Mengatur Penyiaran Jangan Sampai Kebablasan Membungkam Pers
UU Pers bukan hadiah negara untuk pers, melainkan hadiah negara untuk masyarakat dalam rangka kebebasan berekspresi.
DPR menilai Rancangan Undang-Undang Penyiaran mendesak untuk segera disahkan guna mengisi kekosongan regulasi, terutama di aspek frekuensi penyiaran publik. Walakin, munculnya pasal-pasal multitafsir yang berpotensi membungkam kebebasan pers perlu diwaspadai. DPR pun diharapkan tak tergesa-gesa mengesahkan undang-undang itu, dan membahasnya pun mesti melibatkan partisipasi publik bermakna.
Ramai dikritik masyarakat sipil sepanjang Mei 2024, berkas revisi UU Penyiaran yang dibuat Komisi I DPR sekarang sudah diserahkan kepada Badan Legislasi DPR untuk dibahas dalam waktu dekat. Beberapa langkah lagi berkas tersebut bisa diserahkan untuk menjadi RUU inisiatif DPR, yakni paling lambat sebelum 30 September 2024 atau sebelum sidang paripurna di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi, dalam acara diskusi bertajuk ”Menakar Urgensi RUU Penyiaran” di Jakarta, Jumat (15/6/2024) petang, menuturkan, RUU Penyiaran sudah masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2009-2014, Prolegnas 2014-2019, dan terakhir Prolegnas 2019-2024.
Inti materi dari draf RUU Penyiaran itu adalah mengatur frekuensi milik negara yang akan dipergunakan untuk kemakmuran seluruh masyarakat. Sebab, serangan materi dari platform over the top (OTT) atau platform siaran streaming belum diatur. Pengaturan dibutuhkan terutama untuk mengantisipasi dampaknya terhadap perlindungan dan pengembangan lembaga penyiaran.
Inilah yang kami ingin bahwa jurnalisme investigasi eksklusif ini, kata-katanya baiknya, bukan dilarang, melainkan dibatas, supaya hanya media yang pertama kali membuat produk jurnalistik investigasi itu yang boleh membahas dan yang lain tidak boleh.
Walakin, draf revisi UU Penyiaran itu dinilai kontroversial dan banyak ditolak publik karena dianggap akan mengancam kebebasan pers, membatasi informasi publik, hingga membatasi keberagaman konten di ruang digital. Misalnya, keberadaan Pasal 50 B Ayat (2) dalam RUU Penyiaran yang mengancam kebebasan pers. Pasal itu memuat Standar Isi Siaran (SIS) yang salah satu poinnya adalah huruf c, melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi.
Tumpang tindih
Poin pelarangan itu tumpang tindih dengan Pasal 4 UU No 40/1999 tentang Pers. Pasal yang lahir pascareformasi ini menegaskan bahwa tidak ada lagi ruang untuk tindakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan karya jurnalistik, termasuk liputan jurnalisme investigasi (Kompas.id, 27/5/2024).
Baca juga: RUU Penyiaran dan Jejak Kelam Pembungkaman Pers
Bobby menegaskan, tidak ada pelarangan jurnalistik investigasi. Istilah yang tepat adalah pembatasan. DPR selaku pembentuk undang-undang ingin mengatur eksklusivitas jurnalisme investigasi setelah ada aturan publisher rights atau peraturan yang mengatur tanggung jawab platform digital global, seperti Facebook, Google, dan Instagram, untuk memberi timbal balik yang sesuai atas konten pemberitaan oleh media lokal atau nasional.
”Kami ingin bahwa pers memiliki daerah, di mana ada publisher rights atau hak siar dia itu dilindungi sehingga produksi berita itu akan menjadi lebih bervariasi dan lebih banyak kalau ditayangkan di platform digital. Yang bikin berita pertama harus dapat uang. Bagus toh ini (publisher rights)?” kata Bobby.
Intensi DPR untuk mengatur produk jurnalistik investigasi eksklusif adalah agar semua media penyiaran membeli hak siar kepada pembuat pertamanya. Misalnya, hak siar sepak bola atau pernikahan artis.
Bobby juga menilai laporan investigasi yang berkaitan dengan kasus hukum, seperti kasus kopi sianida yang ditayangkan di Netflix, memberikan pandangan lain yang berbahaya karena membuat publik tidak percaya pada sistem hukum dan aparatus sistem ketatanegaraan di Indonesia.
”Inilah yang kami ingin bahwa jurnalisme investigasi eksklusif ini, kata-katanya baiknya, bukan dilarang, melainkan dibatasi, supaya hanya media yang pertama kali membuat produk jurnalistik investigasi itu yang boleh membahas dan yang lain tidak boleh,” jelasnya.
Baca juga: Mengapa Publik Ramai-ramai Menolak RUU Penyiaran?
Ia pun kembali menegaskan bahwa yang ingin diatur dan diperbaiki oleh DPR adalah konteks eksklusivitasnya dan bukan pelarangan terhadap jurnalisme investigasi secara keseluruhan. Pembentuk undang-undang merasa ada tantangan yang besar dalam kegiatan penyiaran di ranah digital, terutama di platform OTT atau siaran langsung daring.
”Tahun 2002 tidak ada kepikiran kami semua ada suatu media yang bisa melakukan kegiatan siang hari dan bisa melakukan kegiatan jurnalistik di format yang baru di telekomunikasi. Nah, inilah yang nanti Dewan Pers juga kami ajak untuk mengatur kegiatan jurnalistik di platform OTT ini,” ungkap Bobby.
Terkait dengan Pasal 42 Ayat (1) dan (2) pada RUU Penyiaran yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih wewenang Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)—karena KPI juga berwenang menyelesaikan sengketa tayangan jurnalistik yang seharusnya diselesaikan Dewan Pers sesuai dengan UU Pers—Bobby menilai hal itu muncul karena tidak semua lembaga penyiaran adalah industri pers.
UU Pers bukan hadiah negara untuk pers, melainkan hadiah negara untuk masyarakat dalam rangka kebebasan berekspresi.
Dengan adanya format digital, kewenangan terkait lembaga pers, insan pers, lembaga penyiaran, dan insan penyiaran ada di Dewan Pers dan KPI. DPR ingin membedakan lembaga pers dan jurnalisme warga (citizen journalism).
Baca juga: Konten Kreator atau Jurnalisme Warga Tetap Perlu Rambu-rambu Etika
Menurut dia, tidak ada intensi pengekangan terhadap kebebasan pers. Hal yang diinginkan justru memberikan garis batas tegas antara kegiatan jurnalistik yang dilakukan insan pers dan jurnalisme warga.
”Kalau yang disiarkan itu produk jurnalistik dari lembaga pers, tentu jika ada sengketa akan ada mediasi di Dewan Pers. Namun, jika jurnalisme warga, dia ranahnya di UU Penyiaran, UU Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE), atau criminal justice,” kata Bobby.
Anggota Dewan Pers Yadi Hendriana mengungkapkan, secara kelembagaan, Dewan Pers tidak menolak RUU Penyiaran. Namun, memang ada beberapa pasal yang tidak disepakati terkait dengan isi dari RUU Penyiaran tersebut. Dewan Pers mencatat ada beberapa pasal yang bertentangan dengan kemerdekaan pers secara sekaligus.
Misalnya, Pasal 8A Huruf q juncto 42 Ayat (1) dan (2) pada RUU Penyiaran yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih wewenang Dewan Pers dan KPI. Aturan baru itu mengatur kewenangan KPI untuk menyelesaikan sengketa tayangan jurnalistik yang seharusnya diselesaikan Dewan Pers sesuai dengan UU Pers.
Baca juga: Kasus Pers Meningkat dengan Masalah yang Berulang
Pasal tersebut juga menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik. Penilaian dialihkan menggunakan P3 (Pedoman Perilaku Penyiaran) dan SIS (Standar Isi Siaran) yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers.
”Mengapa kami menolak pasal-pasal ini karena jelas akan bertubrukan dengan UU No 40/1999 tentang Pers. Artinya, ini akan ada tumpang tindih kewenangan yang berbahaya,” kata Yadi.
Rezim etik
Ia juga mengingatkan bahwa rezim di UU Pers adalah rezim etik sehingga hal ini berbeda dengan kewenangan KPI yang dibentuk pemerintah sebagai regulator untuk mengontrol penyiaran.
Baca juga: Dinamika Penyiaran dan Peran KPI
Walakin, ia juga mengakui bahwa di ranah penyiaran ada dua jenis karya, yaitu jurnalistik dan nonjurnalistik. Selama ini, Dewan Pers menangani sengketa jurnalistik yang sama sekali tidak berbenturan dengan P3 dan SIS. ”(Pihak) Yang membuat P3 SIS juga rekan-rekan pers,” ujar Yadi.
Setelah menganalisis dan meneliti substansi RUU Penyiaran, Dewan Pers pun berkesimpulan bahwa memang ada upaya untuk merebut kemerdekaan pers.
Mantan Ketua Dewan Pers Bagir Manan, sebagai anggota tim pengkaji Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), bahkan pernah menyebut bahwa dunia pers memang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Namun, solusinya bukan untuk dibungkam atau diseret-seret ke ranah pembungkaman terhadap produk jurnalistik.
”Sesuai dengan poin-poin pertimbangan UU Pers, kemerdekaan pers adalah bagian dari kedaulatan rakyat. UU Pers bukan hadiah negara untuk pers, melainkan hadiah negara untuk masyarakat dalam rangka kebebasan berekspresi,” tutur Yadi.
Baca juga: Jauh Dekat Relasi Presiden-Wapres dengan Jurnalis sejak Pandemi Covid-19...
Ia juga mengingatkan bahwa telah terbukti selama 25 tahun reformasi, pers bisa menjaga demokrasi secara baik dan membuat masyarakat bisa mengontrol banyak skandal. Pers berperan baik menjaga performa demokrasi di Tanah Air.
”Jangan sampai revisi UU Penyiaran ini justru akan membuat wajah buruk demokrasi kita, karena ini berbahaya,” kata Yadi.
Advokat konstitusi Victor Santoso Tandiasa berpandangan, idealnya, membentuk UU harus dimulai dengan niat baik. Niat baik itu harus dikawal bersama-sama oleh publik. Hal ini agar kelak norma-norma yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku mengikat seluruh masyarakat (erga omnes), juga bisa menjadi baik.
”Saat memiliki niat baik atau political will yang baik, norma itu tentunya harus diatur secara jelas dan tidak multitafsir,” ujar Victor.
Baca juga: Lima Gejala Penyakit Hukum di Indonesia Menurut Mahfud MD, Apa Saja?
Kalaupun dalam perumusan norma tersebut masih kurang jelas, UU yang baik tentu akan memuatnya di bagian penjelasan. Menurut Victor, dalam revisi UU Penyiaran ini, yang baik adalah menurunkan penjelasan terkait dengan investigasi secara eksklusif.
Sebagai pilar keempat demokrasi, imbuh Victor, pers memerlukan jaminan dan perlindungan yang lebih konkret, terutama yang mengatur hak imunitas dari wartawan. Hak imunitas itu akan memberikan jaminan bagi wartawan untuk melakukan tugas dan kegiatan jurnalistik dengan penuh kewaspadaan dan terikat dengan kode etik.
”Lebih baik menjamin kebebasan pers untuk memberitakan daripada menarik-narik pers ke dalam pengaturan jurnalisme warga. Sebab, dalam hukum ada prinsip lebih baik melepas seribu orang yang bermasalah daripada memenjarakan satu orang yang tidak bersalah,” ungkapnya.
Baca juga: Peran Pers Penting Menjembatani Kebijakan dan Masyarakat
Victor juga mengingatkan kepada pembentuk UU agar penyusunan regulasi itu menyerap partisipasi publik yang bermakna. Artinya, publik tidak hanya perlu didengarkan pendapatnya, tetapi juga dipertimbangkan masukannya, dijawab, dan diakomodasi aspirasinya.
”Nah, ini yang sering kali masih sangat kurang dari DPR dan perlu dicermati teman-teman di DPR agar kita tidak perlu nanti ke MK (Mahkamah Konstitusi),” selorohnya.