Bacakan Pleidoi, Emirsyah Satar Minta Hakim Terapkan Asas ”Ne Bis In Idem” di Kasus Garuda
”Jangan gunakan peristiwa yang sama tersebut guna menghukum saya untuk kedua kalinya,” ucap Emirsyah Satar.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdakwa korupsi Direktur Utama PT Garuda Indonesia (2005-2014) Emirsyah Satar meminta kepada majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk menerapkan asas ne bis in idem atau kasus yang sama tidak bisa diadili dua kali. Emirsyah meyakini obyek perkara yang tengah diadili tersebut, yakni terkait dugaan korupsi pesawat Bombardier dan ATR 72-600, sama dan sudah pernah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
Emirsyah merupakan terpidana perkara suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat untuk Garuda Indonesia dari Airbus, ATR, Bombardier, dan Roll Royce, serta perkara pencucian uang. Emirsyah telah dipidana 8 tahun penjara dan kini menjalani pidananya di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung.
”Saya berharap dan bermohon ke majelis hakim yang mulia untuk dapat menerapkan asas ne bis in idem terhadap perkara saya seperti yang diatur dalam KUHP dan ketentuan Pasal 76 Ayat 1 KUHP yang menyebutkan orang tidak boleh dituntut dua kali. Pleidoi ini saya sampaikan di hadapan yang mulia majelis hakim. Semoga asas ne bis in idem dapat diputuskan untuk saya,” ujar Emirsyah Satar saat membacakan nota pembelaannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (17/7/2024).
Emirsyah Satar sebelumnya dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Emirsyah juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar 86,3 juta dollar AS subsider 4 tahun penjara. Emirsyah dinilai terbukti bersekongkol untuk memenangkan pabrikan pesawat Bombardier dan ATR 72-600 dalam pengadaan pesawat di Garuda Indonesia pada 2011. Akibatnya, negara mengalami kerugian dengan nilai 609,8 juta dollar AS atau sekitar Rp 8,819 triliun.
Saya berharap dan bermohon ke majelis hakim yang mulia untuk dapat menerapkan asas ne bis in idem terhadap perkara saya seperti yang diatur dalam KUHP dan ketentuan Pasal 76 Ayat 1 KUHP yang menyebutkan orang tidak boleh dituntut dua kali.
Karena itu, menurut jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung, Emirsyah telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP
”Dalam tuntutan jaksa di poin hal yang memberatkan saya disebutkan saya tidak merasa bersalah dan menyesali perbuatannya. Hal ini sangat menyesatkan karena adalah hak dari saya untuk membela diri dan telah menyatakan jika saya mengaku khilaf atas perbuatan menerima sesuatu dari pihak lain,” ucap Emirsyah.
Dicari-cari kesalahan
Dalam pembelaannya, Emirsyah merasa sangat terkejut bahwa setelah 10 tahun tidak menjabat sebagai dirut Garuda, justru kini dicari-cari kesalahan dirinya terkait hal administrasi kooperasi sehingga menjadi sebuah perkara pidana. Menurut dia, perihal dirinya yang telah menerima gratifikasi atau suap dari pihak lain, hal itu sudah dipertanggungjawabkan dan sudah dihukum 8 tahun penjara.
”Jangan gunakan peristiwa yang sama tersebut guna menghukum saya untuk kedua kalinya,” ucap Emirsyah.
Tidak seperti beberapa dirut yang lain yang terkena skandal manipulasi laporan keuangan ataupun menyelundupkan sepeda motor dan sebagainya.
Emirsyah mengatakan, ketika akhir masa kepemimpinannya menjadi dirut, semua anggota dalam rapat umum pemegang saham telah menerima dengan baik hasil kerjanya. ”Tidak seperti beberapa dirut yang lain yang terkena skandal manipulasi laporan keuangan ataupun menyelundupkan sepeda motor dan sebagainya,” ungkapnya.
Emirsyah meyakini, pada sidang perkara terdahulu tahun 2020 di KPK, dakwaan yang diberikan kepadanya adalah sama dengan dakwaan yang diberikan saat ini, yakni mengenai pengadaan Bombardier CRJ-1000 dan ATR-72600. Pada perkara sebelumnya itu, ia sudah mengakui dan menyesal atas kekhilafan karena telah menerima pemberian dari Soetikno Soedarjo yang merupakan teman lamanya.
Dalam perkara ini, bekas Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi Soetikno Soedarjo juga dituntut pidana 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Saya mengakui saya hanya manusia biasa yang tidak lepas dari kekhilafan, dan saya siap untuk mempertanggungjawabkan perbuatan saya.
”Saya mengakui saya hanya manusia biasa yang tidak lepas dari kekhilafan, dan saya siap untuk mempertanggungjawabkan perbuatan saya,” ujarnya.
Emirsyah juga membantah telah menyebabkan kerugian negara dari pengoperasian pesawat Garuda dan Citilink periode 2011-2021. Sebab, ia menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia pada periode 2005-2014.
Tak terkait pengoperasian pesawat
Menurut ia, berdasarkan fakta persidangan, terdapat faktor yang memengaruhi dunia aviasi saat itu, mulai dari melonjaknya nilai tukar dollar AS terhadap rupiah pada 2014 ke atas hingga faktor bencana alam, seperti meletusnya Gunung Merapi 2015 dan pandemi Covid-19 selama hampir dua tahun.
Artinya, ini tidak ada kaitan dengan pengoperasian pesawat, apalagi jika sampai 2021. Jelas-jelas saya sama sekali tidak memiliki kewenangan sehingga tidak adil kerugian tersebut dipertanggungjawabkan kepada saya.
”Artinya, ini tidak ada kaitan dengan pengoperasian pesawat, apalagi jika sampai 2021. Jelas-jelas saya sama sekali tidak memiliki kewenangan sehingga tidak adil kerugian tersebut dipertanggungjawabkan kepada saya,” kata Emirsyah.
Kuasa hukum Emirsyah Satar, Monang Sagala, meminta hakim untuk menerapkan asas ne bis in idem dan menjatuhkan putusan bebas Emirsyah Satar. ”Memohon kepada majelis membebaskan terdakwa Emirsyah Satar dari dakwaan-dakwaan dan tuntutan tersebut atau setidak-tidaknya melepaskan terdakwa dari semua tuntutan. Serta, merehabilitasi nama baik terdakwa dan membebankan biaya perkara pada negara,” ucap Monang Sagala.
Seusai mendengarkan nota pembelaan yang disampaikan Emirsyah Satar dan kuasa hukumnya, Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh meminta jaksa penuntut umum untuk menyampaikan replik atau tanggapan JPU atas nota pembelaan yang telah disampaikan terdakwa. Hakim memberikan waktu selama satu minggu kepada JPU untuk menyiapkan replik. Lantas, sidang pun ditunda hingga Rabu, 24 Juni 2024.