Caleg PPP Persoalkan Kembali Ambang Batas Parlemen 4 Persen
Kader PPP terus mempersoalkan penerapan ambang batas parlemen 4 persen dalam Pileg 2024.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu kader Partai Persatuan Pembangunan, Didi Apriadi, masih terus berupaya agar partainya bisa lolos ke Senayan sehingga dirinya juga mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Hal tersebut dilakukan meskipun Pemilu Legislatif 2024 sudah mendekati babak akhir menjelang pelantikan calon anggota legislatif pada Oktober 2024 mendatang.
Setelah gagal memperjuangkan suara pada sengketa pemilu legislatif lalu, kali ini kader PPP menguji Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu yang mengatur tentang ketentuan ambang batas perolehan suara minimal 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Ketentuan tersebut, menurut kuasa hukum Didi yang bernama M Malik Ibrohim, telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi pemohon dan PPP.
”Pemohon berkeyakinan bahwa selama norma a quo tetap diberlakukan, maka akan terus terjadi disproporsionalitas atau ketidaksetaraan antara suara pemilih dan jumlah partai politik di DPR,” kata Malik Ibrohim dalam sidang perdana pengujian UU Pemilu yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Rabu (3/7/2024).
Apa tidak membuat kekisruhan karena (hasil pemilu) sudah ditetapkan, lalu minta dinyatakan inkonstitusional, lalu ’gimana’ dampaknya dalam beberapa aspek?
Dalam persidangan, Malik menjelaskan, PPP meraih 5.878.777 suara sah secara nasional dalam Pileg 2024 atau setara dengan 3,87 persen. Namun, akibat berlaku norma Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu, jutaan suara yang telah dipercayakan kepada PPP dan pemohon menjadi sia-sia.
Menurut dia, tanpa adanya konversi suara pemilih PPP menjadi kursi DPR menunjukkan bahwa norma ambang batas parlemen 4 persen bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Malik Ibrohim meminta hal tersebut diberlakukan sejak Pemilu 2024.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu sudah dimaknai MK melalui putusannya Nomor 116/PUU-XXI/2023. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan, norma ambang batas parlemen sebesar 4 persen konstitusional untuk diberlakukan pada Pemilu Legislatif 2024, tetapi tidak dapat diberlakukan (inkonstitusional) untuk Pemilu Legislatif 2029.
MK menyerahkan kepada pembentuk undang-undang untuk membahas hal tersebut dalam revisi UU Pemilu dengan memperhatikan sejumlah ketentuan. Adapun beberapa syarat yang diminta MK untuk diperhatikan oleh pembentuk undang-undang dalam menentukan besaran angka ambang batas parlemen, antara lain, ialah besaran yang ditentukan tetap menjaga proporsionalitas sistem pemilu dan mengurangi jumlah suara yang tidak terkonversi menjadi kursi di parlemen.
Besaran ambang batas juga harus sesuai dengan salah satu maksud penerapan parliamentary threshold, yaitu penyederhanaan parpol dan harus selesai sebelum Pemilu 2029 digelar.
Enny mempertanyakan apakah pemohon tidak menyadari dampak dari permintaan supaya penghapusan ambang batas parlemen 4 persen tersebut diterapkan untuk Pemilu Legislatif 2024. ”Apa tidak membuat kekisruhan karena (hasil pemilu) sudah ditetapkan, lalu minta dinyatakan inkonstitusional, lalu gimana dampaknya dalam beberapa aspek?” tanya Enny.
Terlepas dari itu, Enny menyatakan bahwa pemohon memiliki tugas berat untuk dapat meyakinkan MK agar bergeser dari putusan sebelumnya (116/PUU-XXI/2023). ”Putusan 116 yang telah memaknai Pasal 414 Ayat (1) itu kemudian harus di-challenge oleh principal Saudara, termasuk kuasa pemohon, apa reasoning yang kuat, yang dapat meyakinkan Mahkamah. Karena Mahkamah telah memutus dan memberikan pemaknaan,” kata Enny.
Sementara itu, Arief Hidayat mengkritik pemohon yang menguji Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu tanpa memasukkan pemaknaan yang sudah diberikan oleh MK dalam putusannya yang terakhir. Apabila pemohon tetap menguji Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu yang asli, obyek pengujian yang diajukan sudah hilang. Ia pun meminta pemohon untuk menulis ulang (rewrite) permohonannya jika berharap perkara tersebut akan terus dilanjutkan.