Soeprapto, Legenda Bapak Kejaksaan yang Jadi Suri Teladan
Kejaksaan punya sosok Bapak Kejaksaan yang menjadi teladan yaitu Soeprapto. Sosok berintegritas tetapi kurang dikenal.
Kepolisian memiliki figur sentral Jenderal Hoegeng yang menjadi simbol integritas dan keteladanan. Mahkamah Agung juga mempunyai sosok Artidjo Alkostar yang dikenal dengan putusannya yang tegas. Korps Adhyaksa atau Kejaksaan sebenarnya juga punya tokoh panutan seperti itu. Sayangnya, figurnya belum banyak dikenal oleh khalayak.
Padahal, Kejaksaan telah memiliki Bapak Kejaksaan yaitu Soeprapto sejak tahun 1967. Soeprapto menjabat sebagai Jaksa Agung pada periode 1950-1959. Selama itu pula, profesionalitas kerjanya sebagai aparat penegak hukum teruji. Ujian pertama datang pada saat dia harus menangani Peristiwa Tiga Daerah di Brebes-Tegal-Pemalang di akhir tahun 1945.
Soeprapto lahir di Trenggalek pada 27 Maret 1897 sebagai anak dadi Raden Ngabehi Hadiwiloyo dan Raden Ajeng Oetari Hadiwiloyo. Dia bersekolah di Rechtsschool di Koningsplein Zuid 10 (sekarang Merdeka Selatan) Jakarta. Rechtsschool adalah sekolah hukum yang pertama didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1909.
Setelah lulus, tugas pertamanya adalah sebagai abdi hukum di Tulungagung, di pengadilan negeri yang wilayah kerjanya meliputi Trenggalek. Soeprapto wafat pada 2 Desember 1962 di Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta. Ia dimakamkan secara kenegaraan yang dilaksanakan oleh Garnisun Jakarta, di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata Jakarta Blok E Nomor 71.
Tak banyak dikenal
Kisah Soeprapto itu telah ditulis oleh Iip D Yahya dalam buku berjudul “ Jaksa Agung Soeprapto dan Sejarah Pertumbuhan Kejaksaan Republik Indonesia” yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada 2024. Lip meringkas perjalanan hidup tokoh fenomenal bagi dunia kejaksaan di Tanah Air itu.
Walaupun fenomenal, tetapi bisa dibilang Soeprapto juga tak banyak dikenal dan sedikit terlupakan dalam sejarah hukum kontemporer. Oleh karena itu, penulis menyusun buku itu untuk mengenalkan kembali sosok Jaksa Agung Soeprapto.
Walaupun fenomenal, tetapi bisa dibilang Soeprapto juga tak banyak dikenal dan sedikit terlupakan dalam sejarah hukum kontemporer.
Ditemui di acara Pencalonan Jaksa Agung Soeprapto sebagai Pahlawan Nasional di Kejaksaan Tinggi Jakarta, Kamis (14/3/2024) petang, Iip D Yahya mengatakan, ia sudah dua kali menulis buku tentang Soeprapto. Awalnya, sekitar tahun 2004, ia diminta oleh keluarga Soeprapto untuk menulis biografinya.
Ia yang saat itu kurang mengenal Soeprapto pun merasa kesulitan untuk mencari data-data pendukung. Namun, setelah riset sederhana melalui internet, akhirnya, dia memberanikan diri untuk memulai proyek tersebut.
Baca juga: Jaksa Agung Soeprapto, Abdi Hukum yang Terlupakan
"Tentu, saya pertama kali memanfatkan keluarga. Keluarga memiliki banyak foto tetapi datanya minim sekali. Banyak foto tetapi mereka tidak tahu konteks kegiatannya," kata Iip.
Selain Iip, turut hadir dalam acara peluncuran itu yaitu Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Narendra Jatna, Sejarawan Badan Riset dan Inovasi Nasional Asvi Warman Adam, Akademisi Fachrizal Afandi, serta aktivis hak asasi manusia Usman Hamid yang merupakan keluarga dari Soeprapto. Usman adalah cucu mantu dari Soeprapto.
Iip melanjutkan pencarian datanya ke Kejaksaan Agung. Namun, di Kejagung pun data tentang Soeprapto masih minim. Walakin, ia bertemu dengan beberapa orang yang menaruh perhatian pada Soeprapto di antaranya adalah Jaksa Tinggi Joko Mulyo yang dalam kasus-kasus yang ditangani juga merujuk pada kiprah Soeprapto. Sumbernya berasal dari dokumen pemberitaan kantor berita Antara.
Saya lalu mencari dokumen asli pemberitaan Antara itu ke kantor Arsip Nasional. Saya mendapatkan banyak data di Perpustakaan Nasional yang saat itu masih ada di Salemba.
"Saya lalu mencari dokumen asli pemberitaan Antara itu ke kantor Arsip Nasional. Saya mendapatkan banyak data di Perpustakaan Nasional yang saat itu masih ada di Salemba," bebernya.
Olah data
Di Perpustakaan Nasional, ia menemukan dokumen yang sangat lengkap dari tahun 1950-1960-an. Ia juga mendapatkan data linimasa dari Soeprapto dilantik menjadi Jaksa Agung sampai diberhentikan. Ia membaca dokumen setebal 70.000 halaman yang di antaranya berisi kasus-kasus hukum yang ditangani Soeprapto selama hampir 10 tahun.
"Akhirnya saya mengolah data itu yang kemudian menjadi buku ensiklopedia yang pertama tentang Soeprapto yang berisi 32 kasus besar. Namun, kendalanya, saya tidak bisa menemukan semua closing-nya. Kalau saya sebutkan kasus tetapi tidak ada ujungnya saya bisa digugat kan? Makanya saya terbatas beberapa kasus yang memang ada vonisnya," jelasnya.
Dari 32 kasus besar yang ditangani oleh Soeprapto, lanjut Iip, ada beberapa yang menurutnya paling menarik. Di antaranya adalah Peristiwa 17 Oktober 1952 di mana ada rencana kudeta militer terhadap Presiden Soekarno. Soeprapto yang orang sipil pun diperintahkan untuk merangkap menjadi jaksa militer sehingga pangkatnya setara jenderal dan bisa memanggil Mayor Nasution dan tokoh tentara lain yang terlibat di kasus itu.
Saking berintegritasnya dia susah dicari celah kelemahannya. Akhirnya, satu-satunya cara untuk menghentikan dia adalah dengan cara politicking.
Ada pula kasus Menteri Kehakiman Djodi Gondokusumo yang dianggap korupsi karena menerima uang pelicin yang digunakan untuk biaya partai. Saat itu, nilai uang yang dikorupsi memang tidak terlalu besar yaitu Rp 40.000. Namun, konflik kepentingan karena uang itu digunakan untuk biaya partai membuat Soeprapto tetap memproses kasus tersebut sampai bisa dibuktikan di pengadilan.
Iip menambahkan sosok Soeprapto juga mirip dengan Jenderal Hoegeng dan Artidjo Alkostar di mana dirinya tidak bisa disuap oleh pihak yang sedang berperkara. Anak-anaknya ia paksa untuk hidup sederhana. Pernah suatu ketika anaknya yang bernama Amelia diberi perhiasan oleh orang yang berkepentingan tetapi lalu diminta untuk dikembalikan.
"Saking berintegritasnya dia susah dicari celah kelemahannya. Akhirnya, satu-satunya cara untuk menghentikan dia adalah dengan cara politicking," tambahnya.
Suri teladan
Usman Hamid mengungkapkan di mata keluarga besar, Soeprapto adalah sosok kutu buku, pekerja keras, berprinsip, jujur, dan berintegritas. Selain terdidik dari sekolah, ia juga terdidik oleh segala buku termasuk sastra. Baginya, ilmu adalah yang utama dan buku adalah harta yang berharga.
Adapun, segala yang material menjadi nomor dua. Di tengah kesulitan ekonomi di era pendudukan Jepang misalnya, rasa sayang terhadap keluarganya tak membuatnya lalu menjadi pragmatis. Ia masih mau menggarap sawah.
Soeprapto juga merupakan penganut negara hukum sebagai prinsip. Karena berpegangan pada prinsip dan kesulitan memaksakan tunduk pada siapapun, Pak Prapto lantas dipecat secara hormat.
Dari sisi profesional, Soeprapto juga sosok positivis yang profesional dan berintegritas. Ia memiliki perspektif keadilan jender dalam hukum. Saat menangani kasus perempuan di Nusa Tenggara yang dihukum oleh adat karena karena meninggalkan suaminya yang main tangan misalnya, ia menilai hukuman itu tidak adil.
“Soeprapto juga merupakan penganut negara hukum sebagai prinsip. Karena berpegangan pada prinsip dan kesulitan memaksakan tunduk pada siapapun, Pak Prapto lantas dipecat secara hormat,” ujar Usman.
Usulan pahlawan nasional
Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Narendra Jatna menambahkan saat ini kejaksaan memang sedang mengajukan Soeprapto untuk menjadi pahlawan nasional. Ia menyadari bahwa di internal kejaksaan saja masih banyak yang belum mengenal sosok Soeprapto. Apalagi bagi masyarakat awam.
Padahal beliau yang memodernisasi kejaksaan yang tadinya kelasnya cuma tradisional hanya untuk pribumi dibuat lebih modern.
Hal itu disebutnya lantaran banyak buku-buku yang membahas kejaksaan dimulai di rentang waktu atau linimasa sekitar tahun 1990-an. Riset-riset mengenai sejarah kejaksaan juga baru dimulai sekitar tahun itu. Oleh karena itu, Soeprapto bisa dibilang memang terlupakan.
"Padahal beliau yang memodernisasi kejaksaan yang tadinya kelasnya cuma tradisional hanya untuk pribumi dibuat lebih modern. Dia juga memodernisasi penyidikan di bawah jawatan jaksa pusat yang pertama kali membuat mutasi nasional," tuturnya.
Pada saat Indonesia masih masa transisi setelah kemerdekaan, Soeprapto yang berjasa menyatukan lembaga kejaksaan demi bangsa Indonesia. Menurutnya, buku sejarah pertumbuhan kejaksaan yang ditulis oleh Iip D Yahya itu sangat penting dibaca oleh internal korps Adhyaksa maupun masyarakat luas.
"Tahun 1950 dengan segala kekurangannya, kejaksaan masih minim pegawai tetapi hak-hak asasi manusia lebih terjaga," katanya.
Baca juga: Jaksa Agung R Soeprapto, Menangkap Menteri hingga Banting Pintu
Ia juga mengatakan bahwa Soeprapto adalah orang yang memperjuangkan kesetaraan jaksa dengan aparat penegak hukum lainnya. Dulu, tidak semua orang bisa duduk bersama-sama karena ada kelas sosial di masyarakat. Orang-orang Belanda dan bangsawan atau priyayi memiliki hierarki yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat pribumi.
Namun, berkat jasa Soeprapto, jaksa bisa duduk setara dengan kepolisian dan kehakiman.
"Ini patut menjadi suri teladan bagi kita semua. Baik profesionalitas maupun sisi kemanusiaan yang beliau miliki. Ini hal yang menarik untuk dijadikan sebagai simbol perjuangan jaksa," paparnya.
Ia berharap perjuangan untuk menjadikan Soeprapto sebagai pahlawan nasional bisa berhasil pada tahun ini. Jika hal itu berhasil, Kejati DKI juga ingin membuat museum kecil untuk menata kembali sejarah kejaksaan secara lebih baik dan runut.