Gelak Tawa di Ruang Sidang MK, dari Guyonan Disetrap hingga Suara Siluman
Tak melulu serius dan tegang, suasana sidang sengketa pemilu di MK pun bisa pula menggelikan. Seperti apa?
Waktu menunjukkan pukul 07.59 WIB saat Hakim Konstitusi Saldi Isra, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani memasuki ruang sidang perselisihan hasil pemilihan umum legislatif di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (3/5/2024). Saldi yang didapuk sebagai ketua panel 2 langsung memulai persidangan untuk delapan perkara yang telah dijadwalkan berlangsung pada sesi pertama pagi itu.
Sebelum memulai persidangan, Saldi meminta seluruh pihak yang beperkara untuk memperkenalkan diri. Perkenalan dimulai kuasa hukum dari pemohon di setiap perkara, termohon atau dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), pihak terkait, serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sidang akhirnya tetap dimulai meski ada sebagian kuasa hukum dari pemohon dan KPU belum hadir.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Namun, saat panel hendak memeriksa perkara nomor 78 atau perkara ke-2, tiba-tiba salah satu kuasa hukum pemohon menyela majelis, ”Mohon izin, Yang Mulia.”
Saldi pun bertanya, siapa yang meminta mohon izin tersebut.
Baca juga: Sengketa Pilpres Usai, Sengketa Pileg Dimulai
Setelah dipersilakan berbicara, Heriyanto, kuasa hukum calon anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Partai Kebangkitan Bangsa dari daerah pemilihan (dapil) Papua Barat, Sius Dowansiba, pun menjawab. “Mohon izin, Yang Mulia, kuasa hukum pemohon 117, Yang Mulia. Mohon maaf terlambat, Yang Mulia,” ujarnya.
Saldi pun langsung mengingatkan agar tidak terlambat lagi sebab persidangan sudah dimulai dan waktu telah menunjukkan pukul 08.17 WIB. ”Nanti enggak boleh lagi terlambat, ya. Kalau terlambat terus, susah kita. Nanti disetrap, pakai push-up,” katanya.
Baca juga: Humor yang Menjadi "Brand"
Sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) legislatif di MK yang berlangsung sejak Senin (29/4/2024) selalu dimulai tepat pukul 08.00 WIB. Tiga panel yang masing-masing dipimpin Ketua MK Suhartoyo, Wakil Ketua MK Saldi Isra, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat selalu memulai persidangan dengan mengabsen seluruh pihak yang hadir.
Nanti enggak boleh lagi terlambat, ya. Kalau terlambat terus, susah kita. Nanti disetrap, pakai push-up.
Tak hanya dari pihak pemohon, Hakim Konstitusi Saldi pun memperhatikan kuasa hukum dari para termohon untuk perkara masing-masing. Ia sangat jeli memperhatikan satu per satu kuasa hukum KPU untuk setiap kasus. Termasuk jika ada kasus yang kuasa hukum dari KPU belum datang ke persidangan.
”Masih ada satu nomor yang belum ada kuasanya, perkara nomor 88 dari KPU. Belum, ya? Mudah-mudahan segera hadir. Ini kalau agak telat dari komisionernya bisa dikurangi honornya,” kelakar Saldi, diiringi gelak tawa para pihak yang ada di ruang sidang.
Situasi relatif sama terjadi di panel 3 yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat. Jika Saldi mengingatkan pihak yang terlambat untuk push-up, Arief punya punchline yang berbeda. ”Kalau di negara Konoha, ditembak mati jika telat,” ujar Arief.
Ia juga selalu mengingatkan agar para pihak tidak sering keluar masuk ruang persidangan. Jika ada yang ingin ke toilet, agar dilakukan satu per satu dan tidak bersamaan. Intensitasnya pun diingatkan agar tidak terlalu sering.
Baca juga: Jangan Tahan Buang Air Kecil jika Tak Mau Terkena Infeksi Saluran Kemih
Setengah jam kemudian, tiba-tiba ada yang meminta izin. ”Izin, Yang Mulia,” kata salah satu kuasa hukum.
Arief pun bertanya, ”Apa?”
”Izin ke luar,” kata kuasa hukum tersebut.
”Oh iya. Ngaget-ngagetin (membuat kaget) saja. Saya kira huru-hara itu,” kata Arief sembari tertawa yang diikuti para peserta sidang lainnya.
Merasa geli karena ada kuasa hukum meminta izin keluar ruang sidang sembari menginterupsi proses persidangan, Arief pun kemudian menjelaskan. ”Izin itu cukup dengan menundukkan (kepala) saja. Enggak usah ngomong. Ini kayak murid SD saja izinnya. Ngagetin,” kelakar Arief.
Barangkali Arief paham dirinya bakal kewalahan jika setiap peserta sidang yang akan keluar ruangan meminta izin dengan cara menginterupsi persidangan. Apalagi jumlah peserta sidang relatif banyak. Jika satu per satu menginterupsi, ia harus menjawab begitu banyak permintaan izin keluar ruangan.
Baca juga: MK Mulai Sidangkan Sengketa Pileg, Tiga Panel Hakim Disiapkan
Beda ceritanya jika hakim yang ingin ke toilet. Jika kuasa hukum pelapor, terlapor, pihak terkait, ataupun Bawaslu izin ke toilet sidang tetap dilanjutkan, persidangan langsung diskors jika ada hakim yang ingin ke toilet.
”Para pihak, baik pemohon, pihak terkait, dan termohon. Ini ada kepentingan yang tidak dapat diwakilkan. Karena harus ke toilet. Dan, di persidangan tidak disediakan kateter. Jadi, terpaksa harus ke toilet. Maka (sidang) diskors lima menit,” tutur Arief saat jarum jam menunjukkan pukul 14.59 WIB.
Suara siluman
Hakim Konstitusi Arsul Sani juga tak ketinggalan untuk mengeluarkan punchline saat sidang. Alhasil, suasana sidang yang rata-rata berlangsung selama tiga jam dalam satu sesi itu menjadi cair. Sengketa hasil pileg untuk memperebutkan kursi terakhir di berbagai tingkatan legislatif itu pun akhirnya jauh dari kesan menyeramkan.
Pergeseran raihan suara menjadi tema utama dalam persidangan PHPU legislatif yang digelar sejak awal pekan lalu. Kebanyakan para pemohon mendalilkan adanya pergeseran suara yang terjadi pada penghitungan di tingkat kecamatan.
Baca juga: Rekapitulasi Suara di Kecamatan Rawan Kecurangan
Terkadang, pemohon mendalilkan partai tertentu mendapat tambahan suara ratusan, termasuk mengambil suara dari pemohon. Namun, ketika ditanya lebih jauh tambahan suara tersebut berasal dari mana saja, para pemohon tidak mampu menjelaskan.
Hal semacam ini terjadi pada perkara 78 yang disidangkan Jumat (3/5/2024) pagi. Ketika itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani yang jeli mencoba memperjelas dalil pergeseran suara.
”Pemohon, klarifikasi sedikit nih. Ini, kan, dalam tabel satu yang Saudara paparkan di permohonan halaman 6, Perindo mendapatkan tambahan suara 772, sementara Golkar berkurang 11. Nah, pertanyaan saya, tahu enggak ini yang 772 ini diambil dari mana? Karena yang dikurangi, kan, cuma 11, kecuali yang dikuranginya 772 langsung tahu kita. Tahu enggak datanya?” tanya Arsul.
Baca juga: Fenomena Pencurian Suara lewat Pemindahan Suara ke Partai
Kuasa hukum Partai Golkar, Albertus, pun gelagapan dibuatnya. ”Nanti dilihat di bukti, Yang Mulia.”
Arsul kembali bertanya, ”Saat ini tidak tahu?”
”Ya, di bukti akan kita lampirkan,” ujar Albertus.
Arsul pun tak kehilangan kata-kata. Ia lantas melanjutkan, ”Karena kalau ini tidak diambil dari sini, berarti, kan, ada suara siluman. Kan, begitu.”
Albertus hanya mampu mengiyakan kata-kata Arsul.
Kesempatan itu pun dimanfaatkan mantan Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan tersebut untuk mengingatkan kepada pemohon dan kuasa hukumnya untuk sebaiknya bisa memaparkan pergeseran suara yang terjadi, asal-usul, dan tujuan bergesernya.
Beda lagi dengan kuasa hukum perkara 123, Hanfri Pieter Poae. Ia merupakan kuasa hukum dari calon anggota legislatif untuk DPRD Kabupatan Fakfak dari Partai Perindo untuk Dapil Fakfak 3.
Baca juga: Suara Papua Menutup Rangkaian Rekapitulasi Nasional Pemilu 2024
Hanfri dengan suara berapi-api menerangkan, telah terjadi penambahan suara untuk sejumlah partai di Dapil Fakfak 3 termasuk ke Perindo yang masuk ke caleg nomor urut 1, yakni 36 suara. Hanfri menjadi kuasa hukum untuk caleg nomor urut 3.
Bahasa sederhana
Menurut Hanfri, caleg Perindo yang mendapat limpahan suara tambahan tersebut masih merupakan saudara kandung dari Ketua KPU Kabupaten Fakfak. ”Kasihan kalau demokrasi kita dibikin begini. Apalagi ini Papua, Yang Mulia. Ini permainannya terlalu sadis,” ucapnya.
”Bahasanya yang sederhana-sederhana saja. Yang penting informasinya ke kami, kan. Sampaikan yang baik-baik caranya, gitu, ya,” kata Saldi.
“Iya, Yang Mulia. Karena sampai mengubah plano itu bahaya sekali,” kata kuasa hukum itu.
Saldi pun dengan sabar menasihati, ”Ya, kan, sudah disampaikan.”
Hanfri pun menyebut KPU Kabupaten Fakfak terlalu lincah. Mereka bisa membagi-bagi rata suara ke sejumlah partai, tetapi Hanfri mengklaim berhasil menemukan praktik tersebut.
Jumpa pengagum
Sidang sengketa PHPU legislatif ternyata juga bisa menjadi sarana untuk bertemu dengan orang yang dikagumi. Hal ini terjadi pada Najamuddin, kuasa hukum Partai Keadilan Sejahtera, saat sidang pada Kamis (2/5/2024) di panel 2.
”Tapi, pada prinsipnya, sejujurnya Yang Mulia, dari hati yang dalam, saya pribadi adalah pengagum Prof Saldi Isra,” kata Najamuddin di sela-sela membacakan permohonan.
Ucapan Najamuddin tersebut memecah kesunyian di ruang sidang. Tawa riuh memenuhi ruangan sehingga suasana sidang untuk memperebutkan kursi anggota legislatif itu menjadi cair. Sementara itu, Saldi Isra hanya mampu mengucap, ”Waduh,” saat mendengar pengakuan Najamuddin tersebut.
Baca juga: Saat Kuasa Hukum Caleg Kagumi Saldi Isra dan Arsul Sani di MK...
Selain kepada Saldi, Najamuddin juga mengaku kagum dan sering melihat Hakim Konstitusi Arsul Sani. ”Saya sering nonton beliau di Komisi III DPRD provinsi,” kata Najamuddin, salah menyebut Komisi III yang seharusnya Komisi III DPR.
Beda lagi di panel 2 yang dipimpin Arief. Di hari yang sama, dalam sebuah sesi, terjadi perebutan mikrofon atau saling mendahului siapa yang hendak bicara antara pemohon prinsipal, Masturoh (Partai Nasdem), dan kuasa hukumnya, M Daud, dalam perkara 266.
Sejak awal, Daud lebih dominan bicara menyampaikan permohonan dan berdialog dengan hakim. Di tengah-tengah dialog Arief dengan Daud, tiba-tiba Masturoh menyalakan mikrofon dan berbicara, ”Izin, Yang Mulia.”
Baca juga: Ting Tung! Maaf, ”Suara” Anda Kami Matikan…
Arief pun kemudian menanyakan siapa yang mau berbicara karena dua-duanya, baik prinsipal maupun kuasa hukum, sama-sama menyalakan mikrofon dalam waktu yang berbarengan. ”Ini, kok, nyala semua, yang ngomong siapa?” tanya Arief.
Mendengar hal tersebut, Daud pun menjelaskan bahwa prinsipal akan menyampaikan kejadian yang sesungguhnya dialami kepada majelis hakim. Masturoh kemudian berbicara, yang oleh Arief diberi kesempatan 1 sampai 2 menit. Ia kemudian bergantian dengan Daud yang kemudian membacakan petitum permohonan.
Momen ini tak lepas dari candaan Arief. Menurut dia, jika keduanya menyampaikan peristiwa secara bersama-sama, akan seperti duet penyanyi. ”Kalau duet, nanti kayak Lyodra sama kamu nanti,” kelakar Arief sembari tersenyum lebar.
Baca juga: Canda, Tawa, dan Kritik, Eh Kena!
Meskipun MK menjadi jalan terakhir bagi parpol dan caleg untuk mencari keadilan, sidang sengketa hasil pileg tak selalu menakutkan. Para hakim konstitusi melalui beragam punchline mampu membuat situasi persidangan yang serius menjadi tidak membosankan.