Revisi UU MK mengatur nasib hakim saat ini, terutama tiga hakim yang berbeda pendapat di putusan sengketa hasil pilpres.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS - Pemerintah dan DPR diam-diam menyepakati revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi untuk dibawa ke rapat paripurna terdekat guna disahkan menjadi undang-undang. Revisi yang di dalamnya mengatur ulang masa jabatan hakim konstitusi itu dinilai kental dengan kepentingan politis. Revisi ditengarai untuk mengontrol komposisi hakim agar sesuai dengan kepentingan politik pemerintah dan DPR.
Persetujuan membawa Rancangan Undang-Undang (RUU) MK ke paripurna diambil dalam rapat yang digelar tertutup antara Komisi III DPR dan pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto serta Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Asep Mulyana, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (13/5/2024).
Dari Komisi III DPR terlihat perwakilan dari delapan fraksi di DPR. Hanya perwakilan Fraksi PDI Perjuangan yang tidak hadir.
Tidak hanya rapat yang digelar tertutup, rapat digelar di luar masa persidangan DPR yang sesungguhnya baru akan dimulai hari ini, Selasa (14/5/2024). Kemarin, DPR masih dalam masa reses yang seharusnya dimanfaatkan oleh anggota untuk menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Sarifuddin Suding, mengafirmasi ketidakhadiran Fraksi PDI-P. Meski demikian, Suding mengklaim, RUU itu sudah disepakati seluruh fraksi.
”Pembahasan RUU MK ini, kan, sebelumnya sudah disetujui seluruh fraksi. Namun, Menko Polhukam Mahfud MD dulu belum memberi persetujuan sehingga berhenti. Lalu, Pak Hadi barangkali setelah dia kaji dan baca tadi memberikan persetujuan RUU MK,” ujarnya.
Ia mengaku tak tahu alasan RUU itu tiba-tiba disepakati di tingkat pertama, kemarin. ”Saya sebatas menerima undangan untuk menghadiri. Itu bisa ditanyakan unsur pimpinan (Komisi III DPR),” ucapnya.
Sementara Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir hanya menyampaikan bahwa RUU MK akan segera dibawa ke rapat paripurna terdekat untuk disahkan menjadi UU. ”Sudah, sudah (selesai dibahas). Kan, tahap selanjutnya dibawa ke (rapat) paripurna. Saya tidak tahu (jadwal rapat paripurna). Pokoknya, kami sudah kirim (surat pemberitahuan) ke pimpinan DPR,” tambahnya.
Adies menyampaikan, ada tiga poin revisi dalam RUU MK, yakni Pasal 23A, Pasal 27A, dan Pasal 87. Pasal 23A dan 87 mengatur ulang masa jabatan hakim konstitusi, sedangkan Pasal 27A terkait komposisi Majelis Kehormatan MK.
Hadi Tjahjanto membenarkan pemerintah sudah setuju dengan substansi RUU MK yang ada. ”Kami sudah sama antara DPR dan pemerintah,” ucapnya.
Persetujuan pengusul
Berdasarkan draf revisi UU MK yang diperoleh Kompas, khusus Pasal 87 mengatur nasib hakim konstitusi saat ini, utamanya lima hakim yang sudah menjabat lebih dari lima tahun. Mereka hanya dapat melanjutkan jabatannya setelah mendapatkan persetujuan dari lembaga pengusul.
Para hakim dimaksud adalah Saldi Isra yang sudah menjabat 7 tahun 1 bulan, Enny Nurbaningsih yang telah menjabat 5 tahun 8 bulan, Suhartoyo yang sudah menjabat 9 tahun 4 bulan, Arief Hidayat yang sudah menjabat 11 tahun 1 bulan, dan Anwar Usman yang sudah menjabat 13 tahun 1 bulan. Kelak setelah revisi UU MK disahkan, Saldi dan Enny harus memperoleh persetujuan dari lembaga pengusulnya, yakni pemerintah, untuk melanjutkan jabatannya, Arief Hidayat dari DPR, serta Suhartoyo dan Anwar dari Mahkamah Agung (MA).
Kepentingan politis
Secara terpisah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto mengaku prihatin jika ada pembahasan RUU MK lagi. Saat ini bukan masa yang tepat untuk membahas keanggotaan hakim MK.
Salah satu alasannya, saat ini adalah masa setelah putusan MK mengenai sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Dalam putusan itu, tiga hakim MK menyatakan dissenting opinion atau berbeda pendapat, yakni Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Saldi Isra. Putusan itu sendiri menolak permohonan dua pasangan capres/cawapres yang menggugat hasil Pilpres 2024.
”Kalau kemudian ada perubahan-perubahan norma, kan, ini melegitimasi atau membenarkan asumsi publik bahwa terjadi ’pengancaman’ hakim MK existing, terutama yang dissenting opinion (saat putusan sengketa hasil Pilpres 2024). Dulu waktu pergantian Aswanto, dasarnya sudah clear, DPR bilang Aswanto diganti karena dia paling banyak membatalkan undang-undang, padahal (dia) diusulkan DPR,” kata Aan.
Untuk diketahui, Aswanto diganti secara mendadak oleh DPR dengan Guntur Hamzah pada akhir September 2022.
”Nah, sekarang, kalau diutik-utik lagi UU MK hanya karena masa jabatan, ini memperkuat asumsi publik bahwasanya terjadi ’pembersihan’ pada hakim-hakim MK yang tidak sesuai dengan rezim pembentuk undang-undang, pemerintah dan DPR,” tambah Aan.
Seharusnya, pada masa transisi seperti saat ini dipertahankan status quo. Apabila ada agenda legislasi yang harus dibahas, seharusnya menunggu waktu hingga terjadi pergantian tampuk kekuasaan pada Oktober mendatang.
Di samping itu, Aan menilai tak ada urgensi mengatur ulang masa jabatan hakim MK. Masa jabatan hakim konstitusi baru diubah pada 2020 melalui revisi ketiga UU MK. Masa jabatan hakim yang semula 5 tahun diubah menjadi maksimal 15 tahun atau berusia paling tinggi 70 tahun.
Sementara Managing Partner sekaligus pendiri Themis Law Office, Feri Amsari, menilai revisi UU MK merupakan dagelan legislasi yang berkelanjutan. Revisi dilakukan untuk memastikan hakim-hakim yang tidak bisa ditundukkan dengan kepentingan politik karena selalu bicara penegakan konstitusi hendak disingkirkan.
”Bukan tidak mungkin ini cara politisi untuk menawan hakim konstitusi berkaitan dengan kepentingan politik ke depan. Misalnya, revisi UU Kementerian Negara yang hendak ditambah jumlah kementeriannya. Jadi, hakim hendak ditarik ke politik praktis. Padahal, dengan selalu mengancam para hakim dalam penentuan masa jabatan, itu makin menunjukkan bahwa ini bukan peradilan. Ini lembaga yang punya palu untuk mengesahkan (kepentingan politik penguasa),” kata Feri.
MK nantinya hanya akan menjadi alat politik untuk membenarkan langkah-langkah politik yang diambil penguasa.
Baginya, revisi UU MK merupakan upaya untuk mengendalikan MK dengan mengendalikan komposisi hakim-hakim yang ada di dalamnya. ”Upaya mengendalikan komposisi hakim itulah yang terlihat akhir-akhir ini. Mana hakim yang tidak disenangi didepak, seperti Aswanto,” kata Feri.
Untuk ke sekian kali, Anwar Usman dilaporkan ke Majelis Kehormatan MK atas dugaan pelanggaran etik. Kali ini, ia dilaporkan karena menggunakan jasa pengacara yang tengah beperkara di MK sebagai ahli untuk sidang gugatan yang ia ajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Hal itu dinilai melanggar prinsip kepantasan karena hakim dilarang berhubungan dengan pihak beperkara.
Juru bicara MK, Fajar Laksono Suroso, membenarkan adanya laporan tersebut. Laporan itu diajukan oleh advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Zico melaporkan Anwar dengan dugaan melanggar prinsip kepantasan dan kesopanan dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ”Sapta Karsa Hutama”.
Saat ini, Anwar Usman tengah mengajukan gugatan ke PTUN perihal pemberhentiannya sebagai ketua MK sesuai putusan Majelis Kehormatan MK terkait uji materi persyaratan calon presiden-wakil presiden dan terpilihnya Suhartoyo untuk menggantikannya.