Cegah Korupsi di Papua Barat Daya, KPK Libatkan Aparat Penegak Hukum Lain
Potensi korupsi di Papua Barat Daya cukup besar karena daerah otonomi baru yang belum ada lembaga pengawasannya.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
SORONG, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi berupaya mencegah korupsi di daerah dengan melibatkan aparat penegak hukum lain dan pemerintah daerah setempat seperti yang dilakukan di Papua Barat Daya. Koordinasi dilakukan demi menyelamatkan aset daerah dan pembangunan infrastruktur agar tidak dikorupsi.
Koordinasi dilakukan oleh Direktorat Koordinasi dan SupervisiKPK bersama dengan Satuan Tugas Penindakan dengan mengunjungi kantor Kejaksaan Negeri Sorong, Kepolisian Resor Kota Sorong Kota, dan Markas Pasukan Marinir (Pasmar) 3 di Sorong, Papua Barat Daya, Kamis (4/7/2024).
Di Markas Pasmar 3, Kepala Satuan Tugas Koordinasi Supervisi Pencegahan Wilayah V KPK Dian Patria ditemui langsung oleh Komandan Pasmar 3 Brigadir Jenderal (Mar) Sugianto. Mereka berbicara terkait dengan aset dan segala persoalan di Papua Barat Daya.
KPK juga meninjau lokasi tempat yang akan dibangun kantor Gubernur Papua Barat Daya dan fasilitas pendukung lainnya dengan luas tanah 53 hektar. Mereka berkoordinasi dengan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Papua Barat Daya Yakobus Tandung Pabimbin serta Kepala Inspektorat Papua Barat Daya Nikolas Asmuruf.
Dian mengatakan, dalam upaya pencegahan korupsi sering kali dijumpai persoalan yang belum ditemukan unsur pidananya, seperti dalam pembahasan anggaran. Persoalan itu sering terjadi berulang dan sangat mengganggu.
Selain itu, ada aset di Papua yang tidak dikembalikan ke negara oleh mantan pejabat. Mereka merasa aset itu miliknya karena sudah berjasa. ”Itu ratusan, bahkan ribuanlah, istilahnya. Itu, kan, menggerogoti APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang sudah rapuh. Sangat rapuh (karena) tergantung dana dari pusat kan di (Indonesia) timur,” kata Dian.
Mantan pejabat tersebut juga tidak mau membayar pajak karena merasa berkuasa di wilayahnya. Ironisnya, aparatur sipil negara (ASN) setempat justru membiarkannya. KPK tidak bisa membawa persoalan tersebut ke tindak pidana korupsi. Apalagi, jumlah penyidik KPK terbatas.
Ketika orang tersebut tidak bisa dicegah lagi, maka KPK berkoordinasi dengan pihak lain, termasuk aparat penegak hukum setempat seperti kepolisian dan kejaksaan. KPK saat ini sedang mendorong dua aset pemerintah daerah yang dikuasai oleh mantan pejabat di Sorong untuk ditindak.
Aset tersebut berupa rumah jabatan seluas 800 meter persegi dan tanah seluas 2.000 meter persegi. Padahal, mantan pejabat daerah tersebut sudah mempunyai banyak rumah.
Pemerintah Kota Sorong berwenang mengusir mantan pejabat tersebut. Namun, hal itu bisa menjadi persoalan sensitif yang bisa berdampak pada terjadinya konflik. Oleh karena itu, KPK meminta kepada pemda untuk melapor ke polisi dengan dugaan pidana penggelapan aset.
Kepolisian sudah menerima laporan tersebut. Kepada Dian, Kepala Kepolisian Resor Kota Sorong Kota Komisaris Besar Happy Perdana Yudianto telah menyetujui untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Dian menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian dalam menangani kasus tersebut, tetapi tetap akan memantaunya.
Menurut Dian, kasus penggelapan aset tidak boleh dibiarkan. Sebab, di Papua ada budaya sungkan dengan senior. Jika hal itu terjadi, aset daerah akan terus tergerus. ”Mobil habis, rumah habis. Akhirnya, kita dorong pidana, sudah dua ini masuk (laporannya). Ini pertama kali,” ungkapnya.
KPK mendampingi persoalan ini dengan mendorong untuk dipidanakan. Pencegahan yang dilakukan seperti ini oleh KPK bisa berujung pada proses penindakan oleh semua aparat penegak hukum. KPK tidak perlu menindaknya sendiri.
Terkait dengan kasus dugaan penerimaan setoran terkait dengan pengurusan pajak dari wajib pajak sebesar Rp 130 juta per bulan yang dilakukan oleh pegawai Badan Pendapatan Daerah (Bappenda) Kota Sorong, Dian ingin kasus ini tidak berhenti.
Meskipun pegawai tersebut sudah mengembalikan uang yang diperolehnya ke pemda, Dian ingin kasus ini tetap diproses secara hukum. Sebab, pengembalian uang tidak menghapus pidana. Jika kasus seperti ini dibiarkan, akan membuat kisruh birokrasi.
Usai pertemuan dengan Dian, Happy mengatakan bahwa kasus penerimaan setoran terkait pengurusan pajak tersebut sudah ditindaklanjuti dan uangnya dikembalikan ke pemda. Namun, ia tidak menjelaskan tindak lanjut dari perkara ini apakah akan diproses secara pidana atau tidak.
Daerah otonom baru
KPK juga berkoordinasi dengan Pemda Papua Barat Daya dalam proses pembangunan daerah otonom baru (DOB), salah satunya pencegahan korupsi dalam pembangunan kantor gubernur. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sudah menganggarkan pembangunan infrastruktur untuk DOB sebesar Rp 11 triliun untuk empat provinsi baru yakni Papua Barat Daya, Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Selatan.
Pembagian uang itu belum dijelaskan kepada pemda. Hingga saat ini, anggaran tersebut belum diberikan kepada pemda, meskipun peletakan batu pertama sudah dilakukan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin sejak tahun lalu di lokasi yang ditinjau KPK tersebut.
Dian mengatakan, KPK hadir untuk mengawal proyek ini agar orang lebih hati-hati dalam menggunakan anggaran. Selain itu, pemda juga tidak akan diganggu oleh orang yang ingin meminta uang dari anggaran pembangunan kantor gubernur dan fasilitas lainnya tersebut.
Happy mengungkapkan, persoalan korupsi di Papua terjadi karena pola pikir dan budaya lokal. Potensi korupsi semakin besar karena Papua Barat Daya merupakan daerah otonomi baru. Daerah ini belum memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang mengawasi. “Jadi, itu salah satu yang memang perlu kita awasi bersama-sama,” jelasnya.
Kepala Kejaksaan Negeri Sorong, Makrun berharap supervisi dengan KPK bisa membuahkan hasil dalam upaya pencegahan maupun penegakan hukum kasus korupsi di Sorong dan sekitarnya. Sebab, di Papua Barat Daya baru ada satu kejaksaan negeri. Padahal, provinsi ini memiliki lima kabupaten dan satu kota.