KY Diminta Usut Tiga Hakim MA Pemutus Syarat Usia Calon Kepala Daerah
Putusan MA terkait usia calon kepala daerah dinilai politis. KY diminta menginvestigasi tiga hakim yang tangani perkara.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tiga hakim agung yang memeriksa dan memutus uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum terkait dengan usia minimal calon kepala daerah dilaporkan ke Komisi Yudisial. Ketiga hakim itu diduga melanggar prinsip independensi dan imparsialitas dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim saat menangani perkara yang diajukan oleh Partai Garda Republik Indonesia atau Garuda tersebut.
Laporan diajukan oleh Gerakan Sadar Demokrasi dan Konstitusi (Gradasi), Senin (3/6/2024). Gradasi merupakan wadah para advokat dan masyarakat umum yang memiliki perhatian pada isu-isu demokrasi dan konstitusi.
Gradasi menduga, ada pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, khususnya prinsip independensi dan imparsialitas. ”Kami meminta KY memanggil hakim agung yang memutus perkara itu dan menginvestigasinya. Karena, putusan tersebut mendapat penolakan dari publik. Jika putusan itu dijatuhkan setelah pilkada berlangsung, kami tidak curiga. Tapi, MA memutus saat menjelang pendaftaran calon,” kata Direktur Gradasi Abdul Hakim, yang mengharap ada langkah cepat dari KY.
Sebelumnya, pada 29 Mei 2024, MA menjatuhkan putusan uji materi Pasal 4 Ayat (1) huruf e Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Majelis hakim yang diketuai oleh Yulius (Ketua Kamar Tata Usaha Negara MA) dengan hakim anggota Cerah Bangun dan Yodi Martono Wahyunadi mengabulkan permohonan Partai Garuda dan memerintah KPU untuk mencabut pasal yang diuji.
Majelis hakim juga memberikan tafsir terhadap pasal tersebut dengan cara mengubah titik penghitungan usia minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati serta calon wali kota dan wakil wali kota, dari sejak penetapan calon seperti diatur di PKPU menjadi sejak pelantikan. Putusan tersebut mendapat sorotan dari banyak kalangan karena dinilai menguntungkan kalangan tertentu.
Unsur politik
Abdul Hakim menjelaskan, pihaknya mempersoalkan adanya dugaan pelanggaran etik ketiga hakim pemutus uji materi usia calon kepala daerah terkait dengan penanganan perkara yang diajukan Garuda. Penanganan perkara dinilai terburu-buru, cepat, dan singkat. Partai Garuda memasukkan permohonan uji materi pada 23 April 2024, sebulan kemudian (tepatnya pada 27 Mei) perkara didistribusikan ke majelis hakim. Lantas, tiga hari kemudian, yakni pada 29 Mei, majelis hakim sudah memutus perkara yang dimaksud.
Padahal, kata Abdul Hakim, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dalam kajiannya mengungkapkan, rata-rata perkara pengujian materi di Mahkamah Agung diputus antara 6 bulan dan 50 bulan. ”Putusan ini kita curigai mengandung unsur politik,” kata Abdul Hakim.
Putusan ini kita curigai mengandung unsur politik.
Selain itu, pihaknya juga menilai putusan 23 P/HUM/2024 tersebut problematik. MA telah melampaui kewenangannya dengan menafsirkan ketentuan di dalam Undang-Undang Pilkada dan Peraturan KPU No 9/2020 dengan menggeser penghitungan usia, dari saat penetapan pasangan calon menjadi saat pelantikan. Padahal, menurut dia, hal tersebut menjadi kebijakan pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR, untuk memutuskannya (open legal policy).
Atas laporan tersebut, anggota KY Bidang Pengawasan Hakim, Joko Sasmito, mengatakan, tim pengawasan hakim KY akan mendalami dan menindaklanjuti laporan tersebut. Publik diminta menunggu hasil kerja pengawasan tersebut.
Sementara itu, Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewata mengatakan, karena kasus tersebut menarik perhatian publik, KY akan bertindak profesional dalam menindaklanjuti laporan masyarakat dengan berbasis kecukupan bukti dan informasi, serta prosedur yang ada. ”Jika ditemukan dugaan pelanggaran kode etik, KY akan memeriksa hakim terlapor yang nantinya diputuskan dalam sidang pleno apakah terbukti atau tidak terbukti melanggar kode etik,” tuturnya.
Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata saat ditemui di kantor KY, Selasa (26/4/2022).
Mukti menegaskan, KY hanya akan fokus pada aspek dugaan pelanggaran etik saja. Sebab, KY tidak berwenang untuk memeriksa materi terkait dengan pertimbangan putusan.