Kronologi Kasus Jessica Wongso, dari Putus Cinta hingga Membunuh dengan Kopi Sianida
Mengacu salinan putusan hakim di PN Jakpus dan kasasi, bisa dilihat keyakinan hakim memutus Jessica Wongso bersalah.
Hidup Jessica Kumala Wongso alias Jess berubah drastis saat memasuki usia 27 tahun, tepatnya di awal tahun 2016, saat ia harus bolak-balik menghadap penyidik Polda Metro Jaya. Ia menjadi tersangka pembunuhan temannya sendiri, Wayan Mirna Salihin, yang meninggal di Restaurant Olivier, West Mall Ground Floor, Grand Indonesia, pada 6 Januari 2016, sesaat setelah meminum es kopi vietnam yang dipesan Jessica.
Pada akhirnya, Jessica Wongso ditahan di Rutan Polda Metro Jaya pada 30 Januari 2016 atau 24 hari setelah kematian Mirna. Ia kemudian diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk pertama kalinya pada 15 Juni 2016.
Persidangan Jessica menyedot perhatian masyarakat luas di republik ini. Masyarakat, di mana pun berada, bisa mengikuti persidangan Jessica karena disiarkan secara langsung oleh banyak stasiun televisi nasional. Perdebatan antara kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan dan tim, dengan majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut dapat diikuti dari pagi hingga siang bahkan sore hari.
Tak hanya itu, di sela-sela persidangan, masyarakat disuguhi wawancara dan talk show membahas permasalahan es kopi sianida. Para pakar pidana dihadirkan, demikian pula dengan ahli kriminologi.
Peristiwa tersebut bermula ketika Jessica Wongso yang tinggal dan bekerja di NSW Ambulance Australia, pulang ke Indonesia akhir 2015. Pada 5 Desember, Jessica menghubungi Mirna dan mengajak bertemu. Pertemuan ”makan malam” itu pun terjadi pada 8 Desember 2015 antara Jessica, Mirna, dan Arief Setiawan (suami Mirna).
Menurut majelis hakim PN Jakpus, pertemuan itu menjadi titik awal terbunuhnya Mirna. Seperti dikutip dari salinan putusan PN Jakpus, di dalam pertemuan tersebut, Jessica dapat melihat kebahagiaan hidup Mirna dan suaminya sehingga membuat hati Jessica kian tersayat dan dipenuhi rasa iri. Apalagi, Mirna tak mengundang Jessica untuk hadir ke pernikahannya yang digelar beberapa bulan sebelumnya.
Berbanding terbalik dengan hidup Mirna, Jessica kala itu sedang dirundung banyak masalah. Selain baru saja putus dari pacarnya bernama Pattrick, Jessica juga diberhentikan dari NSW Ambulance Australia pada 1 Desember 2015. Ia juga dipanggil pengadilan lokal NSW, Australia, karena menabrak rumah panti jompo di wilayah tersebut.
Berdasarkan keterangan sejumlah saksi, kondisi mental Jessica juga tak baik-baik saja. Jessica beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Berdasarkan keterangan ahli psikiatri forensik, ada potensi Jessica berperilaku agresif apabila dalam situasi tekanan dan tidak mendapat dukungan sosial yang adekuat. Majelis hakim PN Jakpus pun berkesimpulan, unsur sakit hati atau dendam dari Jessica menjadi motif atau sebab-musabab kematian Mirna.
Baca juga: Divonis 20 Tahun Penjara, Jessica Wongso Hanya Jalani 8 Tahun
Majelis hakim menilai Jessica terbukti melakukan pembunuhan berencana sesuai dakwaan jaksa yang menggunakan Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hakim pun harus membuktikan unsur sengaja dan terencana dalam kasus kematian Mirna.
Unsur ”sengaja” itu disimpulkan hakim saat Jessica mulai aktif menghubungi Mirna dan kawan-kawannya, membuat grup WA, sampai akhirnya pada 6 Januari 2016 pukul 12.58 WIB menyatakan akan menraktir Mirna, Hanie, dan Vera (kawan-kawan se-grup WA). Pada hari itu, di dalam percakapan grup WA, Jessica memposting menu minuman di Café Olivier, serta menyatakan akan datang terlebih dahulu ke kafe tersebut untuk memesan tempat.
Terbukti tidak lama setelah meminum VIC tersebut, langsung korban Mirna kolaps karena di dalam VIC diduga telah ditambahkan natrium NaCN siadinida.
Masih di grup tersebut, Mirna menyatakan kesukaannya terhadap es kopi vietnamese iced coffee (VIC) di kafe tersebut. Saat Mirna datang, VIC sudah terhidang di meja. Mirna sempat bertanya es kopi tersebut untuk siapa dan dijawab Jessica bahwa es tersebut dipesan untuk dirinya.
”Mirna langsung mengambil minuman VIC dan mengaduk kopi sebentar dengan sedotan yang sudah ada di dalam gelas, kemudian meminum dengan menggunakan sedotan. Dan terbukti tidak lama setelah meminum VIC tersebut langsung korban Mirna kolaps karena di dalam VIC diduga telah ditambahkan natrium NaCN siadinida, dan sebagai bukti kepuasan dendam tersebut, terdakwa mengatakan kepada saksi Sandi (kembaran korban Mirna), ”Lihat muka Mirna sudah tenang,” seperti dikutip dari salinan putusan PN Jakpus halaman 340.
PN Jakpus menilai semua unsur pidana dalam Pasal 340 KUHP terbukti. Unsur barang siapa, unsur kesengajaan, lalu unsur direncanakan terlebih dahulu, dan unsur merampas nyawa orang lain terbukti seluruhnya. PN Jakpus pun menghukum Jessica dengan pidana 20 tahun penjara.
Banding dan kasasi ditolak
Atas putusan tersebut, Jessica mengajukan banding, tetapi ditolak. Kasasi pun diajukan ke Mahkamah Agung, tetapi juga ditolak. Majelis kasasi yang menangani perkara Jessica, yaitu Artidjo Alkostar selaku ketua serta Salman Luthan dan Sumardijatmo selaku hakim anggota, menguatkan putusan judex facti (pengadilan sebelumnya).
Dalam putusan yang dijatuhkan pada 21 Juni 2017, majelis kasasi menyatakan, ”Judex facti tidak salah dalam menerapkan hukum dalam mengadili terdakwa. Judex facti telah mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis dengan benar dengan memverifikasi keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, surat-surat, petunjuk, dan barang bukti secara tepat dan benar, sehingga diperoleh fakta-fakta hukum yang benar mengenai perkara a quo yang relevan dengan dakwaan penuntut umum.”
Dalam salinan putusan kasasi, majelis kasasi menggarisbawahi beberapa fakta di persidangan yang menjadi konstruksi hukum Pasal 340 KUHP. Pertama, es kopi vietnam tersebut tidak seperti VIC biasanya. Biasanya, VIC yang dipesan Mirna dari Café Oliver berwarna cokelat dan beraromakuat. Namun, pada saat VIC tersebut dalam ”penguasaan” Jessica selama 53 menit, warna kopi sudah berubah menjadi kuning dengan aroma menyengat, tetapi bukan aroma kopi.
Kedua, majelis kasasi juga mencermati posisi sedotan es kopi. Saat dihidangkan, posisi sedotan ada di samping gelas tumbler dengan ujung yang masih terbungkus kertas. Namun, setelah VIC itu di bawah penguasaan Jessica dan sebelum diminum Mirna, posisi sedotan sudah berubah. Sedotan sudah berada di dalam gelas minuman VIC.
Ketiga, pada saat Mirna meminum kopi tersebut, ia pun mengipas-ngipas mulutnya dengan tangan. Kemudian, dari mulut Mirna, keluar gelembung busa air liur dan Mirna pun kejang-kejang. Mirna pun bersandar ke sofa dan tidak sadarkan diri hingga dibawa ke Rumah Sakit Abdi Waluyo. Namun, Mirna tak tertolong dan dinyatakan meninggal pada 6 Januari 2016 pukul 18.00 WIB.
Marwan Amir ikut mencicipi sedikit kopi VIC tersebut dan menjelaskan bahwa rasanya pahit. Ia mengeluh pusing, mual, dan ada rasa terbakar di dalam lidahnya.
Keempat, saksi yang ada di lokasi kejadian, Marwan Amir, mengaku ikut mencicipi sedikit kopi VIC tersebut dan menjelaskan bahwa rasanya pahit. Ia pun kemudian mengeluh pusing, mual, dan ada rasa terbakar di dalam lidahnya. Ia pun kemudian meludahkan kopi yang dicicipi itu dan muntah beberapa kali, lalu berkumur-kumur dengan air keran. Tak hanya Marwan Amir, Hanie pun mencicipi es kopi VIC dan mengeluh pusing-pusing sehingga harus mengonsumsi obat untuk membuang racun yang sudah telanjur masuk.
Kelima, berdasarkan visum et repertum nomor pol. R/007/1/2016/Rumkit, Bhay.Tk.1 tertanggal 10 Januari 2016, Mirna meninggal dengan keadaan bibir bagian dalam berwarna kebiruan dan kelainan lambung yang diakibatkan oleh bahan korosi. Hasil laboratorium yang memeriksa sisa minuman dan organ cairan tubuh pun menyimpulkan bahwa VIC yang diminum Mirna mengandung bahan beracun ion sianida.
Baca juga: Dinilai Berkelakuan Baik, Jessica Wongso Bebas Bersyarat
Keenam, berdasarkan pemeriksaan rekaman CCTV di tempat kejadian, setelah meminum es kopi Sianida tersebut, Mirna mengibas-ngibas mulutnya, kemudian kejang dan sesak napas. Berdasarkan barang bukti yang ada, ahli dr Slamet Purnomo Sp.F.,DFM pun yakin bahwa korban meninggal karena keracunan sianida.
Ketujuh, majelis kasasi yang tidak dapat membenarkan alasan kasasi Jessica Wongso dan kuasa hukumnya bahwa Mirna meninggal bukan karena minum racun sianida. Alasan kuasa hukum Jessica, dalam tubuh Mirna tidak ditemukan racun Sianida. Majelis hakim menilai, kuasa hukum Jessica mengambil hasil pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik Polri secara sepotong-sepotong dan secara sembrono menyimpulkan Mirna meninggal bukan karana sianida.
Selain itu, ada beberapa alasan lain yang terkait dengan sedikitnya racun sianida di tubuh Mirna (0,2 mg/l) yang dinilai oleh kuasa hukum Jessica tidak dapat menimbulkan kematian. Namun, majelis kasasi membantah alasan tersebut sebab jumlah sianida 0,2 mg/l tersebut dideteksi tiga hari setelah Mirna meninggal dan setelah dilakukan pengawetan mayat dengan menggunakan formalin.
”Sesungguhnya berdasarkan perhitungan ahli, ahli toksikologi Dr Nursamran Subandi M.Si mengatakan dengan kadar NaCN Sianida yang masuk ke tubuh korban Wayan Mirna Salihin sebesar 298 mg/l jauh lebih besar dari lethal dose (batas dosis yang mematikan) yang hanya 171,42 mgl/l untuk berat badan manusia dengan bobot 60 kg,” demikian bunyi pertimbangan majelis kasasi halaman 81.
Hari ini, Minggu (18/8/2024) atau delapan tahun tujuh bulan 12 hari, Jessica bisa menghirup udara bebas di luar lembaga pemasyarakatan setelah merasakan dinginnya tembok penjara selama kurang lebih delapan tahun. Ia mendapatkan pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia setelah mendapatkan potongan hukuman dengan total 58 bulan 30 hari atau hampir 5 tahun.
Meskipun sudah berada di luar penjara, Jessica Wongso masih harus menjalani wajib lapor ke Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Timur-Utara dan mengikuti progam pembimbingan hingga 27 Maret 2032. Status bebas bersyarat tersebut bisa dicabut, apalagi jika yang bersangkutan melakukan pelanggaran hukum.
Selain itu, pembebasan bersyarat juga bisa dicabut apabila menimbulkan keresahan di dalam masyarakat, tidak melapor ke Bapas tiga kali berturut-turut, tidak melaporkan perubahan alamat tempat tinggal, dan tidak mematuhi atau mengikuti program pembimbingan yang ditetapkan.