Mengharapkan Media jadi Mata dan Telinga Bawaslu di Pilkada 2024
Ruang lingkup pengawasan Bawaslu yang terlalu luas membuat lembaga itu mengharapkan masyarakat turut mengawasi pilkada.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
Hamdi Anwar bersama beberapa jurnalis lain sibuk memelototi telepon genggam masing-masing. Mereka tak berhenti menggulir gawai media sosial. Ketika sudah menemukan yang dicari, dengan sigap mereka mengambil tangkapan layar dan melaporkannya ke pimpinan Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu setempat.
"Kami hanya mengirim screenshot. Terus kami tanya, 'Ini pelanggaran bukan ya?'," ujar Hamdi, salah seorang jurnalis peserta Konsolidasi Media untuk Penguatan Pemberitaan pada Pengawasan Tahapan Pemilu 2024, awal pekan lalu di Palu, Sulawesi Tengah.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Hamdi menceritakan kembali pengalamannya pada Pemilu 2024 ketika menemukan ada calon anggota legislatif (caleg) yang sudah mulai mengunggah aktivitas kampanye, sedangkan masa kampanye belum dimulai. Ada pula caleg yang tetap berkampanye di media sosial ketika sudah memasuki masa tenang.
Temuan lain ialah berkaitan dengan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) dan politik uang. Beberapa kali sempat ditemukan unggahan video di media sosial yang memperlihatkan sekumpulan ASN sedang mendeklarasikan dukungan terhadap calon tertentu, dan caleg-caleg tengah membagi-bagikan uang ke konstituennya.
Sebenarnya, Hamdi dan teman-temannya memahami bahwa semua itu merupakan pelanggaran. Namun, sebagai seorang jurnalis, mereka tidak bisa asal memberi cap atau menghakimi, apalagi langsung memberitakannya. Konfirmasi dari komisioner Bawaslu tetap dibutuhkan.
"Kalau tanpa konfirmasi dan diterbitkan (menjadi berita), kan, menjadi kurang etis juga. Nah, kalau itu sudah dinyatakan pelanggaran, baru kami satukan semua temuan yang dicap sebagai pelanggaran dan kami buat tulisan panjangnya," tutur Hamdi.
Rutinitias semacam itu kerap Hamdi lakukan bersama teman-teman jurnalis lain setiap pergelaran pemilu, termasuk menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Mereka menyebut kegiatan ini sebagai patroli siber.
Mereka memahami, Bawaslu dihadapkan berbagai tantangan dalam proses pengawasan pemilu, salah satunya kekurangan pengawas. Di sisi lain, kewenangan Bawaslu untuk menindak para pelanggar juga terbatas. Misalnya, terkait pelanggaran netralitas ASN, hal tersebut nantinya akan ditindaklanjuti oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Kemudian, terkait kampanye di luar tahapan, hingga saat ini tidak ada aturan yang mengatur kegiatan sosialisasi oleh peserta ataupun bakal calon peserta pemilu yang rigid. Hal ini menyebabkan praktik pelanggaran kampanye di luar tahapan semakin sulit ditindak.
"Jadi, kami yang ikut mengawasi. Begitulah trik kami untuk meminimalisir pelanggaran di masa pemilu. Jadi, memang kami kasih sibuk Bawaslu-nya hehehe," kelakar Hamdi.
Spektrum pengawasan luas
Anggota Bawaslu RI Puadi menyadari, ada ekspektasi publik yang begitu besar kepada Bawaslu dalam mengawasi proses pemilu. Namun, pada saat yang sama, patut disadari bahwa ruang lingkup dan spektrum pengawasan sangat luas. Bawaslu juga memiliki keterbatasan sumber daya pengawas yang pada akhirnya tidak mampu menjangkau dan merekam semua pelanggaran.
"Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut, maka salah satu strategi yang ditempuh adalah membangun aliansi strategis dan kolaboratif dengan berbagai elemen kritis masyarakat untuk ikut serta dalam pengawasan partisipatif, termasuk dengan media atau pers," ujar Puadi.
Dengan demikian, Bawaslu sangat terbuka dengan berbagai masukan dan laporan pelanggaran yang disampaikan para jurnalis. Kolaborasi ini diyakini semakin memperkuat kerja-kerja pengawasan.
Atas dasar hal itu pula, menjelang Pilkada 2024, Bawaslu gencar menggelar konsolidasi dengan media lokal di seluruh provinsi di Indonesia. Acara konsolidasi ini sudah berlangsung sejak awal Maret 2024 dan ditargetkan selesai di Juli mendatang. Tujuan digelarnya acara ini untuk mengajak media turut serta mengawasi pilkada.
Ada ekspektasi publik yang begitu besar kepada Bawaslu dalam mengawasi proses pemilu. Namun, pada saat yang sama, patut disadari bahwa ruang lingkup dan spektrum pengawasan sangat luas
Menurut Puadi, media berperan penting dalam mengawal tahapan pemilu yang sedang berjalan. Lebih dari itu, kehadiran media diperlukan untuk memberikan informasi dan pendidikan politik kepada masyarakat sehingga masyarakat teredukasi dengan baik.
"Media merupakan salah satu pilar demokrasi di Indonesia, maka sangat penting peran kawan-kawan media untuk memberitakan informasi yang valid, berimbang dan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan konten-konten yang diproduksi," ungkapnya.
Partisipatif
Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng berpandangan, pengawasan paling otentik dan berkelanjutan memang berasal dari masyarakat. Tentu tidak semua warga bisa ikut terlibat dalam proses pengawasan karena mereka juga mempunyai pekerjaan lain. Karena itu, peran masyarakat ini diwakili oleh masyarakat sipil, para aktivis, para akademisi, termasuk juga media.
"Semua ikut gerakan sosial pengawasan. Inilah yang disebut pengawasan partisipatif," ujar Robert.
Dari sisi teknis, lembaga pengawas memang tidak mungkin bekerja sendiri karena sumber daya manusia yang terbatas. Untuk itu, peran masyarakat dan media sangat penting menjadi mata dan telinga dari lembaga pengawas.
Namun kembali lagi. Meski masyarakat dan media menjadi pilar penting dalam proses pengawasan di lapangan, mereka tidak punya otoritas untuk menyelesaikan pelanggaran yang ditemukan. Karena itu, dalam situasi ini, lembaga pengawas juga diharapkan serius menelaah laporan yang diterima, baik secara materiil maupun formil.
"Di sinilah, satu kata kunci, pengawasan kolaboratif dan sinergis. Kredibilitas informasi dan akuntabilitas lembaga pengawas dalam menindaklanjuti laporan yang ada, akan membuat penyelenggaraan pemilu kita menjadi langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil," kata Robert.