Kubu Anies-Muhaimin Klaim Bisa Buktikan Pelanggaran TSM
Ahli yang dihadirkan pasangan Anies-Muhaimin mengungkapkan, ada hubungan positif antara bansos dan raihan suara.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kubu Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar mengklaim berhasil membuktikan 11 dalil kecurangan yang menjadi dasar permohonan digelarnya pemungutan suara ulang di seluruh tempat pemungutan suara. Pembuktian tersebut disampaikan dalam satu kali sidang dengan menghadirkan 8 ahli dan 11 saksi yang diajukan.
Delapan ahli yang diajukan memiliki sejumlah bidang keahlian, mulai dari ahli hukum pemilu Bambang Eka Cahya Widodo; Guru Besar Ilmu Hukum Administrasi Negara Ridwan, ahli ekonomi Universitas Indonesia (UI) Vid Adrison, Faisal Basri dan Anthony Budiawan; ahli otonomi daerah Djohermansyah Johan; ahli digital forensik Yudi Prayudi; serta ahli teknologi informasi Roy Suryo yang menyampaikan keterangan secara tertulis.
Kuasa hukum tim hukum Anies-Muhaimin, Bambang Widjojanto, mengungkapkan, pihaknya telah berhasil menerangkan sekaligus membuktikan 11 dalil dalam sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden, pada Senin (1/4/2024). Ahli yang dihadirkan diklaim telah sesuai dengan konstruksi permohonan yang diajukan.
Setidaknya ada tiga ahli ekonomi yang menerangkan bahwa bantuan sosial (bansos) yang disalurkan petahana memiliki pengaruh pada peningkatan suara. Bambang Widjojanto mengutip pendapat Vid Adrison yang sudah meneliti keterhubungan antara bansos dan perolehan suara sejak 2005.
”Hal yang membuat khas pemilu kali ini adalah calon wakil presiden merupakan anaknya presiden sehingga kebijakan politik ekonominya juga terpengaruh,” kata Bambang.
Ia menjelaskan, pertanyaan yang diajukan oleh tim hukum Prabowo dinilainya remeh serta tidak mampu mendekonstruksi dan mendelegitimasi argumen yang dibangun.
Vid Adrison, yang merupakan pakar ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, mengungkap tentang dampak bansos terhadap perolehan suara pasangan calon yang didukung oleh petahana. Bansos dapat diakui sebagai kebijakan pemerintah sehingga masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk menyangkal bantuan tersebut berasal dari pemerintah, bukan atas kerja masyarakat itu sendiri atau pihak lain.
”Ada hubungan positif antara jumlah bantuan dalam bentuk apa pun dengan perolehan suara,” kata Vid. Ia juga menilai, kunjungan Presiden Jokowi ke suatu daerah juga efektif untuk meningkatkan suara Prabowo pada 2024.
Masih menurut Vid, pemerintah bukan tidak boleh menyalurkan bansos mengingat program perlindungan masyarakat tetap harus dilaksanakan sebagai bukti nyata tanggung jawab negara. Namun, mengingat bansos berasal dari pajak yang dibayarkan masyarakat, diperlukan peraturan yang bisa mengurangi potensi penyalahgunaan bansos untuk meningkatkan perolehan suara kandidat yang didukung oleh petahana.
Kejanggalan bansos
Ahli ekonomi Faisal Basri dalam keterangannya juga menyampaikan adanya kejanggalan dalam pemberian bansos tahun 2024. Berpegang pada imbauan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak membenarkan penyaluran bansos dalam kurun tiga bulan sebelum pemilihan pejabat, ia menyayangkan hal serupa tidak diberlakukan selama pelaksanaan pilpres.
Ia juga menyoroti penyaluran bantuan El Nino yang dibagikan pada saat El Nino hampir mereda. Dalam paparannya, Faisal Basri menjelaskan, BMKG telah memprediksi terjadinya El Nino pada Juni 2023. Namun, bantuan pangan El Nino tersebut baru disalurkan pada November 2023 dan El Nino pun mereda pada Desember 2023. Pada Januari 2024, Kementerian Koordinator Perekonomian mengusulkan penambahan bantuan langsung tunai terkait El Nino.
Ada hubungan positif antara jumlah bantuan dalam bentuk apa pun dengan perolehan suara.
”El Nino sudah mereda, minta diperpanjang El Nino. Kenapa, sih, diperpanjang. Karena ingin diciptakan panggung-panggung baru itu. Tidak cukup digelontorkan lewat mekanisme yang ada, tapi harus ditunjukkan. Nih, yang ngasih pake seragam tertentu. Pesan tertentu. Dan sebagai-sebagainya. Jadi panggung-panggung yang diciptakan itu untuk menciptakan efektivitas bansos semaksimal mungkin,” ungkapnya.
Padahal, cuaca ekstrem tahun 2023 tidak lebih tinggi daripada tahun yang terjadi pada 2019-2021. ”Jadi nyata bahwa El Nino ini kebutuhan untuk meningkatkan suara. Only that, dari segi data itu. Ini yang sangat memilukan, dan seolah-seolah kita bodoh. Ramalan cuaca sudah di-support BMKG, BPS, dan BRIN dan sebagainya, jadi tidak dipercaya lembaga pemerintah sendiri,” tambahnya.
Dalam permohonannya, tim hukum Anies-Muhaimin mempersoalkan politisasi bansos yang mengakibatkan melonjaknya elektabilitas Prabowo-Gibran hingga 69 persen jika mengacu pada survei LSI. Pada Agustus 2023, keterpilihan Prabowo baru 24,6 persen. Namun, angka itu melonjak pada Desember 2023 menjadi 39,3 persen dan pada Februari 2024 menjadi 58,84 persen.
Begitu pula dengan kunjungan Presiden Jokowi yang dipetakan oleh tim hukum Anies-Muhaimin menyasar sembilan provinsi di mana perolehan suara Prabowo pada 2014 dan 2019 tidak tinggi. Kunjungan Jokowi di masa kampanye tersebut berhasil membuat suara Prabowo Gibran naik secara luar biasa dan tidak wajar.
Pencalonan
Dalam sidang pembuktian, tim hukum Amin juga mengajukan ahli pemilu Bambang Eka Cahya Widodo. Pengajar Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu menyoroti tindakan KPU membiarkan Gibran Rakabuming Raka mengikuti proses pendaftaran dan memverifikasi dokumen bakal pasangan calon. Menurut dia, tindakan itu merupakan bentuk kesengajaan terhadap pelanggaran dari prinsip kepastian hukum. Verifikasi terhadap Gibran dilakukan menggunakan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 atau yang belum direvisi disesuaikan dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memberi karpet merah bagi pencalonan Gibran.
Bambang Eka menegaskan, KPU seharusnya mengubah Peraturan KPU (PKPU) terlebih dahulu sebelum menerima pendaftaran Gibran. Dengan begitu, KPU tidak melakukan tindakan diskriminatif dengan menerima pendaftaran yang sebenarnya tidak memenuhi syarat yang tercantum dalam PKPU yang masih berlaku, yakni PKPU No 19/2023 yang mengatur usia minimal calon presiden/wakil presiden 40 tahun.
”Dengan demikian, KPU telah melanggar asas pemilu dan prinsip pemilu yang mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, dan penyelenggaraan harus netral,” ungkapnya.