Desakan agar KPK Usut Dugaan Gratifikasi Kaesang Terus Bergulir
Penggunaan fasilitas mewah oleh Kaesang, selain jadi obyek kritik etika dan politik, seharusnya didorong ke ranah hukum.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dugaan penggunaan jet pribadi oleh Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia yang juga putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, saat melakukan perjalanan ke Amerika Serikat dinilai perlu dilanjutkan ke ranah hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK tidak boleh takut terhadap penguasa.
Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini dalam keterangan tertulis, Kamis (29/8/2024), mengatakan, dalam perspektif hukum, penggunaan fasilitas mewah oleh anak pejabat negara tidak hanya menjadi obyek kritik etika dan politik. Namun, harus dan mutlak dimajukan ke ranah hukum karena sudah masuk kategori gratifikasi.
”Penelusuran hukum lebih lanjut diperlukan untuk melihat apakah ada indikasi bahwa fasilitas tersebut diterima sebagai imbalan dari pihak ketiga, terutama jika pihak tersebut memiliki kepentingan tertentu yang bisa dipengaruhi oleh keputusan ayahnya sebagai presiden,” kata Didik.
Berdasarkan data yang diunggah Manajer Riset Trend Asia Zakki Amali di akun X @ZakkiAmali, diduga jenis pesawat jet pribadi yang dipakai Kaesang dan istrinya, Erina Gudono, dari Indonesia ke AS adalah jenis Gulfstream G650 buatan tahun 2021 dengan nomor ekor pesawat N588SE. Adapun estimasi biaya sewanya adalah Rp 8,6 miliar, biaya bahan bakar Rp 355 juta, dan emisi CO2 per penumpang 5.220 kilogram.
Menurut Didik, hubungan antara Kaesang, presiden, dan keluarga dengan peminjam pesawat perlu ditelusuri tidak hanya terkait dengan kasus pesawat jet pribadi, tetapi juga hubungan yang pernah terjadi selama ini.
Demi yurisprudensi, seorang anak pejabat negara, seperti anak presiden, menerima fasilitas atau uang dari pengusaha atau pihak lain yang memiliki kepentingan tertentu, bisa dianggap sebagai gratifikasi. Meskipun anak tersebut bukan pejabat negara, ada kekhawatiran bahwa fasilitas atau uang tersebut diberikan dengan harapan memengaruhi keputusan yang diambil oleh pejabat terkait.
Jika dibiarkan, pejabat yang berkuasa akan merasa leluasa memanfaatkan kekuasaannya demi kepentingan pribadi. Sekarang momentum yang tepat karena ada transisi pejabat hukum seperti di KPK. KPK tidak perlu khawatir dan takut terhadap kekuasaan yang otoriter.
”Jika hukum dan KPK masih khawatir terhadap kekuasaan yang transisi dan lemah seperti saat ini, rakyat tidak perlu berharap lagi terhadap hukum yang juga rusak karena memang telah dirusak oleh kekuasaan Jokowi,” kata Didik.
Lebih lanjut Didik mengatakan, kasus Kaesang memperlihatkan kelakuan dan praktik gratifikasi yang sama persis dengan perilaku anak-anak pejabat pada masa pemerintahan Presiden Soeharto di Orde Baru. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas, yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Jika gratifikasi diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, hal tersebut dianggap suap. Begitu pula lingkaran keluarga yang menerima pemberian dengan memanfaatkan kekuasaan, juga praktik gratifikasi.
Meskipun bukan pejabat langsung yang terlibat, oknum keluarga yang memanfaatkan kekuasaan orangtuanya tidak terhindar dari hukum. Karena itu, kasus Kaesang setelah heboh secara politik di masyarakat sebagai praktik tidak patut, maka mutlak masuk ke ranah hukum.
Dari kasus ini dan banyak kasus lainnya, kata Didik, Presiden Jokowi secara beruntun dengan kekuasaannya telah merusak hampir semua tatanan negara, pemerintahan, hukum dan bangsa. Dirinya mengira bersih karena tidak menerima apa pun dari pengusaha atau pihak lain, tetapi apa yang dilakukan lebih rusak dari sekadar gratifikasi karena masuk kategori state capture corruption atau korupsi sistemik.
”Tatanan hukum rusak dan hancur lebur karena (Presiden Jokowi) membiarkan anaknya mengenyam fasilitas terindikasi tidak legal, KPK dilemahkan, hukum dipakai sebagai ancaman pengkritik atau lawannya. Jadi, kasus Kaesang ini harus dilanjutkan secara serius agar hukum tegak kembali,” tegas Didik.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebutkan bahwa pimpinan lembaga antirasuah tersebut memerintahkan Direktur Pelaporan Gratifikasi dan Direktur Pelaporan dan Penerimaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) untuk meminta klarifikasi kepada Kaesang.
”Pimpinan sendiri sebenarnya sudah memerintahkan direktur gratifikasi, tolong dong informasi-informasi dari media itu diklarifikasi,” ujar Alexander dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (27/8/2024), seperti dikutip Kompas.com.
Alexander juga menegaskan, KPK memegang prinsip bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Pimpinan KPK meminta bawahannya tidak ragu dan takut untuk meminta klarifikasi kepada Kaesang karena hal itu merupakan tugas dari lembaga antirasuah tersebut.
”Jangan sampai pertanyaan masyarakat itu menggantung. Apa ini kejadiannya, apakah masuk gratifikasi? Siapa yang memberikan fasilitas itu dan sebagainya harus clear,” imbuh Alexander.
Secara terpisah, Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto menjelaskan, kewajiban melaporkan penerimaan gratifikasi dibebankan kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara. Meskipun tidak diwajibkan, keluarga yang merasa menerima fasilitas atau pemberian yang diduga terkait dengan konflik kepentingan bisa melaporkan ke KPK.
Begitu juga sebaliknya, Kaesang bisa tidak melaporkan penerimaan tersebut jika yakin tidak ada kaitannya dengan konflik kepentingan. Namun, apabila setelah 30 hari setelah penerimaan tersebut ditemukan adanya laporan atau informasi intelijen, bisa ditindaklanjuti dengan proses penyelidikan.
Gaya hidup Kaesang-Erina
Tak sebatas desakan agar KPK mengusut dugaan gratifikasi, warganet banyak yang mengkritisi gaya hidup Kaesang dan Erina yang dinilai mewah.
Terkait dengan kritik itu ataupun soal dugaan gratifikasi belum ada komentar dari Kaesang ataupun partainya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono saat ditanya soal itu, Senin lalu, enggan berkomentar. Heru pun menegaskan tak ingin berkomentar lebih jauh lagi. ”Kan ada jubir (juru bicara) Istana. Cukup, ya, terima kasih,” ucap Budi.
Pada Minggu (25/8/2024), Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni mengatakan bahwa pendapat dari warganet bagian dari dinamika demokrasi. Ia menyebutkan, setiap warga negara bebas menyampaikan saran dan kritik.
”Ya, itu bagian dari dinamika demokrasi. Itu adalah kebebasan warga negara yang bisa kita nikmati. Untuk saran, kritik, ya, kadang tajam, terlalu tajam, ya, monggo. Itu bagian dari demokrasi,” ujarnya.