Mengikuti Tim KPK Menyisir Pungutan dan Pungli Miliaran Rupiah di Raja Ampat (Bagian 1)
Tata kelola Raja Ampat masih buruk. Salah satunya, masih banyaknya pungutan liar.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
Kepulauan Raja Ampat berada di ujung Indonesia bagian timur atau di ujung barat laut Pulau Papua, persisnya di Provinsi Papua Barat Daya. Tempat ini sungguh menjadi ”surga” bagi para penikmat pariwisata dari sejumlah mancanegara, termasuk wisatawan Indonesia.
Bagi mereka yang sudah datang dan menikmati keindahan pemandangan pulaunya serta dasar lautnya, terutama bagi penyelam dalam dan luar Indonesia, Raja Ampat merupakan ”surga” dan tempat bertualang bawah air yang tidak dapat diuraikan dalam kata-kata. Hanya satu kata, kata mereka yang sudah datang dan menyelam di sana: indah.
Pada Jumat hingga Selasa, 5-9 Juli 2024, Kompas mengikuti perjalanan mengungkap pungutan yang tak dikelola dengan baik dan pungutan liar (pungli) yang tampaknya terjadi bertahun-tahun di lokasi pariwisata ternama di Indonesia dan dunia itu. Rombongan dipimpin Kepala Satuan Tugas Wilayah V Dian Patria dari Direktorat Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rombongan, selain Kompas, juga beberapa petugas dari Satuan Penindakan KPK. Inilah untuk pertama kalinya tim KPK menelusuri pungutan resmi yang tak dikelola dengan baik, yang sudah terendus lama, tetapi terus berlarut-larut. KPK sebenarnya sudah beberapa tahun lalu, saat datang ke Raja Ampat, mencoba mengingatkan hal-hal tersebut. Namun, tampaknya hal itu berlarut-larut terus, hingga mereka datang pekan ini. Bahkan, kali ini, tim KPK mengungkap adanya pungli yang terjadi di depan mata.
Meski KPK datang resmi didampingi Sekretaris Daerah Kabupaten Raja Ampat Yusuf Salim, rombongan merasakan dan melihat pungutan yang tak dikelola dengan baik, juga pungli yang terjadi mulai dari tingkat bawah hingga atas di lingkungan di Raja Ampat.
Kompas mengikuti perjalanan mengungkap pungutan yang tak dikelola dengan baik dan pungutan liar (pungli) yang tampaknya terjadi bertahun-tahun di lokasi pariwisata ternama di Indonesia dan dunia itu.
Keluhan pengusaha
Seorang pengusaha di Raja Ampat pun berkomentar. ”Tidak apa-apa kalau kami harus membayar lebih atau di luar ketentuan, tetapi tolong diurus dan dijaga aset dan investasi kami. Misalnya, sampah, kami harus membuangnya sendiri karena tidak ada yang mengurusnya. Padahal, ada yang memang meminta lebih, tetapi kami tetap diurus,” ungkap pengusaha itu, yang ditemui Kompas di sela-sela kunjungan tim KPK di Raja Ampat, pekan ini.
Tidak apa-apa kalau kami harus membayar lebih atau di luar ketentuan, tetapi tolong diurus dan dijaga aset dan investasi kami.
Tentu, jika ”surga” dan ”aset emas” bagi Pemerintah Indonesia dan Provinsi Papua Barat Daya di Raja Ampat ini salah urus, tak dijaga dengan baik, pungutan resmi tak masuk menjadi penerimaan negara, bahkan pungli merajalela, dibiarkan tanpa perhatian, tak ayal pariwisata di Raja Ampat bukan hanya loyo dan malas dikunjungi wisatawan asing ataupun domestik karena mahal dan mengecewakan, tetapi juga bakal mati pelan-pelan.
Negara, pemerintah pusat, Kementerian Pariwisata, dan Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya pasti merugi. Karena itu, tentu negara dan pemerintah harus hadir. Negara harus ada. Jangan dibiarkan Raja Ampat sebenarnya merana.
Berbagai persoalan
Menawan. Begitulah saat melihat kepulauan Raja Ampat di kejauhan dari kapal. Namun, kabupaten yang berada di Provinsi Papua Barat Daya itu menyisakan berbagai persoalan yang memprihatinkan, seperti pungutan yang tidak dikelola dengan baik, bahkan ada pungutan liar.
Ke mana larinya? Tak jelas. Tentu, masuk kantong pribadi dan jadi kepentingan pribadi sehingga bukan untuk pengembangan pariwisata Raja Ampat, yang menjadi ”aset emas” bagi rakyat di Provinsi Papua Barat Daya, dan bangsa Indonesia.
Ketika kapal bersandar di Pelabuhan Waisai, Raja Ampat, Jumat (5/7/2024), wisatawan tidak melihat papan informasi ataupun pemberitahuan kewajiban apa saja yang harus dipenuhi. Itu cukup membingungkan wisatawan, terutama yang baru pertama kali datang ke Raja Ampat.
Wisatawan tidak melihat papan informasi ataupun pemberitahuan kewajiban apa saja yang harus dipenuhi. Itu cukup membingungkan wisatawan, terutama yang baru pertama kali datang ke Raja Ampat.
Tak hanya itu, pengunjung yang menggunakan kendaraan pribadi dipungut dua kali ketika keluar dari pelabuhan masing-masing sebesar Rp 5.000. Pada karcis tercantum pungutan tersebut dilakukan oleh Dinas Perhubungan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat.
Memaksa angkut
Mereka tak segan meminta uang pungutan yang lebih besar, yakni tiga koper dipatok Rp 100.000. Tak ada tawar-menawar.
Sebelumnya, saat di Pelabuhan Rakyat Sorong, menuju Pelabuhan Waisai, rombongan KPK juga dikenai pungutan liat untuk jasa pengangkutan sebesar Rp 100.000. Kompas melihat banyak orang yang menunggu di pintu keluar/masuk kapal, yang ternyata memaksa ingin membawakan koper secara paksa.
Mereka tak segan meminta uang pungutan yang lebih besar, yakni tiga koper dipatok Rp 100.000. Tak ada tawar-menawar. Itulah pungutan liar yang dipungut para pengangkut koper yang tak bisa dihentikan oleh petugas resmi pengelola wisata di Raja Ampat.
Keesokan harinya, KPK secara mendadak meminta klarifikasi dari pengelola Pelabuhan Waisai terkait dua kali pungutan tersebut. Petugas pelabuhan mengakui bahwa dua kali pungutan itu untuk bongkar muat barang dan kendaraan keluar.
Menurut petugas pelabuhan, semua kendaraan yang masuk area dermaga dikenai biaya meskipun mengangkut orang, bukan barang. Pernyataan petugas pelabuhan tersebut pun langsung dilarang oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Raja Ampat Yusuf Salim yang ikut mendampingi Dian. Esoknya, memang ketika tim melintas kembali, pungutan dua kali dihentikan dan tim hanya diminta sekali membayar ongkos keluar pelabuhan.