Pemerintahan Baru, Momentum Perbaikan Menyeluruh Regulasi Pemilu
Revisi UU Pemilu tak sebatas untuk menindaklanjuti putusan MK, tetapi guna memperbaiki seluruh aturan main pemilu.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat mendorong agar revisi Undang-Undang Pemilu dilaksanakan di awal pemerintahan eksekutif dan legislatif yang baru. Revisi tidak hanya dilakukan untuk menindaklanjuti catatan perbaikan dari putusan Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil pilpres,tetapi juga untuk menindaklanjuti berbagai putusan uji materi Undang-Undang Pemilu dan hasil evaluasi berbagai pihak terhadao pelaksanaan dua kali pemilu terakhir.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, berbagai catatan perbaikan Mahkamah Konstitusi dalam perkara sengketa hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 meneguhkan kebutuhan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (pemilu). Sebab dalam putusannya, mahkamah memberikan berbagai catatan perbaikan yang harus ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang dengan merevisi UU Pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
"Perbaikannya tidak hanya sebatas catatan MK, tetapi juga untuk menindaklanjuti putusan-putusan uji materi UU Pemilu dan evaluasi pelaksanaan pemilu dari berbagai pihak," ujarnya seusai penetapan capres-cawapres terpilih di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Rabu (24/4/2024).
Menurut dia, revisi perlu dilakukan secara menyeluruh untuk memperbaiki aturan main pemilu. Sebab, ada beberapa isu lain yang perlu ditindaklanjuti dalam revisi UU Pemilu, di antaranya putusan MK terkait ambang batas parlemen dan penyusunan daerah pemilihan (dapil). Putusan soal ambang batas parlemen bahkan meminta pembentuk undang-undang untuk merevisi ketentuan itu sebelum Pemilu 2029.
Di sisi lain, lanjut Doli, sejumlah tokoh juga memberikan masukan terhadap pelaksanaan pemilu. Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus calon presiden terpilih Prabowo Subianto menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia berisik dan melelahkan. Itu menjadi sinyal bahwa perlu penyempurnaan sistem pemilu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengeluhkan politik yang mahal.
Berbagai hal itu menunjukkan bahwa suara dari berbagai pihak menginginkan revisi UU Pemilu, termasuk ada kebutuhan untuk melaksanakan putusan dan pertimbangan hukum MK dari berbagai pengujian UU pemilu dan sengketa pilpres. Tinggal nantinya DPR dan pemerintahan periode berikutnya merencanakan untuk merevisi UU Pemilu.
”Awal periode itu adalah saat yang tepat untuk memperbaiki sistem pemilu karena jauh dari pelaksanaan tahapan pemilu sehingga revisi betul-betul obyektif dan punya cukup waktu untuk mengelaborasi, berkomunikasi dengan seluruh stakeholder bangsa dan negara," kata Doli.
Lebih jauh, Komisi II DPR juga telah menginventarisasi berbagai problem yang harus diselesaikan melalui revisi UU Pemilu. Catatan-catatan itu diperoleh dari implementasi UU pemilu pada dua kali pemilu terakhir.
Perbaikannya tidak hanya sebatas catatan MK, tetapi juga untuk menindaklanjuti putusan-putusan uji materi UU Pemilu dan evaluasi pelaksanaan pemilu dari berbagai pihak.
Menurut dia, ada lima isu klasik dan empat isu kontemporer dalam UU Pemilu. Kelima isu klasik itu adalah sistem pemilu, ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, besaran kursi per dapil, serta konversi suara menjadi kursi. Adapun empat isu kontemporer adalah keserentakan pemilu, digitalisasi, biaya politik yang mahal, serta pengaturan rezim pemilu dan pilkada.
Meski demikian, secara teknis, kata Doli, revisi UU Pemilu lebih mudah jika diusulkan oleh DPR. Sebab, pembahasan di seluruh fraksi di DPR dilakukan sejak awal sehingga sejumlah masalah sudah selesai sebelum diusulkan untuk revisi. Berbeda halnya jika diusulkan oleh pemerintah sehingga akan muncul banyak daftar inventarisasi masalah dari seluruh fraksi di DPR.
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, idealnya UU Pemilu yang baru bisa disahkan pada 2025 atau paling lambat awal 2026. Dengan demikian, kerangka hukum pemilu yang baru bisa digunakan untuk Pemilu dan Pilkada 2029. Selain itu, ada waktu yang cukup untuk mempersiapkan kapasitas penyelenggara dan sosialisasi kepada para pemangku kepentingan, baik peserta pemilu, pemantau, dan pemilih.
Menurut dia, UU Pemilu saat ini sudah sangat rapuh. Sebab, sangat banyak pasal-pasal yang sudah dibatalkan keberlakuannya oleh MK. Selain itu, UU Pemilu dan UU Pilkada adalah UU yang paling banyak diuji ke MK karena dianggap banyak tertinggal dari kondisi kontemporer pemilu saat ini.
Lebih jauh, kata Titi, revisi sebaiknya juga menyatukan kerangka hukum pemilu dan pilkada. Sebab dengan pengaturan yang berbeda seperti saat ini, membuat terjadi inkonsistensi dan disharmoni pengaturan pemilu dan pilkada untuk suatu kondisi hukum yang sama.
”Sudah saatnya pembentuk undang-undang mengodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah undang-undang yang sama. Dengan demikian, kerangka hukum pileg, pilpres, dan pilkada akan lebih terkonsolidasi dan tertib," tuturnya.