Revisi UU TNI untuk perluas kementerian/lembaga yang bisa diisi prajurit, dikhawatirkan bisa mereduksi demokrasi.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto dalam forum dengar pendapat publik soal revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, di Jakarta, Kamis (11/7/2024), mengatakan, pembahasan revisi UU TNI mengarah pada perluasan kementerian/lembaga yang bisa diduduki oleh prajurit aktif.
Menurut Hadi, itu berbeda dengan bangkitnya dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) seperti saat Orde Baru. Namun, bagi sejumlah pegiat gerakan masyarakat sipil, pendapat Hadi itu dapat mereduksi nilai-nilai demokrasi negara.
Dalam forum yang sama, seusai Hadi meninggalkan forum tersebut, Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andi Muhammad Rezaldy mengungkapkan, jika draf revisi UU TNI berlanjut, terdapat potensi pendekatan kebijakan bakal berperspektif militeristik karena berisi pejabat prajurit aktif. ”(Usulan) Aturan itu juga mengaburkan pemisahan peran sipil dan militer yang mereduksi nilai-nilai demokrasi negara,” ucap Andi.
Pada Senin (8/7/2024), Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pimpinan DPR telah menerima surat presiden (surpres) yang berisi persetujuan untuk membahas rancangan undang-undang (RUU) perubahan atas empat UU, yang salah satunya ialah UU TNI. Adapun tiga UU lain adalah UU Polri, UU Kementerian Negara, dan UU Keimigrasian. Namun, surpres untuk keempat RUU itu belum dilengkapi daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah.
Diperluas
Dalam uraiannya, Hadi menyampaikan bahwa saat ini tentara aktif bisa menjabat di kementerian/lembaga yang berada di bawah Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam). ”Nantinya akan diperluas, tetapi sesuai dengan aturan dari kementerian/lembaga, bidang apa saja yang bisa diduduki oleh (prajurit aktif di) kementerian/lembaga,” kata Hadi.
Hadi mencontohkan sejumlah jabatan di Kementerian Kelautan dan Perikanan yang belum mengakomodasi prajurit aktif. Padahal, ada keahlian dari prajurit TNI Angkatan Laut yang bisa menduduki jabatan setingkat direktur jenderal dan sebagainya. Oleh karena itu, hal ini perlu dibahas dalam RUU TNI.
Menurut Hadi, revisi UU TNI tidak akan membangkitkan kembali dwifungsi ABRI seperti yang terjadi saat Orde Baru. Saat itu, TNI memiliki fungsi kekuatan pertahanan keamanan dan sosial politik. Namun, saat ini TNI tidak lagi memiliki wakil di DPR sehingga tak ada dwifungsi.
”Sudah tidak ada lagi dwifungsi. Itu adalah masa lalu, bagian dari perjalanan sejarah. Jadi, pembahasan nanti tidak akan masuk pada norma-norma itu dan isinya juga tidak seperti itu,” tutur Hadi.
Menurut Hadi, revisi UU TNI tidak akan membangkitkan kembali dwifungsi ABRI seperti yang terjadi saat Orde Baru.
Presiden Joko Widodo menunjuk Hadi untuk memimpin perwakilan pemerintah dalam penyusunan RUU TNI dan RUU Polri. Saat ini, pemerintah tengah mendengarkan pendapat publik dan menyusun DIM untuk dibahas bersama DPR.
Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, seusai rapat kerja dengan Komisi I DPR, Rabu (10/7/2024), menyebut, sekarang sudah banyak kementerian yang membuat nota kesepahaman dengan TNI. Salah satunya adalah Kementerian Pertanian untuk proyek lumbung pangan (food estate).
”Karena memang dibutuhkan. Contoh, sekarang kami sedang membuat food estate, membuat sawah di Merauke 1.058 hektar. Itu dibutuhkan keahlian khusus, alat-alatnya juga. Sementara di sana daerahnya terpencil sehingga dibutuhkan TNI yang ke sana,” ujarnya.
Untuk itu, Agus meminta publik berpikir positif dan mengerti tujuan RUU TNI. Sebab, aturan tersebut bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat dan menyukseskan program-program pemerintah. ”Bukan untuk yang lain-lain,” katanya.
Problematik
Namun, menurut Wakil Koordinator Kontras Andi Muhammad Rezaldy, usulan revisi Pasal 47 dan Pasal 53 UU TNI cenderung problematik dan tampak dibahas buru-buru.
Pasal 47, antara lain, mengatur bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Adapun Pasal 53 mengatur batas usia pensiun prajurit. Pasal itu mengatur prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama.
Apabila disahkan, katanya, ada ketentuan dalam UU TNI yang berpotensi multitafsir.
Andi menuturkan, berdasarkan naskah akademik terkait RUU TNI yang diterimanya, penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga disebabkan TNI memiliki banyak sumber daya. Sementara itu, kementerian/lembaga punya keterbatasan. Keberadaan prajurit juga meringankan kebutuhan kementerian/lembaga.
Melihat naskah akademik tersebut, Andi menilai seharusnya terdapat penjelasan komprehensif berbasis kasus yang memaparkan alasan kementerian/lembaga butuh keahlian prajurit aktif. Namun, hal itu tidak tersedia dan membuat perubahan Pasal 47 seolah dipaksakan agar tetap eksis.
Apabila draf RUU TNI berlanjut, menurut dia, terdapat potensi pendekatan kebijakan bakal berperspektif militeristik karena berisi pejabat prajurit aktif. Aturan itu juga mengaburkan pemisahan peran sipil dan militer yang mereduksi nilai-nilai demokrasi negara.
Selain itu, RUU TNI seolah dianggap jalan pintas mengatasi masalah sumber daya manusia (SDM) kementerian/lembaga. Andi pun mempertanyakan upaya tiap-tiap kementerian/lembaga untuk meningkatkan kapasitas pegawainya.
Adapun Pasal 53 RUU TNI terkait penambahan usia pensiun bakal berdampak pada kemampuan keuangan negara. Hal itu juga memengaruhi kondisi internal TNI dalam aspek rotasi dan promosi jabatan.
Di sisi lain, Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro menuturkan, revisi UU TNI dibutuhkan untuk mendukung kerja-kerja TNI agar tetap sesuai hukum yang berlaku. Ini berkaitan dengan perkembangan lingkungan strategis, spektrum ancaman, kepentingan sosial, sinergi, hingga penguatan tugas. ”Panglima TNI menyarankan ada yang perlu diubah,” katanya.