Demokrasi, keadilan sosial, dan pemberantasan korupsi dinilai penting untuk jadi fokus Prabowo-Gibran. Mengapa?
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang akan dilantik sebagai Presiden-Wakil Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober mendatang tentu perlu melanjutkan reformasi yang sudah dimulai pada 1998. Berbagai tuntutan reformasi sendiri belum mewujud. Setidaknya, ada tiga hal yang perlu direalisasikan pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan.
Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno dalam diskusi bertajuk ”Setelah 26 Tahun Reformasi dan Pilpres Nir-Jurdil”, di Jakarta, Senin (20/5/2024), menyebutkan ketiga hal dimaksud adalah kebebasan demokrasi, keadilan sosial, dan pemberantasan korupsi. Mengapa tiga hal ini menjadi penting?
Kebebasan yang ditegaskan dalam konstitusi pasca-Reformasi 1998 jangan sampai diabaikan lagi. Namun, kebebasan mulai menjadi utopis ketika orang bisa ”dipolisikan" dengan tuduhan menghina atau mendiskusikan materi yang dinilai bertentangan dengan ideologi.
Kebebasan dan demokrasi adalah dua hal penting. Sebab, kata Magnis, inilah dua nilai modernitas dasar.
Kebebasan, misalnya, memberi peluang untuk orang kecil bersuara dan memperjuangkan kepentingannya. Tanpa kebebasan, masyarakat miskin tak akan bisa memperjuangkan kepentingannya bahkan bisa kelaparan. Karenanya, Magnis menilai keliru pendapat yang mempertanyakan apakah dengan kebebasan, orang lapar bisa makan. Ketika tak ada kebebasan, masyarakat bahkan bisa kelaparan dan nilai-nilai seperti gotong royong pun akan dilupakan.
Pencapaian yang diapresiasi saat ini adalah Indonesia berhasil mencapai stabilitas dan keamanan yang relatif baik dan merata dari Sabang sampai Merauke. Masyarakat Indonesia juga relatif bebas kelaparan dan kemiskinan ekstrem sangat terbatas.
Namun, keadilan sosial masih perlu diperjuangkan, apalagi 50 persen masyarakat Indonesia belum betul-betul sejahtera dan 9 persen warga Indonesia masih miskin. ”Kalau 50 persen rakyat Indonesia itu mendapatkan kesan bahwa Indonesia hanya milik (mereka dengan perekonomian dan berada di kekuasaan) yang di atas, jangan heran kalau mereka mencari ideologi selain Pancasila,” tutur Magnis.
Mencapai keadilan sosial ini pun tak bisa hanya dengan kebijakan ”top down”, tetapi sesuai keinginan masyarakat di wilayah yang mungkin berbeda dengan kebijakan yang digariskan pemerintah pusat di Jakarta.
Untuk itu, desentralisasi yang ditetapkan di masa pemerintahan Presiden BJ Habibie pada 1999 sesungguhnya tonggak yang penting. Ada pembagian tanggung jawab antara pusat dan daerah. Pemerintah daerah juga bisa menyesuaikan kebijakan sesuai dengan kondisi setempat.
Terkait pemberantasan korupsi, masalah pelemahan KPK sudah muncul sejak 2019 saat kewenangan KPK dipereteli dengan revisi UU KPK. KPK dikebiri dan ini, kata Magnis, adalah satu langkah strategis eksekutif untuk melindungi diri dari kemungkinan pengusutan korupsi.
Belum terwujud
Tuntutan Reformasi 1998 sendiri, menurut Ketua Umum Perkumpulan Jaga Pemilu Natalia Soebagjo dalam diskusi yang diselenggarakan STF Driyarkara bersama Jaga Pemilu tersebut, tampak belum terpenuhi.
Tuntutan Reformasi 1998 itu adalah menegakkan supremasi hukum, menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN, adili Suharto dan kroni-kroninya, laksanakan amendemen UUD 1945, hapus dwifungsi ABRI, dan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya. ”Mungkin ada upaya menuju (pemenuhan) tuntutan-tuntutan ini, tapi kalau melihat detail, jauh dari harapan,” kata Natalia.
Masih banyaknya kegagalan dalam agenda reformasi yang mengancam keberlanjutan reformasi ke depan, menurut Magnis, disebabkan beberapa faktor. Pertama, kendati demokrasi bisa dimasukkan dalam amendemen konstitusi, tuntutan inti mahasiswa untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme, sejak awal tak pernah berhasil. Sisa-sisa Orde Baru pun tetap mempertahankan kedudukannya.
Di sisi lain, partai politik di Indonesia sangat lemah. Tak ada parpol yang bisa dipilih orang-orang yang secara sosial lemah, seperti petani, buruh, dan warga miskin, padahal semua negara demokrasi memilikinya.
Masalah lain pada parpol di Indonesia adalah tidak merasa mewakili rakyat yang memilihnya, tetapi terbentuk di sekitar dinasti. Karenanya, biasanya bukan kepentingan rakyat yang dibawa dalam agenda parpol.
Program Manager Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Viola Reinindra dalam diskusi yang sama, menilai, saat ini terjadi pelumpuhan demokrasi yang kian paripurna. Selain pemilu berlangsung tanpa demokrasi substantif, terjadi pelumpuhan institusi demokrasi, seperti KPK, MK, dan DPR. Kenyataannya, bukan hanya KPK dan MK yang melemah, DPR juga semakin tampak sebagai tukang stempel saja. Pembahasan undang-undang kerap sangat cepat, tanpa partisipasi masyarakat yang berkualitas.
Sejak dua periode pemerintahan lalu, model ”merangkul” semua parpol untuk menghilangkan perbedaan pendapat dilakukan. Saat ini, parpol-parpol pun sudah merapat ke koalisi pendukung Prabowo Subianto.
Pembungkaman oposisi, aktivis, dan jurnalis semakin sering terjadi. Beberapa gejala lain adalah keterlibatan aparat pertahanan keamanan di ruang sipil dan ketimpangan ekonomi yang drastis.
Ketika demokrasi prosedural yang terjadi dan menghasilkan oligarki, supremasi hukum dan keadilan sosial tak terwujud, dan pemberantasan korupsi melemah, menurut Magnis, masyarakat Indonesia harus tetap kritis.
Selain itu, pergantian pemerintahan ke Prabowo-Gibran sebagai presiden-wapres terpilih tetap perlu dinanti. ”Kita harus tunggu Prabowo Presiden dan tagih yang dijanjikan, yakni demokrasi, keadilan sosial, dan pemberantasan korupsi. Kita harap ini diperhatikan,” tutur Magnis.