Asosiasi Pengajar Hukum Adat Minta Dibentuk Kementerian Urusan Adat
Kementerian khusus yang mengurus masyarakat hukum adat dibutuhkan agar masalah masyarakat adat ditangani dengan serius.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Asosiasi Pengajar Hukum Adat mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara untuk meminta ditambahkannya lagi satu kementerian yang khusus mengurus masyarakat hukum adat. Keberadaan kementerian khusus ini penting untuk penguatan masyarakat hukum adat yang kian termarjinalkan, tidak diurus secara serius, dan kerap menjadi korban kekerasan negara.
Permohonan uji materi ini telah didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (20/5/2024). Asosiasi Pengajar Hukum Adat diwakili oleh Laksanto Utomo selaku ketua dan Rina Yulianti selaku sekretaris jenderal, dengan didampingi oleh kuasa hukum Viktor Santoso Tandiasa.
Dalam siaran persnya, Viktor mengungkapkan, pihaknya menguji Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara dengan meminta MK menambahkan frasa ”masyarakat hukum adat” pada pasal tersebut.
Dengan demikian, nantinya pasal tersebut berbunyi, ”Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (2) Huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, masyarakat hukum adat, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.”
Tidak masuknya frasa ”masyarakat hukum adat” sebagai salah satu urusan pemerintahan dalam Pasal 5 Ayat (2) UU Kementerian Negara, oleh pemohon, dinilai sebagai penyebab tidak dibentuknya kementerian khusus yang mengurus masalah pemerintahan masyarakat hukum adat. Hal itu menimbulkan permasalahan dan perlakuan diskriminatif yang melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi. Dengan demikian, pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Menurut Viktor, selama ini masyarakat hukum adat tidak diurus secara serius. Masyarakat hukum adat kerap menjadi korban kekerasan negara yang secara masif mengambil lahan-lahan yang sejak awal dikuasai dan didiami oleh kelompok-kelompok masyarakat adat.
Menilik dari aspek kelembagaan, kata Viktor, urusan pemerintahan yang bersinggungan dengan hak-hak masyarakat adat masih melibatkan lintas kementerian, di antaranya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementerian Agraria dan Tata Ruang; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Kementerian Pertanian; dan Kementerian Dalam Negeri.
Banyaknya lembaga yang mengatur urusan masyarakat adat tersebut mengakibatkan adanya tumpang tindih atas kebijakan yang dikeluarkan masing-masing kementerian. Viktor mencontohkan, kebijakan mengenai status tanah hutan adat dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Hal tersebut jelas bertentangan dengan amanat Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan, ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Menurut Viktor, pasal tersebut menegaskan bahwa negara seharusnya memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat dan menjamin agar hak-hak masyarakat adat dapat terlindungi dan terpenuhi oleh hukum.
”Dengan demikian, pembentukan kementerian masyarakat hukum adat merupakan salah satu langkah progresif dalam memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat,” kata Viktor.
Bukan sekali ini saja MK diminta untuk membentuk kementerian baru melalui pengujian UU Kementerian Negara. Pada 31 Januari 2024, MK membacakan putusan nomor 155/PUU-XXI/2023 yang diajukan Sagap Tua Ritonga yang meminta pembentukan Kementerian Pajak. Sagap Tua ingin memisahkan Direktorat Jenderal Pajak dari kementerian yang selama ini menaungi, yaitu Kementerian Keuangan.
Namun, MK menolak permintaan tersebut karena hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah). Dengan begitu, hal tersebut sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan perkembangan ruang lingkup urusan pemerintahan. Perubahan kementerian dapat dilakukan melalui legislative review atau perubahan undang-undang.