Mati Satu, Tumbuh Seribu Uji Materi Pasal ”Presidential Threshold” di MK
Sudah 32 kali uji materi pasal ”presidential threshold” di MK, tetapi belum ada yang dikabulkan. Apa kali ini berhasil?
Mati satu, tumbuh seribu. Pepatah itu sepertinya tepat untuk menggambarkan upaya dari sejumlah pihak untuk menguji aturan soal ambang batas pencalonan presiden di Mahkamah Konstitusi. Tak terkecuali bagi pegiat pemilu, Hadar Nafis Gumay dan Titi Anggraini, yang ikut mengajukan gugatan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sejarah bahwa tak ada satu pun dari 32 kali pengujian tentang ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) tak menyurutkan langkah mereka untuk kembali menguji aturan main di pemilihan presiden tersebut. Keduanya bahkan mengklaim memiliki kedudukan hukum atau legal standing sebagai pemohon serta memiliki kebaruan argumentasi permohonan.
Berdasarkan catatan MK, dari 32 kali pengujian pasal dimaksud, sebanyak 24 perkara dinyatakan tidak dapat diterima, 6 perkara ditolak, dan 2 perkara ditarik kembali. Padahal, penggugat berasal dari beragam latar belakang, mulai dari politikus, akademisi, masyarakat sipil, hingga partai politik peserta pemilihan umum.
Gugatan ke MK tentang ambang batas pencalonan presiden bahkan sudah didaftarkan tiga hari setelah RUU itu disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 21 Juli 2017. Kala itu, politikus Partai Gerindra, Habiburokhman, termasuk pihak yang pertama mengajukan gugatan. Sementara Hadar dan Titi juga pernah menjadi bagian dari pihak yang mengajukan uji materi serupa bersama Direktur Eksekutif Kode Inisiatif Veri Junaidi.
Kebanyakan, perkara yang tidak dapat diterima itu karena terkendala pada kedudukan hukum atau legal standing pemohon. Sementara perkara yang ditolak karena MK menilai ambang batas pencalonan presiden adalah kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang atau open legal policy.
Sementara saat ini ada empat gugatan tentang ambang batas pencalonan presiden yang masih disidangkan oleh MK. Termasuk salah satunya, gugatan yang diajukan oleh Hadar dan Titi yang telah memasuki sidang pemeriksaan pendahuluan pada Rabu (7/8/2024). Gugatan mereka merupakan gugatan ke-36 terkait ambang batas pencalonan presiden yang disidangkan MK.
”Argumentasi yang kami ajukan memiliki kebaruan yang sebelumnya belum pernah diajukan dalam permohonan yang telah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi,” ujar Titi di Jakarta, Kamis (8/8/2024).
Dalam mengajukan gugatan itu, Hadar dan Titi juga menggandeng tiga kuasa hukum dari generasi Z. Ketiganya adalah Ahmad Alfarizy, Nur Fauzi Ramadhan, dan Sandy Yudha Pratama Hulu yang usianya kurang dari 25 tahun. Salah satu di antaranya Nur Fauzi, disabilitas netra total.
Baca juga: Untuk Ke-31 Kalinya, MK Diminta Hapus ”Presidential Threshold”
Alfarizy dan Nur Fauzi pernah menjadi pemohon dalam perkara 12/PUU-XXII/2024 tentang calon anggota legislatif terpilih mengundurkan diri jika berkontestasi di pemilihan kepala daerah (pilkada). Adapun Sandy terlibat dalam pengujian pasal tentang larangan kampanye di UU Pilkada pada perkara 69/UU-XXII/2024 yang sekarang sedang berlangsung.
”Kami ingin memperlihatkan bahwa orang muda itu adalah artikulasi dari tanggung jawab, kecerdasan, mampu menyusun strategi yang kuat, dan punya resiliensi perjuangan yang tangguh,” ujar Titi.
Permohonan uji materi Pasal 222 UU Pemilu yang diajukan oleh Hadar dan Titi terkait dengan ambang batas pencalonan presiden. Pasal itu mengatur bahwa hanya parpol atau gabungan parpol yang menguasai minimal 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau meraih paling sedikit 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya yang dapat mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Meskipun Pasal 222 UU No 7/2017 hanya menyebutkan parpol atau gabungan parpol, keduanya menilai punya kedudukan hukum untuk menguji aturan tersebut. Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili oleh Direktur Eskekutif Netgrit Hadar Nafis Gumay merupakan badan hukum yang bergerak di isu kepemiluan. Netgrit merasa hak konstitusionalnya terganggu karena pasal tersebut menjadikan pemilu tidak demokratis. Hadar juga mantan anggota Komisi Pemilihan Umum yang pernah dianugerahi penghargaan Bintang Penegak Demokrasi dari Presiden Joko Widodo.
Baca juga: MK: Ambang Batas Pencalonan Presiden Sesuai Konstitusi
Adapun Titi Anggraini memiliki kualifikasi perseorangan yang aktif di bidang kepemiluan dan menjadi pengajar pemilu. Titi juga pernah menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilu pusat pada Pemilu 1999 serta pernah menjadi Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Ia menilai, penentuan ambang batas pencalonan presiden yang tidak didasarkan pada basis penghitungan yang transparan, rasional, terbuka, dan sesuai dengan prinsip pemilu. Akibatnya, keadaan itu merugikan Titi karena tidak berkesesuaian dengan aktivisme selama puluhan tahun untuk mewujudkan sistem kepemiluan yang adil, demokratis, dan proporsional.
Dari sisi substansi, keduanya mendalilkan bahwa ambang batas pencalonan presiden tidak berkorelasi dengan penguatan sistem presidensialisme multipartai. Ambang batas pencalonan presiden yang diharapkan menjadi sarana untuk membentuk dukungan presiden yang kuat di parlemen tidak sepenuhnya terjadi. Sebab, banyak parpol di luar pengusung justru merapat setelah pilpres berakhir.
Dengan demikian, desain ambang batas pencalonan dalam Pasal 222 UU Pemilu melanggar aspek proporsionalitas dan rasionalitas dalam suatu pilihan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang. Pemberlakuan aturan itu justru melemahkan checks and balances dalam pembentukan undang-undang di Indonesia yang mencederai kedaulatan rakyat.
Selanjutnya, pengaturan ambang batas pencalonan presiden tidak berkaitan dengan penyederhanaan kepartaian dan prinsip efektif dan efisien dalam pemilihan presiden. Misalnya, pada Pilpres 2004 dengan ambang batas pencalonan pada angka 3 persen kursi atau 5 persen suara sah pemilu DPR, tercatat saat itu hanya lima pasangan calon yang ditetapkan KPU sebagai peserta pilpres.
Ketika ambang batas pencalonan dinaikkan menjadi 20 persen total kursi di DPR atau 25 persen dari suara sah secara nasional, juga tidak menyederhanakan jumlah calon dan koalisi partai secara signifikan. Bahkan, penerapan angka ambang batas pencalonan pada Pemilu 2009 bertentangan dengan perencanaan atau peta jalan UU No 23/2003 yang seharusnya menempatkan ambang batas pencalonan sebesar 15 persen dari total kursi DPR atau 20 persen dari suara sah secara nasional.
Inkonsistensi tersebut menunjukkan bahwa basis perhitungan besaran angka ambang batas pencalonan tidak didasarkan pada pertimbangan yang berkelanjutan, ilmiah, dan akademis. Sebaliknya, ambang batas pencalonan justru menjadikan parpol kesulitan memenuhi syarat 20 persen kursi atau 25 persen suara dalam pencalonan. Hal itu berakibat pada terhambatnya fungsi kaderisasi parpol dan hak parpol peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon.
Lebih jauh, ketentuan ambang batas pencalonan presiden tidak memberikan keadilan bagi parpol peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di parlemen dan parpol baru. Meskipun mereka turut mendukung pasangan tertentu, tanda gambar parpol tidak dicetak dalam surat suara. Akibatnya, parpol nonparlemen dan parpol baru tidak mendapatkan efek ekor jas yang signifikan.
Baca juga: Efek Ekor Jas Tak Terlihat di Pemilu 2024
Oleh karena itu, mereka memiliki empat skema dalam pencalonan presiden. Pertama, parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR. Kedua, gabungan parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR. Ketiga, gabungan parpol peserta pemilu terdiri dari parpol yang memiliki kursi di DPR dan parpol yang tidak memiliki kursi. Ketiga skema itu tidak mensyaratkan ambang batas pencalonan presiden.
Adapun skema keempat, yakni gabungan parpol peserta pemilu terdiri dari partai-parpol yang tidak memiliki kursi di DPR yang memenuhi syarat ambang batas pencalonan yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Mereka harus memenuhi 20 persen dari jumlah parpol peserta pemilu dengan pembulatan ke bawah agar bisa mengusulkan pasangan capres-cawapres.
”Secara garis besar, permohonan ini menggunakan logika yang serupa dengan pertimbangan hukum MK pada ambang batas parlemen. Keduanya sama-sama memandang bahwa pasal yang diuji adalah kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, tetapi tetap harus dalam batasan yang tidak melanggar prinsip keberlanjutan, rasionalitas, keilmiahan, hak politik, dan kedaulatan rakyat,” tutur Titi.
Menyikapi permohonan itu, hakim konstitusi Guntur Hamzah meminta pemohon untuk membandingkan syarat pencalonan presiden di sejumlah negara. Hal ini untuk melihat korelasi antara syarat ambang batas pencalonan presiden dan indeks demokrasi. Dengan demikian, permohonan untuk menghilangkan ambang batas pencalonan presiden didukung dengan argumen yang kuat.
Guntur juga meminta Hadar dan Titi memperkuat kedudukan hukum sebagai pemohon. Netgrit harus membuktikan kontribusinya selama ini dalam isu-isu pemilu, sedangkan Titi diminta untuk memberikan argumen bahwa dirinya juga memiliki hak memilih yang dirugikan atas aturan tersebut.
”Permohonan dari ”guru besar” sudah memadai, alasan permohonan memadai bisa dipahami dengan baik oleh majelis panel,” ujar Hakim Konstitusi, Arsul Sani.
Adapun Ketua MK Suhartoyo mengingatkan, banyak gugatan tentang ambang batas pencalonan presiden yang gagal melewati ketentuan kedudukan hukum. Sekalipun ada yang memenuhi kedudukan hukum, pokok permohonan ditolak karena MK berpandangan ketentuan tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang.
”Pekerjaan rumah besarnya adalah bagaimana menggeser pendirian MK berkaitan dengan open legal policy. Karena, MK selama ini kukuh berpendirian bahwa berkaitan dengan treshold ini adalah open legal policy,” tutur Suhartoyo.
Apakah kali ini uji materi ambang batas pencalonan presiden bakal mengubah pendirian MK? Kita tunggu.