Baru 19 Persen Laut RI Dipetakan, Terobosan Dibutuhkan untuk Percepat Pemetaan
Luhut tegaskan, tak ada jalan lain untuk percepat pemetaan laut, kecuali lewat tambahan anggaran dan peralatan canggih.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan, baru 19 persen laut Indonesia yang dipetakan secara modern. Tanpa ada terobosan, pemetaan laut Indonesia baru bisa diselesaikan dalam waktu 120 tahun. Kenaikan anggaran bagi Pusat Hidro-Oseanografi TNI AL atau Pushidrosal dibutuhkan untuk membiayai terobosan tersebut.
”Ini mau bagaimana kalau kita tidak kerjakan? Ya, jangan enggak ada ongkosnya. Makanya dana-dana Pushidrosal harus di-double-kan. Karena kalau dengan cara sekarang, baru 19 persen yang dipetakan, diselidiki, ya, kita 120 tahun lagi baru selesai,” ujar Luhut saat Rapat Koordinasi Nasional Hidrografi Pushidrosal di Jakarta, Selasa (25/6/2024).
Menurut dia, Pushidrosal berperan signifikan dalam aktivitas kelautan seperti navigasi, pembangunan ekonomi, keamanan dan pertahanan, penelitian ilmiah, serta perlindungan lingkungan. Berbagai proyek pemerintah terkait kelautan tak akan bisa terlaksana tanpa pemetaan laut.
Luhut mencontohkan aktivitas pariwisata di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kapal-kapal wisatawan di sana bisa masuk dan beraktivitas karena adanya peta. Dalam melindungi kawasan pesisir, pemetaan dibutuhkan untuk menghitung potensi bencana alam seperti tsunami dan megathrust.
Untuk itu, RI perlu meningkatkan kapasitas pemetaan potensi kelautannya. Ia membandingkan Indonesia dengan negara maju dari perspektif anggaran riset. Mayoritas negara maju cenderung menonjolkan anggaran riset masing-masing.
”Menurut saya, Pushidrosal harus anggarannya, pertama anggarannya harus diperbesar dan peralatannya dipercanggih. Karena tidak ada pilihan lain. Saya pikir jangan terlalu lama, (jangka pendek sekitar) 5–10 tahun ke depan,” jelasnya.
Penjajahan Belanda
Kepala Staf TNI AL (KSAL) Laksamana Muhammad Ali, saat ditemui terpisah, menjelaskan, pemetaan laut sudah selesai selama penjajahan Belanda. Namun, baru 19 persen dari data itu yang diperbarui dan dikoreksi melalui teknologi modern Pushidrosal.
Saat ini, terdapat tiga kapal survei yang aktif di Pushidrosal, antara lain, KRI Dewa Kembar-932, KRI Rigel-933, dan KRI Spica-934. Hanya Rigel dan Spica yang bisa memetakan perairan dalam. Selain itu, ada juga kapal bantu survei, seperti KRI Pollux-935, KAL Vega VII-02, dan KAL Antares-03.
Ali mengakui, anggaran riset, khususnya untuk pemetaan laut Indonesia, jauh lebih kecil ketimbang negara-negara maju. Secara spesifik, anggaran Pushidrosal hanya dialokasikan oleh TNI AL, belum ada dukungan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
”Untuk itu, kami sudah mulai koordinasi dengan pihak Bappenas. Diharapkan nanti ada anggaran tambahan untuk Pushidrosal dalam rangka mendukung riset-riset dan survei terkait dengan keselamatan navigasi yang semuanya ini untuk kepentingan sipil. Itu harapan kami,” tuturnya.
Di sisi lain, TNI AL tengah membangun dua kapal survei di dalam dan luar negeri—Indonesia pembuatan platform kapal, sedangkan teknologi dan perangkat elektronika dari luar negeri. Ali berharap jumlahnya dapat terus bertambah sesuai kemampuan anggaran. Namun, apabila tetap terbatas, TNI AL bakal membeli sensor-sensor portable untuk dibawa kapal-kapal lama.
Anggaran riset, khususnya untuk pemetaan laut Indonesia, jauh lebih kecil ketimbang negara-negara maju
Komandan Pushidrosal Laksamana Madya Budi Purwanto menambahkan, pemetaan laut masa Belanda sudah 100 persen. Namun, perkembangan teknologi menuntut pembaruan data peta terkini. Dulu, misalnya, menggunakan penghitungan metode tali untuk mencari kedalaman. Kemudian berkembang ke teknologi pemaritan untuk mendeteksi benda atau bentuk di bawah air.
”Terus ada berikutnya berkembang ada singlebeam. Singlebeam itu kami menggunakan pancaran gelombang suara. Tapi kalau singlebeam itu begini, ’tek’ satu kena, terus ini kelewatan, ’tek’ kena terus kelewatan lagi. Jadi, di bagian tengah ada informasi yang kita tidak tahu,” ungkapnya.
Sementara itu, perkembangan teknologi untuk pengukuran dasar laut sudah menggunakan multibeam echosounder. ”Jadi, seperti dasar laut itu di-scan. Jadi, semua di situ ada kerangka, ada bukit, ada tengkorak, ada tangga. Semua ini bisa ketahuan,” terangnya.