Grace Natalie dan TGB Persoalkan Ambang Batas Parlemen
Perumusan keterwakilan di Pemilu 2029 mesti mengkaji fenomena ”suara terbuang” caleg dari partai yang tak lolos ambang.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah calon anggota legislatif dengan peraih suara terbanyak di daerah pemilihannya berpotensi gagal duduk di Dewan Perwakilan Rakyat karena partainya tidak lolos ambang batas parlemen. Jika benar tak lolos, jutaan suara masyarakat yang dititipkan melalui calon anggota dewan maupun partai tersebut pun akan terbuang sia-sia. Hal ini penting dikaji untuk merumuskan keterwakilan pada Pemilu 2029 mendatang.
Di Daerah Pemilihan (Dapil) DKI Jakarta III, misalnya, Grace Natalie dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memperoleh suara terbanyak dibandingkan calon anggota legislatif (caleg) dari partainya sendiri maupun partai lain. Grace mendapatkan 193.478 suara di dapil yang mencakup wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu, Kota Jakarta Utara, dan Kota Jakarta Barat itu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Bergeser ke dapil lainnya, Nusa Tenggara Barat II. Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi dari Partai Perindo meraih suara terbanyak di dapil yang meliputi Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Lombok Utara, dan Kota Mataram tersebut. Perolehan suara TGB sebanyak 182.024 suara.
Namun, meskipun Grace dan TGB meraih suara paling tinggi, keduanya belum mengantongi tiket ke Senayan. Pasalnya, partai tempat mereka bernaung, sampai Sabtu (16/3/2024), juga masih berjuang untuk bisa melewati ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4 persen dari suara sah nasional. Berdasarkan hasil hitung cepat Litbang Kompas, PSI baru memperoleh 2,80 persen suara dan Perindo 1,37 persen suara.
Grace Natalie saat dihubungi di Jakarta, Sabtu malam, mengatakan, suara yang hilang bukan hanya berasal dari konstituennya, melainkan juga jutaan suara dari partai-partai yang tak lolos ke parlemen. ”Yah, itulah konsekuensi dari parliamentary threshold,” ujar Grace.
Pada Pemilu 2019 ada sekitar 13 juta suara sah atau setara 10,7 persen suara yang tak terwakili di Senayan karena penerapan ambang batas parlemen. Pada Pemilu 2014, ada sekitar 3 juta suara, sementara Pemilu 2009 bahkan mencapai 19 juta suara.
Untuk Pemilu 2024, potensi jumlah suara yang akan terkonversi menjadi kursi di DPR lebih kurang 136 juta suara. Sisanya, 15,6 juta suara, kemungkinan besar akan berujung pada wasted votesatau suara-suara yang terbuang (Kompas.id, 19/2/2024).
Yah, itulah konsekuensi dari parliamentary threshold.
Oleh karena itu, menurut Grace, sejak lama PSI mengusulkan, daripada menerapkan ambang batas parlemen, lebih baik dibentuk fraksi khusus bagi anggota dewan yang lolos pemilu, tetapi partainya tidak masuk parlemen. Dengan begitu, suara rakyat tidak akan terbuang.
”Jadi, lebih baik menerapkan threshold untuk fraksi, seperti yang diterapkan di DPRD,” kata Wakil Dewan Pembina PSI itu.
Grace meyakini, jika fraksi khusus itu dibuat, perbedaan kepentingan di dalam fraksi bisa teratasi dengan komunikasi politik yang baik. Toh, menurut dia, perbedaan kepentingan antarfraksi juga biasa terjadi di Senayan.
Hal penting lain, lanjut Grace, adalah perlunya mengkaji secara komprehensif untuk merumuskan keterwakilan pada Pemilu 2029 mendatang. Hal ini salah satunya dengan menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 116/PUU-XXI/2023.
Putusan MK dimaksud meminta agar ambang batas parlemen dikaji kembali secara lebih proporsional dan rasional. ”Salah satu dasar pertimbangan putusan MK, kan, meminimalkan suara sah yang terbuang,” ucap Grace.
Dihubungi secara terpisah, TGB Muhammad Zainul Majdi mengungkapkan, kasus seperti dialami dirinya dan Grace, dengan peraih suara terbanyak dari seluruh caleg di seluruh partai kemudian tidak terkonversi menjadi kursi di DPR, tidak banyak bisa ditemui di dapil-dapil lain. ”(Hal) Ini karena ada parliamentary threshold sebesar 4 persen,” ujarnya.
Berkaca dari kasus ini, TGB sepakat dengan Grace. Menurut dia, fenomena suara terbuang ini perlu menjadi bahan kajian yang penting untuk merumuskan keterwakilan pada Pemilu 2029.
Menurut TGB, Putusan MK Nomor 116 terkait parliamentary thresholdyang meminta untuk segera dilakukan kajian lebih rasional perlu memasukkan kasus-kasus seperti ini.
”Bagaimana mungkin kedaulatan rakyat yang merupakan nilai tertinggi dalam demokrasi—dan itu direpresentasikan di bilik suara berupa pilihan dari para voters—itu kemudian seakan-akan tidak bernilai apa-apa di depan sistem yang ada sekarang,” tegas TGB.
Untuk itu, TGB berharap, hasil Pemilu 2024 menjadi bahan yang penting untuk perbaikan sistem pemilihan ke depan. Hal yang dimaksud lebih baik adalah lebih proporsional dan juga lebih rasional. ”Jadi, proporsionalitasnya dapet, rasionalitasnya juga harus masuk. (Hal ini) Karena, sekali lagi, kedaulatan rakyat itu nilai yang tertinggi dalam demokrasi,” ujar Ketua Harian DPP Partai Perindo itu.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati berpandangan, fenomena suara terbuang ini memang salah satu dampak diterapkannya ambang batas parlemen. Dari penerapan ambang batas parlemen itu, ada partai yang tak lolos dalam penghitungan kursi. Padahal, Indonesia menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka di mana pemilih bisa memilih langsung calegnya.
”Tetapi, ketika partai dari caleg tersebut tidak lolos ambang batas, maka calegnya yang suaranya banyak ini tadi tidak bisa dapat kursi. Hal ini yang menyebabkan hasil pemilunya menjadi tidak proporsional karena banyak suara yang terbuang,” tutur Khoirunnisa.
Ia melihat, idealnya, semakin proporsional sistem pemilu di Indonesia, maka hubungan antara konstituen dan wakilnya juga semakin dekat. Namun, yang terjadi saat ini, hubungan tersebut semakin jauh karena penerapan ambang batas parlemen tadi.
Bagaimana mungkin kedaulatan rakyat yang merupakan nilai tertinggi dalam demokrasi-dan itu direpresentasikan di bilik suara berupa pilihan dari para voters-itu kemudian seakan-akan tidak bernilai apa-apa di depan sistem yang ada sekarang?
Khoirunnisa berharap, Putusan MK Nomor 116 dapat menjadi momentum untuk perbaikan soal penerapan angka ambang batas parlemen. MK, menurut dia, tidak mengatakan bahwa ambang batas harus dihapus, tetapi dihitung ulang dengan mempertimbangkan prinsip proporsionalitas.
”Jangan sampai semakin banyak suara masyarakat yang terbuang. Sehingga nanti pembentuk undang-undang tidak lagi menentukan angka ambang batas tanpa ada rasionalisasinya," ucap Khoirunnisa.