Demi Efektivitas Pemerintahan, LAN Ingatkan Rambu-rambu Pembentukan Kabinet
Penyusunan kabinet harus mempertimbangkan tujuan bernegara, desentralisasi, dan efektivitas pemerintahan.
JAKARTA, KOMPAS — Ada rambu-rambu yang patut diperhatikan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam menyusun postur kabinet. Selain Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang membatasi jumlah maksimal kementerian sebanyak 34, perlu diperhatikan pula desain kelembagaan yang lincah, fleksibel, dan responsif demi mewujudkan pemerintahan yang lebih efektif dan efisien.
Kepala Pusat Kajian Kebijakan Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara (LAN) Widhi Novianto saat dihubungi di Jakarta, Selasa (7/5/2024), mengatakan, jumlah kementerian dan lembaga sebenarnya sudah diatur dalam UU Kementerian Negara. Dasar pembentukan kementerian juga sudah diatur dalam UU tersebut.
LAN, menurut Widhi, hanya berkepentingan untuk mengingatkan bahwa ada sejumlah hal yang patut dipertimbangkan dalam penentuan lembaga atau kementerian ke depan. Setidaknya ada lima hal. Salah satunya tujuan negara yang sudah disebutkan dalam konstitusi.
Selain itu, konsep penentuan lembaga dan kementerian harus mempertimbangkan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini berarti, penyusunan kabinet harus mempertimbangkan bahwa di era desentralisasi saat ini, penyelenggaraan pemerintahan tidak lagi tersentral di pemerintah pusat, tetapi sudah didistribusikan ke pemerintah daerah.
Pergeseran tata kelola pemerintahan juga harus menjadi fokus dalam penataan organisasi. Beberapa hal terkait dengan dinamika penataan kelembagaan yang ada saat ini harus dirancang untuk dapat mewujudkan kabinet yang lincah dan fleksibel, apalagi dengan semakin berkembangnya transformasi digital.
Hal yang juga penting adalah penataan kelembagaan juga harus bisa menjawab tantangan-tantangan strategis ke depan, baik di dalam maupun luar negeri. Penyusunan kabinet juga harus didasari pada tujuan mewujudkan pemerintahan yang efektif sehingga desain kelembagaan tidak tumpang tindih satu dengan yang lain.
”Semua itu harus menjadi perhatian dan pertimbangan. Jadi, saya hanya menyampaikan rambu-rambunya saja, yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam pembentukan kabinet. Dengan demikian, diharapkan terwujud pemerintahan yang efektif dan efisien,” ujar Widhi.
Baca juga: Tata Ulang Kementerian Negara, Kabinet Diusulkan Diisi 41 Menteri
Widhi pun mengungkapkan, semakin banyak lembaga yang dibentuk, sumber daya yang dikeluarkan pasti akan lebih besar. Sumber daya ini meliputi struktur, pejabat, fasilitas, hingga belanja pegawai, belanja rumah tangga, dan belanja institusi.
”Semua itu, kan, tentu butuh sumber daya. Sekarang pembentukan organisasi, kan, harus kompatibel, disesuaikan juga dengan sumber daya yang dimiliki,” tutur Widhi.
Opsi perampingan
LAN sebenarnya pernah membuat kajian desain kelembagaan pemerintah pusat, yang diterbitkan pada 2014. Jika merujuk kajian tersebut, idealnya kementerian yang dibentuk berjumlah 20-24. Selain itu, ada tiga opsi struktur kabinet yang ditawarkan dari kajian itu.
Pertama, opsi ideal yang terdiri dari 20 kementerian dan satu unit kerja kantor kepresidenan. Kemudian, opsi moderat yang terdiri dari 24 kementerian dan satu kantor kepresidenan. Terakhir, opsi realis yang terdiri dari 24 kementerian, dua kementerian koordinator dan satu kantor kepresidenan.
Perampingan melalui tiga opsi itu dilakukan dengan cara menggabungkan dan menghilangkan sejumlah kementerian. Sementara itu, kantor kepresidenan diperkuat dengan menetapkan lima fungsi di unit kerja yang ada. Kelima fungsi itu adalah sekretariat negara, urusan pembangunan nasional (perencanaan dan anggaran), reformasi administrasi, urusan pengawasan, serta desentralisasi dan otonomi daerah.
Terkait kementerian koordinator, baik di opsi ideal maupun moderat, kementerian ini direkomendasikan untuk ditiadakan. Sebab, selama ini kementerian koordinator dinilai tidak banyak berfungsi dalam mengoordinasikan kebijakan dan program kementerian di bawahnya.
Namun, kementerian koordinator tetap dimasukkan di opsi realis. Itu pun hanya ada dua kementerian koordinator, yaitu kementerian koordinator yang fokus untuk mengurusi manajemen pemerintahan dan kementerian koordinator bidang sektoral yang mengoordinasikan kerja dari semua kementerian.
Idealnya, kementerian yang dibentuk berjumlah 20-24.
LAN meyakini, jika kabinet dirampingkan, penghematan anggaran bisa mencapai ratusan miliar rupiah.
Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia (UI) Eko Prasojo sependapat dengan kajian itu. Kabinet ke depan seharusnya memang dibuat lebih ramping. Jumlah kementerian di pemerintahan mendatang idealnya tak lagi mencapai jumlah maksimal yang diatur dalam UU Kementerian Negara.
Salah satu alasannya, di era otonomi daerah seperti saat ini, banyak urusan pemerintahan yang sudah diserahkan kepada pemerintah daerah. Apalagi, pemerintahan sekarang juga telah mengikuti tren digitalisasi dengan pemanfaatan teknologi informasi sehingga idealnya kabinet lebih sederhana.
Di luar itu, menurut Eko, ruang fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu hanya 17 persen. Sisanya lebih banyak dipakai untuk anggaran rutin, seperti belanja pegawai. Dengan ruang fiskal yang terbatas itu, idealnya kabinet juga lebih ramping agar lebih banyak anggaran digunakan untuk program pembangunan dan kepentingan masyarakat. Kualitas pelayanan publik harus lebih meningkat dengan tantangan di masa depan yang tidak mudah.
Perlu disempurnakan
Sebelumnya, muncul usulan dari Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) bahwa kementerian idealnya berjumlah 41. Masih banyak urusan pemerintahan dalam UUD 1945 yang belum terwadahi di dalam kementerian menjadi pertimbangan APHTN-HAN mengusulkan penambahan tersebut.
Namun, penambahan kementerian itu harus melalui revisi UU Kementerian Negara. Sebab, UU tersebut telah membatasi jumlah maksimal kementerian sebanyak 34.
Baca juga: Penyusunan Kabinet Prabowo-Gibran Diharapkan Bukan Didasarkan pada Politik Dagang Sapi
Sementara itu, di DPR, hingga saat ini, belum ada pembahasan mengenai revisi UU Kementerian Negara meski sebenarnya RUU Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengungkapkan, keputusan memasukkan RUU Kementerian Negara ke dalam Prolegnas 2020-2024 sebenarnya sudah sejak awal periode masa jabatan anggota DPR 2019-2024. Kala itu, DPR sepakat bahwa UU Kementerian Negara perlu disempurnakan mengingat UU tersebut sudah tidak direvisi lebih dari 10 tahun.
Untuk itu, menurut Doli, dimungkinkan sekali dan sangat wajar jika saat ini UU Kementerian Negara direvisi. Sebab, kementerian dan lembaga ke depan harus menyesuaikan dengan perkembangan dan tantangan zaman, bukan hanya untuk sekarang, melainkan 5-10 tahun ke depan.
”Tantangan yang dihadapi Indonesia, kan, makin dinamis. Dan sekarang, RUU ini sudah menginjak 16 tahun, tentu harus ada penyesuaian-penyesuaian,” ucap Doli.
Doli tak menutup kemungkinan RUU Kementerian Negara dibahas di dua sisa masa sidang ini. Masa jabatan anggota DPR sekarang baru berakhir pada Oktober 2024. Namun, kepastian pembahasan RUU ini tergantung pada dua hal. Pertama, urgensi pembahasannya. Kedua, kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR.
”Kan (masa jabatan) kami masih sampai Oktober. Kami masih punya enam bulan. Saya kira kalau memang semua (DPR dan pemerintah) sepakat dan penting agar (UU Kementerian Negara) di-update, menurut saya, waktunya cukup,” tutur Doli.
Ia berharap upaya merevisi UU Kementerian Negara perlu dilihat secara obyektif. Artinya, upaya merevisi UU ini jangan hanya dilihat untuk mengakomodasi kepentingan politik, tetapi lebih pada menyusun ulang struktur lembaga dan kementerian yang paling ideal ke depan.
”Mungkin kita perlu mengkaji (UU Kementerian Negara) lagi. Ini sudah 16 tahun lho struktur lembaganya sama, sementara tantangannya berbeda,” kata Doli.
Komisi II DPR pun, kata Doli, siap membahas RUU ini. ”Seharusnya pembahasan UU itu memang diserahkan ke komisi-komisi yang terkait dengan urusannya. Biasanya yang mengurusi pemerintahan seperti ini, kan, Komisi II,” ucapnya.
Soal dorongan agar pemerintah ke depan membentuk kabinet yang ramping, Doli kurang sependapat. Publik, menurut Doli, harus melihat banyak atau tidaknya jumlah kementerian ke depan dengan didasari kebutuhan tantangan ke depan.
”Kita tidak bisa hitung jumlahnya berapa sekarang, berkurang atau bertambah, kan belum tahu juga. Nanti akan kami buat kajian dan naskah akademiknya dulu,” tuturnya.