KPK Cegah Korupsi di Daerah Otonomi Baru, Bagaimana Caranya?
Hanya dalam sepuluh hari, KPK menemukan berbagai dugaan pelanggaran di Papua Barat Daya. Salah satunya, proyek mangkrak.
Papua Barat Daya menjadi provinsi termuda di Indonesia setelah diresmikan pada Desember 2022. Sebagai daerah otonom baru atau DOB, berbagai upaya percepatan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat Papua dilakukan. Namun, jika tidak diawasi, dana yang digelontorkan hanya akan dikorupsi dan dinikmati oleh segelintir orang.
Belum genap setahun terbentuk, kasus korupsi terjadi di Papua Barat Daya. Pada November 2023, Penjabat Bupati Sorong Yan Piet Mosso bersama dengan lima orang lainnya terjaring dalam operasi tangkap tangan di Sorong dan Jakarta oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam kasus suap pengondisian hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tersebut, Yan Piet Mosso divonis hukuman 1 tahun 10 bulan penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Manokwari, Papua Barat, pada April 2024.
Persoalan korupsi sepertinya bukan perkara sulit untuk ditemukan di Papua Barat Daya. Dalam waktu 10 hari, KPK sudah dapat menemukan berbagai dugaan pelanggaran di provinsi yang berada di ujung Indonesia bagian timur tersebut.
Dalam kunjungan yang dilakukan Kepala Satuan Tugas Wilayah V Direktorat Koordinasi dan Supervisi KPK Dian Patria bersama dengan Satuan Tugas Penindakan pada 1-10 Juli 2024, KPK menemukan berbagai persoalan, seperti aset negara yang tidak dikembalikan oleh mantan pejabat daerah, penerimaan setoran terkait dengan pengurusan pajak, pungutan yang tidak tertata dengan baik, dan pembangunan jembatan yang mangkrak.
Dalam mengatasi persoalan tersebut, KPK bekerja sama dengan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum lain, yakni kejaksaan dan kepolisian. Kerja sama itu dibutuhkan karena, dalam upaya mencegah korupsi, sering kali dijumpai persoalan yang belum ditemukan unsur pidananya.
Sebagai contoh, terkait upaya pengembalian aset negara, KPK bekerja sama dengan Pemerintah Kota Sorong. Mereka membuat dua laporan pengaduan yang ditujukan kepada Kepolisian Resor Kota Sorong Kota. Dua laporan itu terkait penguasaan tanpa izin terhadap dua aset pemerintah daerah berupa rumah jabatan seluas 800 meter persegi dan tanah seluas 2.000 meter persegi.
Pemerintah Kota Sorong berwenang mengusir mantan pejabat tersebut. Namun, itu bisa menjadi persoalan sensitif yang berdampak pada terjadinya konflik. Oleh karena itu, KPK meminta pemda untuk melapor ke polisi dengan dugaan pidana penggelapan aset.
Baca juga: Mengikuti Tim KPK Menelisik Pungli di Raja Ampat (Bagian 2)
Menurut Dian, persoalan penggelapan aset ini sudah sering terjadi. Mantan pejabat merasa aset itu miliknya karena sudah berjasa. ”Itu ratusan, bahkan ribuanlah, istilahnya. Itu, kan, menggerogoti APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang sudah rapuh. Sangat rapuh (karena) tergantung dana dari pusat, kan, di (Indonesia) timur,” kata Dian.
Mantan pejabat tersebut juga tidak mau membayar pajak karena merasa berkuasa di wilayahnya. Ironisnya, aparatur sipil negara (ASN) setempat justru membiarkannya.
Saat mengunjungi kantor Kepolisian Resor Kota Sorong Kota, Papua Barat Daya, Kamis (4/7/2024), Kepala Kepolisian Resor Kota Sorong Kota Komisaris Besar Happy Perdana Yudianto telah menyetujui untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Dian menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian dalam menangani kasus tersebut, tetapi tetap akan memantaunya.
Menurut Dian, kasus penggelapan aset tidak boleh dibiarkan. Sebab, di Papua ada budaya sungkan dengan senior. Jika hal itu terjadi, aset daerah akan terus tergerus. ”Mobil habis, rumah habis. Akhirnya, kita dorong pidana, sudah dua ini masuk (laporannya). Ini pertama kali,” ujarnya.
Setoran pajak
Kasus penerimaan setoran terkait dengan pengurusan pajak ditemukan KPK saat membantu pemerintah daerah untuk menagih beberapa tempat usaha yang menunggak pajaknya. Dian justru memperoleh informasi adanya pegawai Badan Pendapatan Daerah (Bappenda) Kota Sorong yang diduga menerima setoran imbalan terkait dengan pengurusan pajak dari wajib pajak sebesar Rp 130 juta per bulan.
Baca juga: KPK Temukan Pegawai Bappenda Sorong Diduga Terima Setoran Rp 130 Juta Per Bulan
Dian menduga penerimaan setoran tersebut tidak hanya dari satu wajib pajak. Diduga pegawai Bappenda itu menerima setoran sejak beberapa tahun yang lalu. Pegawai tersebut sudah disanksi, tetapi sudah dikembalikan lagi ke Bappenda.
KPK pun menelusuri kasus ini ke kepolisian. Seusai bertemu Dian, Happy Perdana Yudianto mengatakan bahwa kasus penerimaan setoran terkait pengurusan pajak tersebut sudah ditindaklanjuti dan uangnya dikembalikan ke pemda. Namun, ia tidak menjelaskan tindak lanjut dari perkara ini apakah akan diproses secara pidana atau tidak.
Setelah menelusuri Sorong, KPK pun beranjak ke Raja Ampat pada 5-9 Juli 2024. Di kabupaten yang terkenal dengan potensi pariwisatanya ini, KPK menemukan adanya pungutan yang tidak terkelola dengan baik dan liar kepada wisatawan. Selain itu, ada pembangunan jembatan yang mangkrak.
KPK menemukan pungutan ganda di Pelabuhan Waisai, Raja Ampat, masing-masing sebesar Rp 5.000. Pada karcis tercantum pungutan dilakukan oleh Dinas Perhubungan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat. Ketika dimintai penjelasan, petugas pelabuhan mengaku dua kali pungutan itu untuk bongkar muat barang dan kendaraan keluar.
Baca juga: Mengikuti Tim KPK Menyisir Pungutan dan Pungli Miliaran Rupiah di Raja Ampat (Bagian 1)
Tidak hanya pungutan ganda, KPK juga menemukan adanya pungutan liar. Dari informasi yang diperoleh Dian saat menelusuri empat resor yang berada di tiga pulau berbeda, yakni Pulau Urai, Pulau Gam, dan Pulau Mansuar, ada pungutan liar terhadap orang yang akan menyelam mulai dari Rp 200.000 sampai dengan Rp 400.000.
Adapula yang menginformasikan kepada Dian pungutan liar di Pulau Wayag sebesar Rp 100.000 sampai dengan Rp 1 juta per kapal. Di Pulau Wayag, minimal ada 50 kapal yang datang sehingga potensi pendapatan dari pungutan liar tersebut mencapai Rp 50 juta per hari atau Rp 18,25 miliar per tahun.
Pungutan liar tersebut sangat merugikan wisatawan karena mereka sudah dipungut untuk membayar tiket masuk pengunjung. Wisatawan asing harus membayar Rp 1.000.000, sedangkan wisatawan domestik dikenai biaya Rp 500.000.
Pungutan itu untuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pengelolaan Kawasan Konservasi di perairan Kepulauan Raja Ampat yang dikelola Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya dan BLUD UPTD Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat.
Tidak cukup dengan persoalan pungutan, KPK juga menemukan adanya pembangunan jembatan yang mangkrak. Jembatan yang dikenal dengan nama Jembatan Ahmad Yani tersebut telah dibangun sejak 2021 oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat dengan anggaran Rp 4,8 miliar. Proyek tersebut dilanjutkan pada 2022 dengan anggaran Rp 4,8 miliar. Namun, pada Desember 2022, Provinsi Papua Barat Daya terbentuk.
Dian mengungkapkan, Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya siap melanjutkan proyek jembatan tersebut. Asalkan, proyek tersebut sudah diserahkan oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat kepada Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya.
Saat ditemui, Bupati Raja Ampat Abdul Faris Umlati berharap proyek jembatan itu dilanjutkan karena menghubungkan antarkelurahan. Selama ini, masyarakat harus memutar sekitar 8 kilometer.
Tak hanya Raja Ampat, KPK juga mendampingi Kabupaten Tambrauw. Dalam rapat koordinasi bersama Pemerintah Kabupaten dan DPRD Tambrauw di Sorong, Jumat (5/7/2024), Dian menegaskan bahwa KPK terbuka terhadap pemerintah daerah untuk mencegah korupsi. Namun, jika tidak bisa diperingatkan, akan diproses secara pidana.
Pendampingan KPK
Untuk mencegah terjadinya korupsi, KPK juga memberikan pendampingan, seperti meninjau langsung lokasi yang digunakan untuk pembangunan kantor Gubernur Papua Barat Daya. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sudah menganggarkan pembangunan infrastruktur untuk DOB sebesar Rp 11 triliun untuk empat provinsi baru, yakni Papua Barat Daya, Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Selatan.
Pembagian uang itu belum dijelaskan kepada pemda. Hingga saat ini, anggaran tersebut belum diberikan kepada pemda meskipun peletakan batu pertama sudah dilakukan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin sejak tahun lalu di lokasi yang ditinjau KPK tersebut.
Dian mengatakan, KPK hadir untuk mengawal proyek ini agar orang lebih hati-hati dalam menggunakan anggaran. Selain itu, pemda juga tidak akan diganggu oleh orang yang ingin meminta uang dari anggaran pembangunan kantor gubernur dan fasilitas lainnya tersebut.
Tak hanya itu, KPK juga mendampingi penyusunan materi teknis Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Papua Darat Daya. Dian mengingatkan kepada pejabat Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya agar jangan ada permainan dalam penetapan tata ruang.
”Jangan sampai penetapan tata ruang ini menjadi pintu untuk melegalkan yang salah,” kata Dian.
Baca juga: KPK Ingatkan Jangan Ada Korupsi dalam Penyusunan Tata Ruang
Di tahun politik seperti saat ini, Dian mengatakan, ada banyak faktor nonteknis dalam penetapan tata ruang. Oleh karena itu, ia tidak ingin ada transaksi dalam proses penetapan tersebut. Pemerintah daerah sebaiknya fokus untuk mengatasi persoalan teknis, seperti ketiadaan anggaran, data, dan sumber daya manusia.
Saat ditemui di sela-sela kunjungan, Dian mengungkapkan, Papua sebelum mekar sudah menghadapi permasalahan aset, pajak, batas wilayah, dan tata ruang. Selain itu, masalah kompetensi aparat sipil negara (ASN) akibat nepotisme.
Persoalan serupa ternyata terjadi lagi di Papua Barat Daya. ”Mereka mengulangi lagi masalah yang sama di induk, ditularkan lagi ke Papua Barat Daya,” kata Dian.
Untuk mengatasi persoalan ini, KPK tidak bisa berjalan sendiri. Perlu peran dari pemerintah pusat ataupun masyarakat yang ingin membantu wilayah Indonesia bagian timur. Perlakuan terhadap wilayah Indonesia timur jangan disamakan dengan daerah lainnya. Orang Indonesia timur harus dibantu meskipun mereka sulit berubah.
Baca juga: Di Papua, KPK Ingatkan agar Jangan Sampai Ada Mantan Pejabat yang Masuk Penjara Lagi
Ditemui secara terpisah, Komisaris Besar Happy Perdana Yudianto selaku Kepala Kepolisian Resor Kota Sorong Kota mengungkapkan, persoalan korupsi di Papua terjadi karena pola pikir dan budaya lokal. Potensi korupsi semakin besar karena Papua Barat Daya merupakan DOB. Daerah ini belum memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang mengawasi. ”Jadi, itu salah satu yang memang perlu kita awasi bersama-sama,” ujarnya.
Dihubungi pada Minggu (14/7/2024), menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman N Suparman, belajar dari DOB sebelumnya, ada persoalan terkait tata kelola aset, seperti masalah pembagian aset antara daerah induk dan DOB.
DOB juga mengalami persoalan dalam persiapan kelembagaan, terutama sumber daya manusia. Tidak hanya sisi kualitas, mereka juga mengalami persoalan dari sisi kuantitas. Apalagi, persoalan di Papua kompleks.
Dalam tiga tahun pertama sebagai masa persiapan, pemerintah daerah mengalami persoalan terkait dengan kebijakan. Misalnya, pemda harus menyusun peraturan daerah terkait dengan pajak dan retribusi sesuai dengan Undang-Undang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Persoalan pungutan menjadi masalah baru di DOB. Dengan adanya sistem digitalisasi, dibutuhkan kesiapan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia. Dengan kesiapan yang ada, kualitas pelayanan publik di DOB belum maksimal.
Tata kelola aset
Oleh karena itu, daerah induk perlu mendampingi DOB, terutama terkait tata kelola aset. Pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Keuangan, juga harus mendampingi.
”Karena ini (Papua Barat Daya) adalah DOB di level provinsi, tentu Kemendagri itu harus punya peran besar untuk melakukan evaluasi sekaligus melakukan pembinaan, pengawasan, terutama asistensi teknis di sisi pembangunan kualitas,” kata Herman.
Terkait dengan tata kelola aset, pemerintah daerah harus mempunyai sistem manajemen aset yang diintegrasikan dengan sistem yang telah dibuat oleh pemerintah pusat. Alhasil, publik bisa mengontrol melalui sistem manajemen aset daerah.
Persoalan pembayaran pajak di daerah perlu mendapatkan perhatian dari Kemendagri dan Kementerian Keuangan. Jangan sampai potensi pajak yang besar tidak dioptimalkan karena pemda gagal melakukan manajemen aset dan data terkait dengan perpajakan di daerah.
Baca juga: KPK Terus Kejar Ratusan Aset Pemprov Papua yang Disalahgunakan
Mengenai pembangunan yang mangkrak dan perencanaan pembangunan, Herman mendorong pendekatan insentif dan disinsentif untuk mengatasi persoalan tersebut. Sebab, proyek yang mangkrak membebani keuangan negara dan daerah sehingga merugikan negara.
Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu aktif membina pengawasan agar daerah yang punya kinerja buruk diberikan disinsentif. Daerah yang memiliki proyek mangkrak akan diberikan denda pemotongan dana transfer.
”Itu menurut kami pendekatan yang cukup efektif agar daerah bisa mendorong seluruh proyek atau pengadaan barang dan jasa di daerah itu selesai tepat waktu dan juga bisa bermanfaat,” kata Herman menjelaskan. Ia juga berharap, proyek yang selesai dibangun, tetapi tidak dipakai, perlu menjadi indikator penilaian terhadap kinerja pemda.