Mantan Bupati Bertumbangan, Caleg Petahana Dominasi Suara Terbanyak di Sulteng
Beberapa mantan kepala daerah di Sulawesi Tengah terancam gagal ke DPR karena perolehan suara mereka tergolong rendah.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah mantan wakil gubernur dan mantan bupati di Sulawesi Tengah terancam gagal melenggang ke Senayan, tempat anggota DPR bekerja. Pasalnya, perolehan suara para mantan kepala daerah itu lebih rendah ketimbang calon anggota legislatif petahana, anggota DPR yang kembali ikut berkontestasi dari dapil yang meliputi semua kabupaten/kota di Sulawesi Tengah.
Dari ratusan calon anggota legislatif (caleg) yang berkompetisi di daerah pemilihan (dapil) Sulawesi Tengah, tujuh di antaranya merupakan mantan kepala daerah. Mereka adalah Wakil Gubernur Sulteng 2016-2021 Rusli Baco Dg Palabbi dari Partai Amanat Nasional (PAN), Bupati Tolitoli 2011-2021 Mohammad Saleh Bantilan dari PAN, Bupati Banggai 2016-2021 Herwin Yatim dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Bupati Buol 2011-2021 Amirudin Rauf dari Partai Demokrat, dan Bupati Banggai 2011-2016 Sofhian Mile dari Partai Nasdem. Selain itu, Gubernur Sulteng 2011-2021 Longki Djanggola dari Partai Gerindra dan Bupati Morowali 2007-2018 sekaligus caleg petahana dari Partai Demokrat, Anwar Hafid.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Para mantan kepala daerah itu berkontestasi dengan ratusan caleg lain untuk memperebutkan tujuh kursi DPR dari dapil Sulteng.
Berdasarkan hasil rekapitulasi suara nasional untuk Provinsi Sulteng di KPU, Jakarta, Sabtu (16/3/2024), hanya dua dari delapan mantan kepala daerah yang mendapatkan suara terbanyak di antara semua caleg di partai masing-masing. Mereka adalah Longki Djanggola yang meraih suara terbanyak di Partai Gerindra dan Anwar Hafid yang meraup suara tertinggi di antara para caleg Partai Demokrat di dapil Sulteng.
Sementara itu, lima mantan kepala daerah lain terancam gagal lolos ke Senayan karena tidak mendapat perolehan suara terbanyak di partai masing-masing. Mereka adalah Rusli Baco Dg Palabbi, Mohammad Saleh Bantilan, Herwin Yatim, Amirudin Rauf, dan Sofhian Mile.
Lolos atau tidaknya caleg sebetulnya ditentukan lewat jumlah kursi yang diraih oleh partai politik pengusungnya. Di Sulteng, Partai Golkar mendapatkan suara terbanyak, yakni 330.971 suara, disusul Partai Nasdem (256.799 suara), Partai Demokrat (254.852 suara), Partai Gerindra (242.635 suara), PDI-P (136.625 suara), PAN (117.811 suara), Partai Kebangkitan Bangsa (101.659 suara), Partai Keadilan Sejahtera (100.727 suara).
Caleg dengan suara terbanyak dari Partai Golkar adalah Muhidin Mohamad Said (154.301 suara) dan Beniyanto (90.078 suara). Sementara yang lain adalah Nilam Sari Lawira dari Partai Nasdem (178.791 suara), Anwar Hafid dari Partai Demokrat (254.852 suara), Longki Djanggola dari Partai Gerindra (113.826 suara), Matindas Janusanti Rumambi dari PDI-P (62.814 suara), dan Sarifuddin Sudding dari PAN (43.318 suara).
Dari sejumlah caleg dengan suara terbanyak di tiap-tiap parpol, empat di antaranya merupakan caleg petahana. Mereka adalah Muhidin, Anwar Hafid, Matindas Janusanti, dan Sarifuddin Sudding.
Meski mendapatkan suara terbanyak, para caleg itu belum tentu lolos ke Senayan. Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, penghitungan perolehan kursi untuk tiap-tiap parpol menggunakan metode Sainte Lague. Menggunakan metode itu, suara parpol akan dibagi dengan angka 1, 3, 5, dan seterusnya. KPU akan menghitung perolehan kursi tiap-tiap parpol di dapil setelah rekapitulasi suara selesai.