Presiden Jokowi Dituntut Meminta Maaf atas Pemilu Tak Demokratis
Dituding membiarkan Pemilu 2024 berlangsung penuh kecurangan, Presiden Jokowi dituntut minta maaf.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Presiden Joko Widodo dituntut untuk meminta maaf kepada masyarakat Indonesia. Penyebabnya, penyelenggaraan Pemilu 2024 yang dijalankan dalam periode kedua kepemimpinannya dinilai sebagai yang terburuk sejak Reformasi bergulir pada 1998 dan tidak demokratis.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas 48 organisasi masyarakat sipil dan 11 individu melayangkan somasi kepada Presiden Jokowi melalui surat di kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Kamis (7/3/2024). Ini adalah somasi kedua setelah somasi pertama yang dikirimkan pada 9 Februari lalu. Waktu itu, selain soal pemilu, somasi yang dikirim termasuk mempersoalkan pemberian pangkat bintang empat kehormatan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang juga calon presiden,
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Beberapa organisasi pendukung somasi ini antara lain YLBHI, Kontras, PBHI, Imparsial, Lokataru Foundation, Aliansi Jurnalis Independen, Safenet, Walhi Eknas, HRWG, Greenpeace Indonesia, Pusaka Bentala Rakyat, ELSAM, Jatam, dan LBH Jakarta.
”Kami menilai tidak ada itikad langkah-langkah korektif yang diambil Presiden Jokowi dalam hal memitigasi dan mencegah kecurangan pemilu yang kami dalilkan dalam somasi pertama,” ujar Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya di kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta.
Somasi ini dikirimkan karena Koalisi Masyarakat Sipil menemukan sejumlah kecurangan sejak prapemilu, mulai dari pernyataan Presiden Jokowi terkait cawe-cawe, pernyataan Presiden Jokowi boleh memihak dan berkampanye, hingga terlibatnya para menteri dalam sejumlah agenda kampanye. Keterlibatan para menteri ini tanpa disertai informasi publik mengenai status cuti menteri bersangkutan atau apakah menggunakan fasilitas negara.
Alasan kedua adalah pola kepemimpinan Presiden Jokowi yang tak bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, Presiden Jokowi juga dinilai sama sekali tidak aktif mencegah penyelenggaraan pemilu yang tidak profesional oleh KPU dan Bawaslu.
”Kami mencatat, setidaknya sampai hari ini ada empat pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua KPU Hasyim Asy’ari, yang ini juga harusnya sudah bisa direspons oleh istana, terutama sekali Pak Presiden untuk melakukan pemberhentian terhadap yang bersangkutan karena terbukti telah tidak kompeten dan tidak kapabel untuk melaksanakan tanggung jawab dan juga fungsinya sebagai ketua institusi yang melakukan penyelenggaraan pemilu 2024,” tutur Dimas.
Bawaslu pun dinilai kurang proaktif dalam menjalankan fungsi terutama dalam menerima aspirasi masyarakat terkait kecurangan, penggelembungan suara, penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang bermasalah, ataupun politisasi bansos.
Oleh karena itu, lanjut Dimas, pemilu kali ini dinilai yang terburuk pasca-Reformasi. Dalam somasinya, Koalisi Masyarakat Sipil pun menuntut Presiden Jokowi meminta maaf kepada seluruh rakyat atas keculasan dan tindakan nir-etika yang dilakukan selama proses pemilu. Koalisi juga meminta tindakan kesewenang-wenangan, menggunakan kekuasaan, serta menghalalkan segala cara untuk mengakselerasikan kepentingan politik Presiden beserta keluarga dan kelompoknya dihentikan.
Kerugian-kerugian materiil yang timbul karena kecurangan pemilu dan juga minimnya langkah Presiden melakukan koreksi dan juga pencegahan ini menimbulkan implikasi kerugian secara materiil di masyarakat.
Presiden Jokowi juga dituntut untuk memberi sanksi tegas kepada seluruh bawahannya yang terlibat dalam berbagai kecurangan dan ketidaknetralan, baik menteri, aparat TNI-Polri, maupun ASN. Perangkat negara lain, seperti Bawaslu, harus mengusut seluruh kecurangan yang terjadi secara tuntas, adil, dan transparan. Ketua KPU juga semestinya diberhentikan karena terbukti melanggar kode etik dalam pelaksanaan fungsi dan tugas yang mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi penyelenggara pemilu.
”Kami meminta Presiden memberikan tanggapan atas somasi ini dalam tujuh hari,” ucap Dimas. Menurut dia, jika pemerintah mengabaikan somasi, sejumlah langkah hukum akan diambil mulai dari gugatan administrasi melalui Ombudsman RI sampai gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan penguasa melalui jalur PTUN, bahkan gugatan perdata.
”Kerugian-kerugian materiil yang timbul karena kecurangan pemilu dan juga minimnya langkah Presiden melakukan koreksi dan juga pencegahan ini menimbulkan implikasi kerugian secara materiil di masyarakat,” ujar Dimas.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Koordinator Staf Khusus Presiden Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana tak menanggapi ketika ditanya mengenai somasi ini.