang sering digunakan. Ini bahaya bagi kebebasan pers. Tekanan bagi pers menayangkan sesuatu yang enggak riil,” ucapnya.
Sayangnya, pihak Istana enggan menanggapi pertanyaan terkait alasan doorstep pura-pura ini. Deputi Bidang Protokol Pers dan Media Sekretariat Presiden Yusuf Permana tidak menjawab ketika ditanyakan, baik melalui pesan virtual maupun hubungan telepon.