Mahkamah Rakyat Jadi Alternatif Saat Keadilan Pemilu Hadapi Jalan Buntu
Alternatif kian diperlukan saat kredibilitas institusi formal yang seharusnya menghadirkan keadilan pemilu diragukan.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
Mahkamah Rakyat bisa menjadi alternatif saat keadilan pemilihan umum menghadapi jalan buntu. Alternatif ini menjadi semakin diperlukan ketika institusi formal yang semestinya menghadirkan keadilan pemilu diragukan kredibilitasnya. Hal ini menjadi benang merah diskusi daring bertajuk ”Mahkamah Rakyat untuk Keadilan Pemilu, Perlukah?”, Senin (15/4/2024).
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi yang digelar, Senin (15/4/2024), sejarawan dan profesor riset Badan Risat dan Inovasi Nasional, Asvi Warman Adam; sejarawan dan aktivis perempuan, Fatia Nadia; Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid; pengajar di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Sri Lestari Wahyuningroem; dan anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Usman mengingatkan catatan anggota Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo serta penyalahgunaan kekuasaan yang akhirnya membolehkan anak presiden mencalonkan diri dalam Pemilu Presiden 2024. Hal ini disebutnya bukan pelanggaran hukum biasa.
Masalahnya, ini juga bersumber pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menurunkan syarat usia calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024. Putusan ini mengubah aturan main terkait syarat calon presiden/wapres ketika pencalonan sudah berjalan.
Kendati MK dalam putusan berikut mengembalikan syarat pencalonan sebagai kebijakan hukum terbuka, putusan ini berlaku untuk Pemilu 2029, bukan untuk Pemilu 2024. Perubahan aturan main di tengah jalan ini menunjukkan penyimpangan dari pemilu yang berintegritas.
Salah satu parameter pemilu berintegritas yang disusun Guru Besar Universitas Airlangga Surabaya Prof Ramlan Surbakti disebutkan oleh Titi. Parameter dimaksud ialah kerangka hukum yang demokratis dan menunjukkan kepastian hukum.
”Ketika institusi formal tidak diyakini mampu menghadirkan keadilan pemilu, Mahkamah Rakyat diperlukan,” kata Titi.
Sri Lestari Wahyuningroem menambahkan, model Mahkamah Rakyat ini bisa diterapkan ketika ada pembungkaman dan justifikasi atas kesewenang-wenangan negara. Ketika ada kebuntuan bagi masyarakat sipil yang kritis akibat perangkat hukum dan alat politik yang ada tidak cukup efektif, apalagi ketika ruang-ruang yang ada dikooptasi rezim penguasa, mekanisme pengadilan rakyat ini bisa menjadi alternatif.
Bukan pertama
Mahkamah rakyat untuk menangani kecurangan pemilu, menurut Titi, bukan sesuatu yang baru. Konsorsium yang terdiri atas 84 organisasi masyarakat sipil Malaysia Bersih pernah menginisiasi Mahkamah Rakyat (People’s Tribunal) untuk menangani kecurangan Pemilu 2013 di Malaysia. Salah satu anggota dalam Mahkamah Rakyat Pemilu Malaysia itu pakar pemilu dan Guru Besar Universitas Airlangga Ramlan Surbakti.
Ketika institusi formal tidak diyakini mampu menghadirkan keadilan pemilu, Mahkamah Rakyat diperlukan.
Hasil putusan dari Mahkamah Rakyat diakui tidak menggantikan hasil perangkat hukum formal. Sebab, Mahkamah Rakyat berangkat dari gerakan masyarakat sipil.
Namun, kata Titi, otoritas moral ini menjaga supaya masyarakat tidak hanya berpikir hari ini, tetapi pemilu ke depan. Memori kolektif terkait tahapan-tahapan pemilu dan harapan pemilu demokratis pun bisa dijaga.
”Bagaimana memelihara memori kolektif supaya kesewenang-wenangan tidak terus berlanjut. Institusi formal pun tidak terus sewenang-wenang karena masyarakat selalu hadir mengawasi,” ujar Titi.
Di sisi lain, Mahkamah Rakyat bisa menyatukan potongan-potongan gambaran yang selama ini terpisah-pisah dan membuat masyarakat melihat Pemilu 2024 secara menyeluruh. Hal ini sekaligus menjadi kontrol supaya masyarakat tak cepat mengalami amnesia dengan propaganda politik lainnya. Putusan Mahkamah Rakyat juga bisa memberikan rekomendasi untuk penyelenggaraan pemilu dan demokrasi Indonesia ke depan.
Model Mahkamah Rakyat yang dikenalkan Bertrand Russell pada 1966 ini, menurut Usman, bisa menjadi landasan sangat berharga bagi masyarakat sipil. Mereka adalah yang ingin mendapatkan keadilan ketika hukum dan keadilan melalui lembaga-lembaga resmi tidak lagi bisa diharapkan.
Bagaimana memelihara memori kolektif supaya kesewenang-wenangan tidak terus berlanjut. Institusi formal pun tidak terus sewenang-wenang karena masyarakat selalu hadir mengawasi.
Pengadilan sejenis untuk menggali pelanggaran HAM tahun 1965 di Den Haag, menurut Asvi, juga mendapat tanggapan pemerintah. Setelah putusan dibacakan pada 2016, pemerintah menyelenggarakan Simposium 65.
Tradisi rapat umum
Indonesia pun, menurut Fatia, memiliki tradisi serupa, yakni rapat umum rakyat sebagai bagian demokrasi deliberatif. Melalui rapat umum ini suara rakyat didengarkan dan bisa menjadi kebijakan.
Namun, forum ini dibungkam sejak 1965. Suara rakyat pun hanya ada dan diperlukan ketika pemilu saja.
Berbagai pelanggaran hak rakyat yang terjadi akhir-akhir ini berpuncak pada Pemilu 2024. Para akademisi di Yogyakarta pun menilai pengadilan rakyat diperlukan untuk membuat suara rakyat bisa didengarkan.
Namun, diakui ada tekanan-tekanan yang akhirnya membuat forum pengadilan rakyat diubah menjadi Rapat Umum Rakyat Menggugat Jokowi. ”Jadi, ini bagian dari sejarah dan kebiasaan rakyat Indonesia yang perlu dihadirkan kembali supaya suara rakyat didengarkan. Mari kita bentuk satu dewan rakyat yang diakui,” kata Fatia.