PPP dan Kisah Sejumlah Parpol yang Tersisih dari Parlemen
Berkaca dari sejarah, belum ada parpol parlemen yang bisa kembali ke DPR setelah tereliminasi dari Senayan.
Berselang beberapa hari sebelum rekapitulasi suara hasil Pemilu 2024 ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, sejumlah elite Partai Persatuan Pembangunan sudah sibuk mempersiapkan gugatan terhadap hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Meski belum final, rekapitulasi suara sementara memperlihatkan tanda-tanda suara partai politik berlambang Kabah itu tidak sampai 4 persen dari total suara sah nasional, besaran ambang batas parlemen yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Para politisi parpol yang dideklarasikan sejak 1973 itu menduga, ada pencurian suara yang bisa berdampak PPP tak lolos ke Senayan. Apalagi, dalam beberapa pemilu terakhir, partai yang telah mengikuti 11 kali pemilu itu tak pernah gagal masuk ke DPR kendati survei sejumlah lembaga selalu memprediksi PPP bakal tak lolos ambang batas parlemen. Namun, prediksi itu kali ini tak meleset.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Hasil rekapitulasi suara oleh KPU menunjukkan, PPP memperoleh 5.878.777 suara atau 3,87 persen dari total suara sah nasional sebanyak 151.796.631 suara. Berdasarkan penghitungan internal, semestinya PPP lolos ambang batas parlemen, tetapi ada sekitar 150.000 suara yang hilang. Oleh karena itu, nasib PPP masih akan diperjuangkan di Mahkamah Konstitusi.
Perjuangan di MK menjadi pertaruhan yang sangat menentukan bagi PPP. Ini tidak hanya terkait nasib mereka pada 2024-2029, tetapi juga usaha PPP untuk meraih kursi DPR pada pemilu-pemilu berikutnya berpotensi bakal lebih berat. Sebab, berkaca dari sejarah, belum ada parpol parlemen yang bisa kembali ke DPR setelah tereliminasi dari Senayan.
Baca juga: Konversi Hasil Pemilu ke Kursi DPR Tunggu Sengketa di MK
Partai Bulan Bintang (PBB), misalnya, kembali gagal untuk keempat kalinya pada Pemilu 2024. Partai yang dipimpin politisi sekaligus ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra itu memperoleh 484.486 suara atau 0,38 persen dari total suara sah nasional.
Tak hanya di bawah ambang batas, persentase perolehan suara PBB juga turun dibandingkan Pemilu 2019 yang mencapai 0,79 persen. Penurunan itu sekaligus melanjutkan tren menurunnya suara parpol yang menjadi salah satu pengusung pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, dalam empat pemilu terakhir. Sejak Pemilu 2009, suara PBB terus anjlok mulai dari 1,79 persen, menjadi 1,46 persen pada Pemilu 2014, dan 0,79 persen pada Pemilu 2019.
Padahal, partai yang didirikan para era reformasi 1998 itu berhasil lolos ke parlemen pada pemilu pertama yang diikuti, yakni Pemilu 1999. Posisi tersebut juga berhasil dipertahankan pada Pemilu 2004. Namun, setelah gagal dalam pertarungan Pemilu 2009, PBB tidak pernah bisa masuk kembali ke parlemen sekalipun selalu menjadi parpol peserta pemilu.
Baca juga:
> PDI-P Berpeluang Kuasai Kembali Kursi Ketua DPR, Golkar Pantang Menyerah
> PDI-P Kuasai Kursi Ketua DPR, Pemerintahan Prabowo-Gibran Bakal Tak Selalu Mulus
Pola yang sama juga terjadi pada Partai Hanura. Partai yang didirikan oleh Panglima TNI 1998-1999 Wiranto pada tahun 2006 itu juga berhasil melewati ambang batas parlemen saat pertama kali mengikuti pemilu, yakni pada Pemilu 2009. Saat itu, Hanura meraih suara sebesar 3,77 persen dan mendapatkan 17 kursi di DPR. Hanura juga bertahan di Senayan pada Pemilu 2014, bahkan dengan perolehan suara yang meningkat, mencapai 5,26 persen, walaupun jumlah kursi di DPR turun menjadi 16 kursi.
Akan tetapi, cerita Hanura di DPR berhenti sejak partai yang dipimpin Oesman Sapta Odang itu memperoleh 1,59 persen suara pada Pemilu 2019. Pada Pemilu 2024, persentase suara Hanura pun turun hampir separuh dari raihan lima tahun lalu, yakni 0,79 persen.
Selangkah di belakang
Wakil Ketua Umum Hanura Akhmad Muqowam tidak memungkiri, berkontestasi di pemilu sebagai parpol nonparlemen lebih berat ketimbang sebagai parpol parlemen. Hal itu terutama karena parpol nonparlemen tak bisa berpartisipasi dalam proses legislasi atau pembentukan undang-undang. Padahal, proses legislasi merupakan ruang bersama antara rakyat dan pembentuk undang-undang untuk merumuskan kebijakan negara.
Tanpa keterlibatan dalam pembentukan undang-undang, kata Muqowam, berbagai gagasan ideal yang dimiliki parpol tidak bisa tersampaikan. Partai juga tak dapat ikut mengendalikan substansi legislasi. ”Cita-cita ideal kita seperti apa pun, kita tetap selangkah lebih mundur ketimbang partai-partai yang ada di parlemen,” ujarnya, dihubungi dari Jakarta, Jumat (22/3/2024).
Baca juga: Hasil Pemilu 2024 dan Perubahan Peta Kekuatan Politik di Parlemen
Calon anggota legislatif Hanura untuk daerah pemilihan Jawa Tengah I itu melanjutkan, anggota parpol nonparlemen juga tak memiliki akses seluas parpol parlemen saat mendekati pemilih di lapangan. Meski tak menjelaskan akses yang dimaksud, ia menekankan bahwa saat ini persepsi publik terhadap pemilu perlu dibenahi. Masyarakat telanjur memosisikan pemilu sebagai pesta demokrasi yang mengarah pada pendangkalan makna politik elektoral.
”Karena (dianggap) pesta lima tahun sekali, ya, ngasih duit lima tahun sekalilah. Yang ngasih duit yang menang,” ujar Muqowam.
Wakil Sekretaris Jenderal PBB Solihin Pure mengungkapkan, perbedaan mendasar bagi parpol nonparlemen dan parpol parlemen dalam berkontestasi adalah ketiadaan dana reses yang bisa digunakan. Dana reses biasa diberikan kepada anggota legislatif saat mereka turun ke daerah pemilihannya. Lebih dari itu, parpol nonparlemen juga tidak mendapatkan dana bantuan parpol yang disalurkan lewat Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol). Padahal, keberadaan dua jenis dana itu penting bagi parpol dan caleg saat berkampanye.
”Karena pemilu kita sistem terbuka, seluruh caleg bertarung di dapil masing-masing. Baik di internal (parpol), apalagi eksternal (antarparpol), pertarungannya sangat keras,” ujar Solihin.
Baca juga: Akhir Penantian Prabowo Subianto
Oleh karena itu, ia berharap, ke depan dana bantuan parpol tidak hanya diberikan kepada partai-partai yang lolos ambang batas parlemen. Menurut dia, dana bantuan juga perlu diberikan kepada semua peserta pemilu.
Bukan sorotan publik
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, membenarkan, meski punya rekam jejak menembus parlemen, tidak mudah bagi parpol-parpol nonparlemen untuk kembali. Dengan posisi di luar parlemen, mereka kehilangan sorotan publik atas kerja-kerja riil yang dapat dilakukan untuk masyarakat. Padahal, itu merupakan salah satu hal mendasar yang bisa menjadi pertimbangan publik memilih parpol.
”Bagi parpol parlemen, output yang mereka hasilkan, misalnya undang-undang dan anggaran, berdampak besar pada publik. Namun, bagi parpol nonparlemen, output yang dihasilkan belum tentu mengikat publik secara luas,” ujarnya.
Dari segi pendanaan, parpol-parpol nonparlemen juga dinilai memiliki sumber masing-masing. Akan tetapi, menurut dia, akses menuju sumber dana tersebut tidak seluas yang dimiliki parpol parlemen. Akibatnya, parpol-parpol tersebut kesulitan untuk menyolidkan konstituen sehingga para pemilih cenderung bergeser ke parpol lain.
Bagi parpol parlemen, ’output’ yang mereka hasilkan, misalnya undang-undang dan anggaran, berdampak besar pada publik. Namun, bagi parpol nonparlemen, ’output’ yang dihasilkan belum tentu mengikat publik secara luas. (Wasisto Raharjo Jati)
”Konstituen yang ditarget itu beririsan dengan parpol lain, terlebih parpol besar. Kondisi ini yang akhirnya membuat pemilih akan pragmatis, condong pada parpol besar, yakni parpol parlemen,” ujar Wasisto.
Dalam konteks tersebut, tambahnya, semakin sulit bagi parpol-parpol yang pernah tereliminasi dari DPR untuk menembus ambang batas parlemen yang terus naik dari periode ke periode. Pada Pemilu 2009, ambang batas parlemen masih 2,5 persen, tetapi naik menjadi 3,5 persen lima tahun berikutnya. Sementara pada 2019 dan 2024, ambang batas sudah di angka 4 persen.
Meski demikian, angin segar berembus dari Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan perkara 116/PUU-XXI/2023 mengenai ambang batas parlemen beberapa waktu lalu. Melalui putusan itu, MK meminta pembentuk undang-undang merevisi ambang batas parlemen 4 persen karena tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan pemilu. Salah satunya karena besarnya jumlah suara ”terbuang” yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.
Putusan dari MK itu membuka kemungkinan ambang batas parlemen lima tahun mendatang akan diturunkan. Kajian oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi menyimpulkan, ambang batas 1 persen suara sah nasional adalah yang ideal. Hanya, oleh MK, keputusan soal besaran ambang batas diserahkan kembali kepada pembentuk undang-undang sehingga berapa besarannya menanti keputusan pemerintah dan DPR.
Baca juga:
> MK Hapus Ambang Batas Parlemen 4 Persen, tapi Belum Berlaku di Pemilu 2024
> MK Nilai Angka 4 Persen Inkonstitusional, Berapa Ambang Batas Parlemen Ideal?
Sambil menanti keputusan tersebut, menurut Wasisto, mau tidak mau parpol yang tersisih dari parlemen harus memperkuat prinsip dasar untuk bisa meraih simpati publik di pemilu berikutnya. Misalnya, dari segi pemasaran politik dalam hal membangun citra partai. Platform ideologi dan organisasi juga perlu diperkuat.
”Juga pendanaan yang kuat untuk membiayai kerja-kerja politik mendekati massa pemilih di akar rumput,” ujarnya.
Ibarat kata pepatah, banyak jalan menuju ke Roma, banyak pula cara untuk bisa kembali ke Senayan. Kegagalan kali ini sebatas kemenangan yang tertunda. Jika menyerah, kemenangan sama sekali tak akan pernah digapai.