Kapolri Diminta Bertanggung Jawab atas Kekerasan Aparat terhadap Demonstran
Masyarakat sipil menduga kekerasan aparat terhadap demonstran dipengaruhi kedekatan Kapolri dengan Presiden.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
Perwakilan dari kelompok masyarakat sipil, Usman Hamid (kanan) dan Benny Susetyo, memberikan keterangan pers seusai bertemu dengan petinggi Polri, Rabu (28/8/2024), di Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok masyarakat sipil dan akademisi, Rabu (28/8/2024), menyambangi Markas Besar Kepolisian Negara RI, Jakarta, untuk menyampaikan kritik atas kekerasan yang dilakukan aparat terhadap sejumlah demonstran yang terjun dalam unjuk rasa menolak revisi Undang-Undang Pilkada di sejumlah tempat beberapa hari terakhir ini. Kepolisian dinilai semakin jauh dari sosok pelindung dan pengayom masyarakat.
Hal itu disampaikan kelompok masyarakat sipil dan akademisi di Mabes Polri, pada Rabu siang. Mereka adalah Usman Hamid, Tini Hadad, Benny Susetyo, Todung M Lubis, Omi Komaria Madjid, Henny Supolo, Nong Darol Mahmada, Zumrotin K Susilo, Tunggal Pawestri, Sandra Hamid, Heru Hendratmoko, Alif Iman, dan Simon P Lili Tjahjadi.
Pada mulanya, mereka bermaksud beraudiensi dengan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Namun, Kapolri disebut tengah bepergian ke Bali. Mereka kemudian diterima Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadivpropam Polri) Inspektur Jenderal Abdul Karim, Koordinator Staf Ahli Kapolri (Korspri) Irjen Hari Gunawan, serta Staf Ahli Kapolri Rustika Hambalang dan Andy Soebijakto.
Menurut Usman Hamid, dalam pertemuan itu, pihaknya menyampaikan beberapa hal, salah satunya mempertanyakan kebijakan Kapolri dalam menangani unjuk rasa di sejumlah kota terkait revisi Undang-Undang Pilkada. Mereka mencatat, kekerasan aparat terhadap demonstran terjadi pada sejumlah unjuk rasa di 12 kota, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Makassar, Malang, Banda Aceh, Tarakan, Purwokerto, Palu, Banjarmasin, Kediri, dan Pekanbaru.
Di kota-kota tersebut, kata Usman, kepolisian menggunakan kekuatan yang eksesif, seperti water canon, gas air mata, serta kekerasan berupa pemukulan maupun tindakan tidak manusiawi lainnya. Selain itu, juga ditengarai terdapat penangkapan dan penahanan terhadap demonstran yang dilakukan secara sewenang-wenang.
Pihaknya mencatat, pada saat demonstrasi pada Kamis (22/8/2024) lalu, di Jakarta, terdapat 29 demonstran yang ditangkap Polda Metro Jaya dan 109 orang lainnya ditangkap Kepolisian Resor Jakarta Barat. Selain itu, setidaknya juga terdapat 11 jurnalis yang diintimidasi dan alami kekerasan.
”Kami menduga tindakan itu merupakan pilihan kebijakan di tingkat pusat, khususnya Mabes Polri. Kalau itu benar terjadi, kami mendesak Kapolri untuk mempertanggungjawabkan itu. Bahkan, kami tadi menyampaikan, kalau perlu Kapolri mundur,” kata Usman.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyampaikan agar para pengunjuk rasa yang terlibat dalam demonstrasi menolak revisi Undang-Undang Pilkada dan menuntut DPR mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi terkait pilkada itu agar bisa segera dibebaskan. Presiden pun telah menyampaikan, dalam negara demokrasi seperti Indonesia, penyampaian aspirasi ataupun penyampaian pendapat adalah hal yang baik dalam berdemokrasi.
Kami menduga tindakan itu merupakan pilihan kebijakan di tingkat pusat, khususnya Mabes Polri. Kalau itu benar terjadi, kami mendesak Kapolri untuk mempertanggungjawabkan itu.
”Dan, saya sangat menghargai itu, saya sangat menghormati itu, dan saya titip, hanya saya titip, mohon penyampaian aspirasi itu dilakukan dengan cara yang tertib dan damai sehingga tidak merugikan, tidak mengganggu aktivitas warga dan lainnya,” ujar Presiden dalam rekaman video, Selasa (27/8/2024).
Usman memandang, kekerasan yang dilakukan aparat terhadap demonstran dipengaruhi kedekatan Kapolri dengan Presiden Joko Widodo. Penilaian itu, menurut Usman, juga ia sampaikan dalam pertemuannya dengan Kadiv Propam Polri Irjen Abdul Karim.
Adanya kedekatan Kapolri dengan Presiden, lanjut Usman, mengakibatkan Polri tidak bisa berada di tengah, termasuk tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Tidak hanya tindakan eksesif dalam menangani demonstrasi, kepolisian juga dinilai mengontrol ruang siber. Peralatan penyadapan yang dimiliki Polri dinilai membahayakan kebebasan berekspresi masyarakat.
”Selebihnya, perwakilan menyampaikan keresahan tentang kepolisian yang tidak lagi mencerminkan pelayanannya kepada masyarakat, tetapi justru menjadi alat bagi rezim yang sedang berkuasa,” ujarnya.
Benny Susetyo menambahkan, dalam pertemuan itu, pihaknya menyampaikan harapannya agar kepolisian kembali lagi kepada cita-cita reformasi. Polri diharapkan kembali menjadi alat negara, bukan milik rezim. ”Harus mengembalikan Polri sebagai milik rakyat, bukan milik rezim,” kata Benny.
Menurut Usman, atas berbagai kritik dan masukan yang disampaikan, Kadiv Propam Polri disebut mengakui adanya kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Kadiv Propam pun disebut berjanji akan menghubungi sejumlah kepala kepolisian daerah mengenai dugaan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap demonstran di sejumlah kota yang telah disampaikan.
Masukan tersebut akan dibuat dalam laporan tertulis yang otentik untuk kemudian disampaikan kepada Kapolri.
Sementara Koorspri Kapolri mengapresiasi aspirasi masyarakat sipil dan akademisi tersebut. Masukan tersebut akan dibuat dalam laporan tertulis yang otentik untuk kemudian disampaikan kepada Kapolri.