Silaturahmi Patriot Indonesia demi Merawat dan Meluruskan Sejarah Bangsa
Kelompok Patriot Indonesia bersilaturahmi secara berkala dalam ikhtiar mereka merawat dan meluruskan sejarah bangsa.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
Upaya menjalin tali silaturahmi di antara keluarga eks tahanan politik dilakukan oleh kelompok yang menyebut diri sebagai Patriot Indonesia. Sebagai pelaku sejarah, mereka berikhtiar untuk tetap merawat sejarah yang telah membentuk bangsa Indonesia.
Bertempat di sebuah rumah bercat putih, di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, pada Senin (15/4/2024), satu per satu tamu berdatangan. Rambut putih dan guratan di wajah sebagian besar orang yang datang menyiratkan tempaan hidup yang telah dijalani.
Sebagian dari mereka ada yang baru bertemu, sebagian lainnya telah beberapa kali berjumpa. Beberapa tamu yang hadir di antaranya Guntur Soekarnoputra, putra Presiden Pertama RI Soekarno; Nani Nurrachman Sutojo, putri Mayor Jenderal Anumerta Sutojo; Ilham Aidit, putra DN Aidit; serta Witaryono S Reksoprodjo, putra Setiadi Reksoprodjo, Menteri Listrik dan Ketenagakerjaan/Energi Kabinet Dwikora.
Tuan rumah acara, Sidarto Danusubroto, yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), mengaku merasa terhormat menjadi tuan rumah acara silaturahmi putra dan putri pahlawan revolusi serta putra dan putri tahanan politik dari peristiwa tahun ’65. Melalui pertemuan itu, Sidarto mengingat kembali lembaran pengalaman yang kini menjadi sejarah.
”Saya ingat, pada waktu itu, Mas Tok (panggilan akrab Guntur Soekarnoputra), bagaimana bertahan bersama putra dan putri Bung Karno. Saya dampingi di Wisma Yaso. Saya harus cari uang untuk keluarga Bung Karno,” kenang Sidarto.
Sidarto pernah mengemban tugas sebagai ajudan Presiden pertama RI, Bung Karno, pada 1967-1968 ketika ia masih mengemban tugas sebagai anggota kepolisian. Sidarto—dalam tugasnya sebagai Korps Bhayangkara—menuntaskan karya pengabdian sebagai Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat pada 1991.
Pertemuan itu tidak hanya membangkitkan kenangan. Bagi Nani, pertemuan itu mengingatkannya akan pengalaman turut serta menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR.
Regulasi terkait KKR tersebut, setelah diundangkan, kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, meski UU KKR dibatalkan, Nani berpandangan semangat rekonsiliasi tetap berjalan dan tidak dipermasalahkan.
Nani ingat, tidak berapa lama setelah peristiwa 1 Oktober 1965, putra dan putri Bung Karno, yakni Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, serta Guruh Soekarnoputra menelepon dan menyampaikan dukacita atas peristiwa penculikan dan pembunuhan Mayjen Sutojo. Bagi Nani, tindakan itu di luar dugaan, terlebih dalam situasi saat itu.
Dari pertemuan dengan keluarga korban peristiwa ’65, Nani menyadari, sebutan sebagai pihak yang kalah atau menang bukan disematkan oleh mereka yang menjadi korban. Meski demikian, di antara korban selalu terbuka ruang untuk menjalin komunikasi.
”Semangat rekonsiliasi ini saya rasakan karena di sini berkumpul generasi kedua dari peristiwa yang telah terjadi. Entah apa dan bagaimana yang terjadi di luar, saya kira embrio ini yang perlu dipelihara. Rekonsiliasi bisa terjadi asalkan kita terbuka dan membicarakannya dengan sikap yang beradab,” tutur Nani.
Pada kesempatan itu, kenangan atau pengalaman yang diceritakan tidak melulu ”serius”. Hadir bersama sang istri, Heni, Guntur atau Mas Tok ditodong untuk menceritakan pengalaman pertemuannya dengan sosok yang di kemudian hari menjadi pendamping hidupnya.
Mas Tok pun berkisah, dia pertama kali bertemu dengan Heni dalam sebuah acara di Bandung. Saat itu Mas Tok tengah menimba ilmu sebagai mahasiswa Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB). Meski saat itu Heni disebut tengah didekati banyak lelaki, akhirnya Mas Tok-lah yang berhasil mendapatkan hatinya.
”Saya ngejarNyonyah (Heni) ini 6 tahun. Hampir setiap malam minggu ngapel. Mulai dari naik skuter, Nissan patrol, sampai pinjam Impala ke Mega. Baru setelah 6 tahun (dijawab) yes. Saya menikah tahun 70 setelah (sebelumnya) tunangan 6 bulan,” tutur Mas Tok.
Sejarawan Asvi Warman Adam yang hadir dalam acara silaturahmi itu mengatakan, melalui pertemuan atau silaturahmi semacam itu, muncul pengalaman atau cerita yang selama ini belum terungkap. Sebab, mereka yang hadir merupakan tokoh sejarah yang juga sekaligus merupakan generasi kedua dari tokoh yang berkiprah dalam sejarah bangsa Indonesia.
”Dari pertemuan ini bisa didapat cerita sejarah tentang tokoh atau peristiwa yang dialami tokoh itu. Banyak hal yang mungkin bisa kita gali, termasuk cerita yang bersifat ringan,” kata Asvi.
Pada kesempatan itu, sejarawan Baskara Tulus Wardaya berpandangan, silaturahmi para generasi kedua dari beberapa tokoh penting di masa silam itu mengingatkan bangsa ini akan pentingnya aspek keberlanjutan dari sejarah sebuah bangsa. Alih-alih menempatkan sejarah hanya pada soal menang atau kalah menurut pihak tertentu, perjalanan bangsa saat ini merupakan kelanjutan dari perjalanan masa lalu.
”Ini menyadarkan kita pada kontinuitas. Itu penting untuk mengingatkan bahwa hasil kita saat ini merupakan hasil proses sejarah. Tidak tiba-tiba,” tutur Baskara.
Sejarah itu bernilai penting karena negara Indonesia lahir dari sejarah. Berbeda dari bangsa lain, Indonesia lahir dari sejarah kolonialisme. Nama Indonesia pun lahir dari suatu proses sejarah, bukan tiba-tiba muncul.
Patriot Indonesia
Menurut Witaryono, silaturahmi dalam rangka hari raya Idul Fitri semacam ini telah dilakukan sebanyak empat kali. Adapun pertemuan berkala sebagai kelompok yang menamakan diri sebagai Patriot Indonesia sudah dilakukan setidaknya tujuh kali.
Rekonsiliasi bisa terjadi asalkan kita terbuka dan membicarakannya dengan sikap yang beradab.
Kelompok Patriot Indonesia, kata Witaryono, bersifat silaturahmi untuk mengikat kembali tali persaudaraan. Nama Patriot Indonesia merupakan harapan agar generasi kedua atau putra dan putri para tokoh bangsa itu bisa mewarisi semangat orangtuanya.
”Terlepas dari pandangan politik atau aktivitas di masa lalu, yang jelas beliau para orangtua kita adalah pejuang yang berjuang bagi berdirinya Indonesia,” kata Witaryono.
Menurut Sidarto, melalui pertemuan semacam itu, diharapkan komunikasi dan tali silaturahmi yang selama ini sudah terjalin dapat tetap terjaga. Dengan demikian, jika diperlukan, satu dengan yang lain dapat saling membantu atau menolong.
Selain itu, kata Sidarto, pertemuan antara anak-anak tokoh bangsa inj diperlukan untuk merawat sejarah bangsa Indonesia. ”Termasuk untuk meluruskan sejarah,” ujarnya.