Mengikuti Tim KPK Menelisik Pungli di Raja Ampat (Bagian 2)
Ditemani Sekda Raja Ampat, Tim KPK saat meninjau pelabuhan Waisai dan lainnya, menemukan berbagai masalah pelayanan.
Di hari kedua menyisir pungutan resmi yang tak dikelola dengan baik dan maraknya pungutan liar di Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, Sabtu (6/7/2024), Ditemani Sekretaris Daerah Raja Ampat Yusuf Salim, Tim KPK meninjau Pelabuhan Waisai, Raja Ampat, Papua Barat Daya. KPK menemukan berbagai persoalan dalam pengelolaan pariwisata Raja Ampat, selain kewenangan pengelolaan kawasan di pelabuhan, data wisatawan yang tidak sama, juga masih soal pungli.
Persoalan lain yang tak kalah serius ketika KPK memantau Pelabuhan Falaya yang lokasinya berada di kompleks Pelabuhan Waisai. Di gerbang Falaya tertulis sebagai pelabuhan pariwisata. Namun, hingga saat ini, pelabuhan wisata tersebut masih menjadi pelabuhan regional. Hal itu karena adanya tarik-menarik kepemilikan antara pemerintah kabupaten dengan pemerintah pusat.
Jadi, pelabuhan wisata pun bercampur baur dengan pelabuhan umum. Kapal-kapal penduduk setempat membuat kepadatan bilamana kapal-kapal datang membawa wisatawan. Kesemrawutan pelabuhan akan menentukan kerapian kedatangan dan kepergian kapal yang mengangkut wisatawan.
Setelah turun dari kapal, di lokasi ini, wisatawan diarahkan untuk membayar tiket masuk pengunjung. Wisatawan asing harus membayar Rp 1.000.000. Pembayaran tersebut dibagi dua. Sebagian besar atau Rp 700.000 untuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pengelolaan Kawasan Konservasi di perairan Kepulauan Raja Ampat yang dikelola pemerintah provinsi Papua Barat Daya. Dan, sebagian lagi Rp 300.000 untuk BLUD UPTD Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat.
Baca juga: Mengikuti Tim KPK Menyisir Pungutan dan Pungli Miliaran Rupiah di Raja Ampat (Bagian 1)
Sementara itu, wisatawan domestik dikenai biaya Rp 500.000. Pembayaran tersebut terdiri dari Rp 425.000 untuk BLUD UPTD Pengelolaan Kawasan Konservasi di perairan Kepulauan Raja Ampat dan Rp 75.000 untuk BLUD UPTD Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat.
Ironisnya, jarak antara kantor BLUD UPTD Pengelolaan Kawasan Konservasi dan BLUD UPTD Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat sekitar 200 meter. BLUD UPTD Dinas Pariwisata berkantor di kawasan Pelabuhan Waisai, sedangkan BLUD UPTD Pengelolaan Kawasan Konservasi berkantor di Jalan Siwindores, Distrik Waisai Kota atau yang dikenal masyarakat sekitar dengan daerah Lembah Setan.
KPK menemukan berbagai persoalan dalam pengelolaan pariwisata Raja Ampat, selain kewenangan pengelolaan kawasan di pelabuhan, data wisatawan yang tidak sama, juga masih soal pungli.
Cukup dengan Whatsapp
Selain jarak, hal yang aneh adalah pegawai dari kedua instansi berkoordinasi secara manual melalui pesan singkat atau Whatsapp (WA) ketika ada wisatawan yang membayar dan menunjukkan tiket. Laporan yang menggunakan pesan singkat dan bukan laporan tertulis, tentu rentan terjadi kesalahan pencatatan dan pendataan secara resmi jika hanya dengan WA.
Wisatawan lagi-lagi tidak menemukan papan informasi maupun aturan mengenai persyaratan kunjungan di kawasan Raja Ampat. Mereka yang datang hanya mengandalkan informasi dari pemandu wisatanya.
Di sini, wisatawan lagi-lagi tidak menemukan papan informasi maupun aturan mengenai persyaratan kunjungan di kawasan Raja Ampat. Mereka yang datang hanya mengandalkan informasi dari pemandu wisatanya. Bahkan, ketika tim KPK kebetulan akan ke toilet, di dalam toiletnya bukan hanya tak menemukan kertas toilet, melainkan juga tak ada air untuk membilas dan mencuci tangan.
Setelah melihat persoalan di Pelabuhan Waisai, KPK cepat bergegas ke kantor BLUD UPTD Pengelolaan Kawasan Konservasi di perairan Kepulauan Raja Ampat. Sempat ragu ketika tiba di sebuah kantor. Pasalnya, kantor BLUD UPTD ternyata juga tidak dilengkapi dengan papan nama kantor. Jadi, tidak ada petunjuk jika itu kantor BLUD UPTD.
Baru saat KPK memasuki ruangan, ada tulisan yang di sebuah papan di dinding dalam ruangan yang menunjukkan rumah itu adalah kantor BLUD UPTD Pengelolaan Kawasan Konservasi di perairan Kepulauan Raja Ampat. Saat ditanya mengapa di luar ruangan tidak ada tulisan papan petunjuk kantor, petugas di dalam hanya tersenyum saja dan tidak menjawab.
Bahkan, ketika tim KPK kebetulan akan ke toilet, di dalam toiletnya bukan hanya tak menemukan kertas toilet, melainkan juga tak ada air untuk membilas dan mencuci tangan.
Perbedaan data
Saat pengecekan, KPK pun menemukan data kunjungan wisatawan di BLUD UPTD Pengelolaan Kawasan Konservasi berbeda dengan data di BLUD UPTD Pengelolaan Kawasan Konservasi. Jumlah kunjungan wisatawan asing dan domestik di BLUD UPTD Dinas Pariwisata pada 2023 sebanyak 20.273 orang. Sementara, berdasarkan data BLUD UPTD Pengelolaan Kawasan Konservasi, total wisatawan asing dan domestik yang datang berkunjung mencapai sebanyak 25.531 orang.
Terkait perbedaan data tersebut, sayang tak ada petugas yang bisa menjelaskan, mengapa, bagaimana merekonsiliasi perbedaan data tersebut. Hal itu tentu akan membedakan data pendapatan negara yang diterima dari kunjungan wisatawan ke Raja Ampat.
Persoalan pungutan tidak berhenti di Pelabuhan Waisai. Pada Minggu (7/7/2024), Tim KPK kembali menelusuri empat resor yang berada di tiga pulau berbeda, yakni Pulau Urai, Pulau Gam, dan Pulau Mansuar. Kali ini, KPK didampingi pejabat pemerintah kabupaten serta petugas Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah (BP2RD) Kabupaten Raja Ampat.
Dari salah satu pengelola resor di salah satu pulau yang didatangi, terungkap adanya pungutan liar terhadap orang yang akan menyelam mulai dari Rp 200.000 sampai dengan Rp 400.000. Penariknya bukan dari resor melainkan petugas.
Awalnya, tujuan ke empat resor tersebut Tim KPK akan meminta data angka tunggakan pajak dan memasang alat pembayaran MPOS (Machine Payment Online System). Namun, KPK justru mendapatkan informasi berbeda. Dari salah satu pengelola resor di salah satu pulau yang didatangi. Terungkap adanya pungutan liar terhadap orang yang akan menyelam mulai dari Rp 200.000 sampai dengan Rp 400.000. Penariknya bukan dari resor melainkan petugas.
Selain itu, terjadi pula pungutan liar berupa pembayaran sewa tanah yang ditagih oknum masyarakat kepada pengelola resor. Bahkan, di Pulau Arborek, yang ada di lokasi Raja Ampat, juga ada ketentuan pembayaran retribusi, yaitu keharusan membayar Rp 200.000, yang disebutkan untuk pembangunan tempat ibadah dan beasiswa anak-anak warga Raja Ampat. Pungutan retribusi itu disebutkan oleh warga yang menjadi petugas wisata di Raja Ampat.
Penyerahan dokumen sistem operasi prosedur fasilitas tambat labuh kapal atau sistem mooring dari Kepala Unit Kantor Penyelenggara Pelabuhan Raja Ampat Nellce Harewan kepada Kepala Dinas Pertanian, Pangan, Perikanan, dan Kelautan Provinsi Papua Barat Daya Absalom Salossa di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Sabtu (8/6/2024). Raja Ampat menjadi daerah pertama di Indonesia yang menggunakan sistem mooring di kawasan konservasi.
Pendapatan negara menguap
Persoalannya, mereka yang memungut tidak bertanggung jawab. Ketika sudah diberikan uang, mereka justru pergi, dan tidak kelihatan aktivitasnya.
Dari informasi yang diperoleh Dian, pungutan yang dilakukan oleh oknum masyarakat terhadap kapal wisatawan yang menuju lokasi penyelaman sebesar Rp 100.000 sampai dengan Rp 1 juta per kapal. Di Pulau Wayag, minimal ada 50 kapal yang datang setiap hari sehingga potensi pendapatan dari pungutan liar tersebut mencapai Rp 50 juta per hari atau Rp 18,25 miliar per tahun. Potensi pendapatan negara pun menguap, tak berbekas.
Baca juga: Saat KPK Menemukan Persoalan Tata Kelola di Raja Ampat
Saat ditanya soal pungutan tersebut, pengelola resor tidak mempermasalahkan adanya pungutan tersebut asalkan mereka ikut menjaga keamanan dan kelestarian pulau. ”Persoalannya, mereka yang memungut tidak bertanggung jawab. Ketika sudah diberikan uang, mereka justru pergi, dan tidak kelihatan aktivitasnya,” ujar pengusaha tersebut.
Di kawasan perairan kepulauan, tim KPK juga melihat banyak sampah dari kapal yang dibuang sembarangan ke laut. Agar laut tak tercemar dengan kotoran yang dibuang, pengelola resor secara rutin seminggu sekali membersihkan sampah yang ada di sekitarnya. ”BLUD UPTD Pengelolaan Kawasan Konservasi di perairan Kepulauan Raja Ampat maupun BLUD UPTD Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat tidak pernah membantu,” kata pengusaha lainnya.