Keseriusan pemerintah bisa ditunjukkan melalui kepastian anggaran untuk penelitian, pengembangan, dan pengadaan ”drone”.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pesawat nirawak atau dronememegang peran yang kian strategis dalam sistem pertahanan suatu negara. Selain biaya produksinya yang murah, teknologinya juga mudah dibuat dan efektif untuk bermanuver pada target tertentu. Namun, pengembangannya di Indonesia masih butuh komitmen serius dari pemerintah.
Penggunaan drone dalam pertahanan negara memang telah berlangsung lama. Efektivitasnya kian tampak pada perang Rusia-Ukraina. Pada Minggu (14/4/2024), Iran pun meluncurkan ratusan pesawat nirawak Shahed-136 dan rudal ke arah Israel. Serangan itu menimbulkan kerusakan pada sejumlah fasilitas militer Israel.
Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis, berpandangan, banyak negara di dunia kini mengembangkan dan menggunakan pesawat nirawak secara masif. Teknologi drone ini menjadi pilihan strategis untuk memenuhi kebutuhan pertahanan nasional dalam aspek alat utama sistem senjata (alutsista).
”Selain biaya pembuatan yang lebih murah, secara teknologi (drone) mudah dibuat dan juga efektif untuk melakukan manuver pada target tertentu. Pesawat nirawak bisa menjadi pilihan strategis dalam jangka panjang bagi negara mana pun,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu.
Belajar dari serangan Iran ke Israel, lanjut Beni, drone yang digunakan memiliki kelemahan, yakni tidak ada teknologi siluman (stealth) dan lamban dari aspek kecepatan. Drone kamikaze Shahed-136 yang dipakai Iran sempat terkenal karena dipakai Rusia saat perang dengan Ukraina. Meski hanya memiliki kecepatan 185 kilometer/jam, pesawat nirawak itu mampu menjangkau jarak 2.400 meter.
Untuk itu, kata Beni, Iran hanya perlu meningkatkan kapabilitas pesawat nirawak buatannya dari segi kecepatan dan kemampuan siluman. Ini bisa didapatkan dari China yang juga mitra Iran dalam pengadaan alutsista.
Selain biaya pembuatan yang lebih murah, secara teknologi ( drone) mudah dibuat dan juga efektif untuk melakukan manuver pada target tertentu. Pesawat nirawak bisa menjadi pilihan strategis dalam jangka panjang bagi negara mana pun.
Sementara itu, menurut pandangan Beni, pengembangan pesawat nirawak di Indonesia belum optimal dan masih butuh waktu panjang untuk meningkatkan kapabilitasnya. Pengembangan drone nasional dinilai lebih fokus pada aspek intelijen, pengawasan, dan pengintaian (intelligence, surveillance, reconnaissance/ISR).
Fungsi intelijen dan surveilans merupakan kemampuan paling rendah dari pemanfaatan drone. Ini digunakan untuk mendapatkan informasi dengan kemampuan fotografik dan pemetaan di wilayah musuh. ”Artinya, pengembangan drone Indonesia masih perlu keseriusan dan komitmen dari pemerintah untuk mendukungnya,” kata Beni.
Dibutuhkan komitmen pemerintah
Di sisi lain, pengamat militer dan pertahanan dari Binus University, Tangguh Chairil, berpandangan, TNI Angkatan Udara saat ini memang memiliki dua skuadron pesawat nirawak di Pontianak, Kalimantan Barat, dan Natuna, Kepulauan Riau. Menurut rencana, TNI AU juga akan menambah dua skuadron lagi di Tarakan, Kalimantan Utara, dan Malang, Jawa Timur.
”Saya kira, Indonesia memang serius menempatkan drone dalam bangunan sistem pertahanan. Namun, komitmen pemerintah tetap dibutuhkan. Karena, misalnya, proyek pengembangan drone Elang Hitam yang awalnya untuk kebutuhan pertahanan dialihkan jadi untuk kebutuhan sipil,” terangnya.
Adapun Elang Hitam merupakan pesawat nirawak tipe medium altitude long endurance (MALE) yang dirancang dan dibangun oleh konsorsium Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Pertahanan, TNI AU, PT Dirgantara Indonesia, dan PT Len Industri. Pada September 2022, BRIN resmi mengalihkan proyek drone kombatan Elang Hitam dari platform militer ke versi sipil.
Menurut Tangguh, keseriusan pemerintah bisa ditunjukkan melalui kepastian anggaran untuk penelitian, pengembangan, dan pengadaan. Dukungan terhadap industri pertahanan dalam negeri juga perlu dibuktikan. ”Selain itu, pemerintah harus komitmen meningkatkan jumlah skuadron drone sesuai kebutuhan,” jelasnya.
Sejauh ini, lanjut Tangguh, drone tempur yang dimiliki Indonesia adalah CH-4B buatan China, drone intai Wulung produksi PT Dirgantara Indonesia, dan drone buatan Israel. Indonesia juga tengah memesan 12 unit pesawat nirawak Anka dari Turki.