DPR Melawan Putusan MK, Aturan Ambang Batas Pencalonan yang Inkonstitusional Dihidupkan Lagi
Fraksi-fraksi tak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya terkait kesepakatan pada revisi UU Pilkada.
Oleh
IQBAL BASYARI, NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam merevisi Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Rabu (21/8/2024), Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat atau BalegDPR bersepakat menghidupkan kembali ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 60/PUU-XXII/2024pada Selasa (20/8/2024) kemarin. Dalam revisi tersebut, DPR hanya mengakomodasi putusan MK terkait dengan kemungkinan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD untuk mengajukan calon kepala daerah.
Kesepakatan ini dicapai dengan kilat. Fraksi-fraksi di DPR, seperti Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), tak diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat atas kesepakatan tersebut. Padahal, ada materi revisi pada UU Pilkada itu yang bertentangan dengan putusan MK.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Achmad Baidowi, Rabu, mengklaim, revisi Pasal 40 UU Pilkada yang disepakati telah mengadopsi putusan MK. Dalam aturan yang baru, parpol yang tidak memiliki kursi DPRD dapat mencalonkan kepala daerah sesuai dengan perintah MK. Aturan ini direvisi pembentuk undang-undang untuk memberikan rasa keadilan kepada seluruh parpol peserta pemilu.
Dalam pembahasan pasal tersebut, relatif tidak ada yang mengajukan interupsi. Oleh karena itu, Baidowi mengklaim aturan tersebut disepakati oleh seluruh fraksi DPR dan fraksi DPD.
Sementara itu, dengan telah disepakatinya revisi UU Pilkada tersebut, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Supratman Andi Agtas menyampaikan, pihaknya akan mengikuti DPR. ”Kalau sudah disepakati, pemerintah ikut DPR,” ucapnya.
Abaikan putusan MK
Dalam Rapat Panitia Kerja Revisi UU Pilkada di Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu, yang digelar tepat sehari setelah MK menjatuhkan putusan perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas partai untuk mencalonkan kepala daerah yang diatur dalam Pasal 40 UU Pilkada, DPR malah mengabaikan putusan MK tersebut.
Padahal, MK dalam putusannya, Selasa kemarin, telah menyatakan bahwa Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada yang mengatur soal ambang batas pencalonan kepala daerah yang mensyaratkan 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah itu bertentangan dengan UUD 1945. Untuk itu, MK memberikan norma baru yang mengatur bahwa pendaftaran pasangan calon kepala daerah didasarkan pada perolehan suara sah partai politik di pemilu anggota DPRD provinsi atau kabupaten/kota dengan persentase tertentu, disesuaikan dengan jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap (DPT) setempat.
Sebaliknya, DPR dalam merevisi ketentuan Pasal 40 UU Pilkada, pada Rabu ini, malah membuat kesepakatan yang bertolak belakang dengan putusan MK tersebut.
Sebaliknya, DPR dalam merevisi ketentuan Pasal 40 UU Pilkada pada Rabu ini malah membuat kesepakatan yang bertolak belakang dengan putusan MK tersebut. DPR bersepakat menghidupkan kembali ketentuan ambang batas yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK dalam putusannya, yakni menyepakati bahwa parpol pemilik kursi DPRD hanya dapat mengajukan calon kepala daerah jika memenuhi syarat 20 persen kursi atau 25 persen suara sah di pemilu anggota DPRD.
Materi revisi pada UU Pilkada ini tak hanya disepakati oleh DPR, tetapi disepakati pula oleh Dewan Perwakilan Daerah, dan juga Pemerintah yang turut hadir dalam Rapat Panitia Kerja Revisi UU Pilkada.
Berdasarkan revisi yang disepakati di Rapat Panitia Kerja Revisi UU Pilkada itu, Pasal 40 UU Pilkada terdiri atas dua ayat. Pasal 40 Ayat (1) menyatakan, ”Partai politik atau gabungan partai politik yang telah memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”.
Selanjutnya, Pasal 40 Ayat (2) diatur mengenai syarat ambang batas pencalonan kepala daerah bagi parpol atau gabungan parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD. Untuk dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah, parpol nonparlemen tersebut harus memperoleh suara sah berkisar 6,5-10 persen, bergantung pada jumlah daftar pemilih tetap di daerah tersebut.
Menanggapi kesepakatan dari rapat tersebut, anggota Panitia Kerja Revisi UU Pilkada dari Fraksi PDI-P DPR, TB Hasanuddin, meminta salinan atas draf Revisi UU Pilkada yang selesai dibahas itu.
Seusai rapat tersebut, anggota Panja dari DPR dari Fraksi PDI-P, TB Hasanuddin, menyayangkan proses pembahasan yang berlangsung cepat. Bahkan, ketika ditayangkan draf RUU Pilkada di layar pun, setiap fraksi tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan langsung diputuskan.
Menurut dia, ada sejumlah pasal yang bertentangan dengan keputusan MK. Misalnya, di Pasal 40 Ayat 1, Panja tak menghiraukan putusan MK dan tetap berpegang pada aturan awal. Partai atau gabungan partai yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara.
Menurut dia, perubahan hanya terjadi pada Pasal 40 Ayat 2. Partai atau gabungan partai yang tidak memiliki kursi di DPRD dapat mendapatkan calon gubernur dan calon wakil gubernur dengan ketentuan provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai 2 juta jiwa. Partai atau gabungan partai peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen.
”Ini bertentangan dengan keputusan MK. Nah, kalau keputusan MK itu adalah, ya, (berlaku) untuk semua, kan. Nah, di sini hanya ditulis untuk yang tidak memiliki kursi. Begitulah,” ucapnya.
Jika pada akhirnya PDI-P kalah dengan suara mayoritas partai, PDI-P akan membuat nota khusus penolakan.
Menanggapi kesepakatan pada revisi UU Pilkada tersebut, Hasanuddin mengatakan, PDI-P telah bersikap dan akan meneruskan perjuangan untuk tetap mendorong agar demokrasi di Indonesia tetap berjalan sesuai dengan aturan dan kesepakatan yang sudah ada. Jika pada akhirnya PDI-P kalah dengan suara mayoritas partai, PDI-P akan membuat nota khusus penolakan.
”Ya kami akan membuat nota khusus penolakan. Kami sepakati, kami akan taat azas kepada keputusan MK. (Putusan) MK itu final dan harus diikuti. Selesai,” ujarnya.