Menanti PPP Bangkit Kembali
PPP dinilai tetap berpeluang besar kembali ke parlemen dengan infrastruktur dan pengalaman panjang di pemilu.
Sekitar satu jam setelah Mahkamah Konstitusi menyelesaikan pengucapan putusan sela perselisihan hasil pemilihan anggota legislatif, sejumlah elite Partai Persatuan Pembangunan berkumpul di kantor Dewan Pimpinan Pusat PPP, Jakarta, Rabu (22/5/2024). Mereka menyampaikan sikap setelah seluruh gugatannya tidak diterima oleh MK.
Kandasnya gugatan di 19 provinsi yang diajukan ke MK itu sekaligus memastikan PPP untuk pertama kalinya gagal lolos ke parlemen. Padahal, sejak pertama kali mengikuti pemilihan umum (pemilu) pada 1977, PPP mendapatkan suara yang cukup signifikan dan mampu menempatkan wakilnya di parlemen.
Pada Pemilu 2024, PPP memperoleh 5.878.777 suara atau setara 3,87 persen dari total suara sah nasional. Capaian itu tidak mampu memenuhi ambang batas parlemen minimal 4 persen. Tidak diterimanya seluruh gugatan PPP di MK membuat perolehan suara yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap sah dan tak berubah sedikit pun.
Baca juga: Seluruh Gugatan Tak Diterima MK, PPP Dipastikan Terlempar dari Senayan
MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan PPP karena tidak jelas dan kabur. Dalam pertimbangannya, MK sama sekali tidak menemukan secara spesifik di mana lokasi pemindahan dan kesalahan penghitungan suara tersebut terjadi dan dilakukan oleh KPU.
Dalam permohonan yang diajukan PPP, MK juga tidak menemukan apakah perbuatan hukum (perpindahan suara) terjadi secara berjenjang di setiap tingkatan tempat pemungutan suara (TPS), kecamatan, kabupaten/kota, ataupun provinsi secara berurutan.
”Kami ucapkan terima kasih kepada rakyat Indonesia, ulama, kader, hingga simpatisan PPP yang telah memberikan amanah kepercayaan kepada PPP untuk mewakili aspirasinya secara politik dan konstitusional dalam Pemilu 2024,” ujar Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP Mardiono dalam konferensi pers tersebut.
PPP yang didirikan pada 5 Januari 1973 memiliki sejarah panjang dan tak pernah absen sekali pun dalam pemilu di Indonesia. Partai tersebut merupakan fusi atau gabungan dari beberapa parpol yang telah mengikuti pemilu sejak pertama kali digelar pada 1955. Keempat parpol itu adalah Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Baca juga: Menakar Kembali Tren Elektoral Partai Politik Islam
Sebagian parpol itu bahkan mendapatkan suara yang besar dan mampu menempati urutan tiga besar dalam setiap pemilu. Pada Pemilu 1955, NU mendapatkan 18,41 persen suara dan berada di urutan ketiga, di bawah Partai Nasional Indonesia (22,32 persen) dan Masyumi (20,92 persen).
Sementara di Pemilu 1971, NU bahkan berada di urutan kedua dengan perolehan 18,68 persen suara dan Parmusi di urutan ketiga dengan capaian 5,36 persen suara. Adapun Pemilu 1971 itu dimenangi Golkar yang mendapatkan 62,82 persen suara.
Bahkan, di pemilu 1977 hingga 1997 yang diikuti tiga parpol hasil fusi, PPP selalu berada di urutan kedua, di bawah Golkar. Perolehan suara PPP di pemilu Orde Baru pun cenderung stabil, yakni di Pemilu 1977 (27,12 persen), Pemilu 1982 (29,29 persen), dan Pemilu 1987 (27,78 persen). Selanjutnya di Pemilu 1992 (15,97 persen) dan terakhir di Pemilu 1997 (17 persen).
Memasuki era reformasi, perolehan suara PPP mulai menurun. Di Pemilu 1999, PPP masih mampu berada di urutan ketiga dengan capaian 10,7 persen suara. Namun, sejak Pemilu 2004, PPP terus terlempar dari urutan tiga besar karena suara yang cenderung menurun.
Baca juga: Pemilih Naik, tapi Jumlah Partai Berbasis Islam di Parlemen Menurun
Pada Pemilu 2004, suara PPP turun menjadi 8,1 persen sehingga mengakibatkan partai berlambang Kabah itu berada di urutan keempat dari 24 parpol. Tren penurunan kemudian berlanjut pada Pemilu 2009 saat suara PPP turun menjadi 5,3 persen sehingga posisinya berada di urutan keenam.
Suara PPP sempat naik tipis menjadi 6,5 persen di Pemilu 2014, tetapi secara urutan turun di posisi kesembilan. Sementara di Pemilu 2019, suara PPP kembali turun menjadi 4,52 persen, membuat partai itu berada di urutan terakhir dari sembilan parpol yang lolos ke parlemen. Puncaknya di Pemilu 2024, suara PPP turun menjadi 3,87 persen dan tidak mencapai ambang batas parlemen 4 persen.
Evaluasi dan konsolidasi
Meskipun absen dari parlemen, Sekretaris Jenderal PPP Arwani Thomafi mengatakan, pihaknya optimistis PPP akan kembali ke parlemen di Pemilu 2029. Evaluasi dan konsolidasi segera dilakukan untuk menentukan langkah-langkah strategis yang akan dilakukan selama lima tahun mendatang.
Terlebih, PPP masih memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Berdasarkan tabulasi PPP, perolehan suara untuk DPRD kabupaten/kota sebanyak 8.060.774 suara sehingga mendapatkan 845 kursi. Sementara untuk DPRD provinsi, suara PPP mencapai 6.379.085 suara dengan raihan 82 kursi.
”Lima tahun masa kerja anggota DPRD harus dioptimalkan untuk merebut kembali posisi PPP pada Pemilu 2029,” ujar Arwani, akhir pekan ini.
Baca juga: Tak Lolos Parlemen, PPP Tetap Jaga Eksistensi Politik di Nasional dan Lokal
Di sisi lain, lanjut Arwani, MK telah meminta pembentuk undang-undang untuk merevisi ambang batas parlemen. Ia pun berharap kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah agar memiliki perspektif keadilan kepada pemilih yang telah memberikan suaranya ke parpol. Angka ambang batas parlemen yang nanti ditetapkan diharapkan dapat mengurangi suara yang hangus akibat parpol yang didukung tidak lolos ke parlemen.
Gagalnya PPP lolos ke parlemen seperti kecelakaan, karena bukan PPP yang melemah, melainkan kurang hati-hati dalam melakukan konsolidasi politik dan menentukan pilihan politik di pilpres.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menilai, peluang PPP kembali lolos ke parlemen di Pemilu 2029 sangat besar. Sebab, PPP punya basis massa yang cukup kuat, terutama dari kalangan NU dan Islam modernis. Jika kalangan pemilih tersebut terus dijaga dan diperluas, kekurangan suara untuk mencapai ambang batas parlemen dapat diatasi.
Menurut dia, PPP berbeda dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang terlempar dari parlemen di Pemilu 2019 dan belum dapat kembali hingga Pemilu 2024. Sejak pemilu di era reformasi, PPP termasuk dalam partai menengah yang memiliki ceruk suara berkisar 5 persen hingga 10 persen. Sementara potensi pemilih Hanura kurang dari 5 persen sehingga selalu gagal menembus ambang batas parlemen dalam dua kali pemilu terakhir.
Baca juga: Analisis Litbang ”Kompas”: Tantangan Hanura Dekati Hati Rakyat
Adapun Hanura pertama kali mengikuti pemilu pada 2009. Partai tersebut mendapatkan 3,7 persen suara sehingga lolos ambang batas parlemen 2,5 persen. Kemudian di Pemilu 2014, Hanura mampu bertahan di parlemen dengan raihan 5,2 persen suara, di atas ambang batas parlemen 3,5 persen.
Namun, di Pemilu 2019, perolehan suara Hanura anjlok menjadi 1,3 persen, padahal ambang batas parlemen naik menjadi 4 persen. Hanura kembali berkontestasi di Pemilu 2024, tetapi gagal lolos ke parlemen karena hanya memperoleh 0,7 persen.
Lebih jauh, kata Djayadi, ceruk pemilih parpol Islam, termasuk PPP, berkisar 30 persen hingga 35 persen. Perolehan suara PPP pun tidak selisih jauh dengan parpol Islam lain, seperti PKB, PAN, dan PKS. Dengan demikian, peluang PPP untuk menambah suara dari kalangan pemilih Muslim masih sangat terbuka.
”Dengan infrastruktur dan pengalaman panjang di pemilu, PPP punya peluang besar untuk kembali ke parlemen,” kata Djayadi.
Konflik internal
Meski demikian, lanjutnya, PPP perlu menyelesaikan beberapa problem yang membuat suaranya menurun dalam beberapa pemilu terakhir. Pertama, konflik internal dalam beberapa kali pemilu mengakibatkan penggantian di level elite. Bahkan, pada 2024, ada pergantian ketua umum pada sekitar 1,5 tahun sebelum pelaksanaan pemungutan suara.
Baca juga: Konflik Internal Perburuk Masa Depan PPP
Konflik internal itu bahkan mengakibatkan PPP gagal merekrut tokoh-tokoh lokal dan nasional untuk bergabung. Para tokoh yang awalnya ingin bergabung akhirnya tidak tertarik karena konflik internal itu. Meskipun ada tokoh yang bergabung, seperti Sandiaga Uno, kehadirannya pun tidak mampu menarik pemilih lintas sektor.
Selain itu, PPP juga dinilai salah menentukan pilihan politik dalam Pilpres 2024. Sebagian besar basis massa PPP tidak sejalan dengan pilihan PPP yang mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Akibatnya, para pemilih berpaling dan mengakibatkan PPP mendapatkan efek ekor jas negatif di pemilu kali ini.
”Gagalnya PPP lolos ke parlemen seperti kecelakaan, karena bukan PPP yang melemah, melainkan kurang hati-hati dalam melakukan konsolidasi politik dan menentukan pilihan politik di pilpres,” ujar Djayadi.
Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, menilai PPP mesti segera berbenah dalam kaderisasi. PPP perlu merekrut tokoh-tokoh nasional yang dapat menarik suara pemilih. Sejak Hamzah Haz, belum ada lagi tokoh nasional sekaliber mantan wakil presiden itu yang mampu merepresentasikan PPP.
Baca juga: Sejarah dan Pencapaian Kursi PPP di Pemilu
Namun, tantangan bagi PPP tidak mudah karena tidak ada di parlemen. Para tokoh potensial cenderung memilih parpol yang lebih besar dan punya pendanaan kuat.
Baca juga: Seluruh Gugatan Ditolak MK, Bagaimana Nasib PPP Kini?
Apalagi dalam beberapa pemilu terakhir, pemilu dinilai semakin mahal dan brutal. Politik uang semakin menjamur sehingga parpol-parpol dengan sumber daya ekonomi rendah cenderung kalah berebut suara pemilih.
Gagalnya PPP lolos ke parlemen di Pemilu 2024 menjadi pelajaran yang sangat mahal bagi partai berlambang Kabah itu. Evaluasi perlu segera dilakukan untuk mengatasi berbagai hambatan agar PPP bisa segera bangkit dari ”kecelakaan” pemilu.