JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi melarang badan atau pejabat tata usaha negara mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali ke Mahkamah Agung terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sebab, pengajuan peninjauan kembali akan menyebabkan tertundanya waktu penyelesaian perkara.
Penyelesaian perkara yang berlarut-larut akan berdampak pada tertundanya eksekusi atau pelaksanaan putuan yang berpotensi pada pengingkaran keadilan sesuai dengan adagium justice delayed justice denied (terlambat memberi keadilan juga merupakan bentuk lain ketidakadilan).
Dalam putusan yang dibacakan pada Rabu (20/3/2024), MK menyatakan Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai ”Terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali oleh Badan atatu Pejabat Tata Usaha Negara”.
MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Rahmawati Salam, seorang ibu rumah tangga yang pernah menggugat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) ke PTUN Jakarta. Gugatannya dikabulkan sebagian oleh PTUN Jakarta, tetapi Menteri ATR/BPN mengajukan upaya hukum banding dan kasasi, tetapi ditolak Pengadilan Tinggi TUN dan juga oleh Mahkamah Agung.
Suasana saat majelis hakim konstitusi bersidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Dengan mendasarkan diri pada ketentuan Pasal 132 Ayat (1) UU Peradilan TUN yang berbunyi ”Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”, Menteri ATR/BPN itu mengajukan peninjauan kembali (PK).
Atas permohonan tersebut, MK dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Guntur M Hamzah menyatakan, tujuan pembentukan PTUN tidak hanya untuk melindungi hak perseorangan, tetapi juga masyarakat serta untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Keberadaan PTUN untuk mencegah badan atau pejabat TUN melakukan perbuatan sewenang-wenang dan merugikan masyarakat.
Biasanya, perkara TUN berakhir ketika putusan kasasi dijatuhkan dan pejabat atau badan TUN yang bersangkutan melaksanakan putusan itu secara sukarela.
”Apabila badan atau pejabat TUN yang kalah masih diberikan kesempatan, quad non untuk mengajukan PK sebagaimana diatur dalam norma Pasal 132 Ayat (1) UU 5/1986, hal itu menunjukkan bahwa badan atau pejabat TUN yang kalah tersebut telah menggeser keluar dari ’khitah’ eksistensi TUN sebagai instrumen perlindungan hukum bagi warga masyarakat,” kata Guntur.
Dengan demikian, hal itu akan kontraproduktif dan sesungguhnya tidak sejalan dengan tujuan awal pembentukan PTUN, yakni memberikan pelindungan kepada masyarakat terhadap perbuatan pejabat pemerintah yang merugikan warga.
”Baik karena pejabat tersebut melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, maupun karena bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai badan atau pejabat TUN,” kata Guntur.
Oleh karena itu, menurut MK, sebagai bentuk penguatan dan penghormatan, serta untuk mendorong kepatuhan terhadap putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap dan sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap warga masyarakat, permohonan PK dalam PTUN seharusnya diartikan hanya dapat dilakukan atau diberikan kepada seseorang atau badan hukum perdata.
MK menilai, pengajuan PK seharusnya tidak diberikan kepada pejabat atau badan TUN yang keputusan ataupun tindakannya menjadi obyek sengketa lalu dinyatakan kalah oleh PTUN .
Suasana saat Mahkamah Konstitusi menggelar sejumlah agenda sidang putusan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Menurut MK, memberikan kembali hak/wewenang kepada badan atau pejabat TUN untuk mengajukan PK justru bersifat kontraproduktif serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang intolerable bagi penggugat, dalam hal ini seseorang atau badan hukum perdata karena tertunda-tundanya waktu penyelesaian perkara, yang berdampak pada tertundanya eksekusi atau pelaksanaan putusan yang berpotensi pada pengingkaran keadilan itu sendiri sebagaimana adagium justice delayed justice denied.
”Dengan kata lain, tidak dibatasinya kewenangan badan atau pejabat TUN yang kalah untuk mengajukan PK, menurut Mahkamah, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan,” kata Guntur saat membacakan pertimbangan.
Dua hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Daniel Yusmic P Foekh. Ketua MK Suhartoyo mengungkapkan, isi dissenting opinion pada intinya adalah kedua hakim dimaksud tidak sependapat dengan MK yang mengabulkan permohonan ini. Seharusnya MK menolak permohonan tersebut.