DPR Masih Kaji Putusan MK soal Ambang Batas Parlemen
Proses pengkajian putusan MK soal ambang batas parlemen oleh DPR masih panjang. Belum akan diputuskan dalam waktu dekat.
Petugas pertamanan menyirami bunga di taman depan Gedung Nusantara atau gedung kura-kura, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (14/8/2023).
JAKARTA, KOMPAS — DPR belum akan bersikap terkait putusan Mahkamah Konstitusi soal ambang batas parlemen dalam waktu dekat. Putusan itu masih dikaji oleh Badan Keahlian DPR. Bersamaan dengan itu, putusan masih harus melalui pembicaraan di fraksi-fraksi dan Komisi II DPR.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/3/2024), menyampaikan, setelah putusan MK terkait ambang batas parlemen dibacakan, pada 29 Februari lalu, Badan Keahlian DPR (BKD) telah ditugaskan untuk mengkaji putusan dimaksud. Maka, saat ini, BKD tengah mempelajari putusan tersebut. Hasil kajian nantinya akan diserahkan kepada fraksi-fraksi di DPR untuk jadi bahan masukan.
Bersamaan dengan itu, alat kelengkapan DPR yang mengurusi soal kepemiluan, yakni Komisi II DPR, juga akan membahasnya. Tak sebatas itu, sembilan fraksi di DPR pun akan membahasnya. Baru setelah itu semua tuntas, akan diputuskan sikap DPR secara keseluruhan.
Ia tidak menyebutkan kapan seluruh proses tersebut bakal tuntas. Yang jelas, DPR periode 2019-2024 sudah akan mengakhiri masa jabatannya pada akhir September mendatang atau dengan kata lain tersisa sekitar enam bulan lagi.
Baca juga:MK Hapus Ambang Batas Parlemen 4 Persen, tapi Belum Berlaku di Pemilu 2024
Untuk diketahui, dalam putusan MK terkait ambang batas parlemen, pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, diminta untuk merevisi ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Alasannya, ambang batas 4 persen tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan pemilu serta melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.
Selain itu, ketentuan ambang batas menyebabkan hilangnya suara rakyat atau besarnya suara pemilih yang tidak dapat terkonversi menjadi kursi di DPR. MK juga sepakat dengan pemohon gugatan, yakni Perludem, bahwa tata cara penentuan ambang batas parlemen dan besaran angka atau persentase ambang batas tidak berdasarkan pada metode dan argumen yang memadai.
Masih dalam putusan MK, ambang batas itu diminta segera diubah dengan mempertimbangkan, antara lain, desain untuk digunakan secara berkelanjutan. Kemudian, besaran angka harus diputuskan dengan tetap menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional. Selain itu, perubahan ambang batas juga harus ditempatkan dalam rangka penyederhanaan parpol.
Sementara dari pemetaan sikap fraksi yang dilakukan Kompas sepanjang Jumat hingga Selasa (1-5/3/2024), setidaknya lima dari sembilan fraksi partai politik di DPR keberatan jika ambang batas parlemen 4 persen diturunkan. Kelima parpol dimaksud adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Baca juga: MK Nilai Angka 4 Persen Inkonstitusional, Berapa Ambang Batas Parlemen Ideal?
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, ambang batas parlemen harus dilihat secara komprehensif antara sistem pemerintahan presidensial, sistem demokrasi, dan konsolidasi demokrasi. Semestinya konsolidasi demokrasi dilakukan secara berlanjut dengan menaikkan ambang batas parlemen secara bertahap sehingga penyederhanaan parpol secara demokratis pun bisa mencapai jumlah ideal.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, partainya juga memandang pentingnya angka ambang batas parlemen ditingkatkan. ”Dalam konteks penyederhanaan parpol, kami (Partai Golkar) pernah mengusulkan (agar naik) menjadi 5 persen. Itu batas toleransi. Di luar negeri ada yang ambang batas parlemennya 7 persen, 10 persen,” katanya.
Usulan itu sempat disampaikan dalam rapat Komisi II DPR di awal masa jabatan DPR periode 2019-2024. Kendati mengusulkan angka secara spesifik, Ketua Komisi II DPR itu mengatakan, angka tersebut tidak didapatkan secara metodologis. Usulan tersebut hanya didasarkan pada prinsip nilai tengah dari masukan-masukan yang disampaikan fraksi parpol lain.
Itu sudah cukup. Kalau boleh disebut sebagai ideologi partai, itu sudah cukup mewakili aliran-aliran yang ada di Indonesia. Dan, di level lokal pun sudah cukup mewakili 8-9 partai itu.
”Waktu itu kami moderat saja. Kan, kemarin (ambang batas parlemen dalam pemilu sebelumnya), mulai dari 2 persen naik ke 3,5 persen, kemudian naik ke 4 persen. Kemudian ada teman-teman yang mengusulkan 7 persen, 10 persen, nah kemudian kami (Partai Golkar) ambil saja angka yang moderat, yaitu 5 persen,” ujarnya.
Adapun menurut Wakil Sekretaris Jenderal PKB Syaiful Huda, tidak ada yang sia-sia selama ambang batas 4 persen diberlakukan. Semua parpol tetap terakomodasi. Parpol dengan suara yang kecil pun tetap bisa menyuarakan aspirasi rakyat melalui DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Ia menilai, putusan MK juga menunjukkan sikap Mahkamah yang tidak konsisten. ”Kalau ingin kita menguatkan sistem presidensial, harus ada parliamentary threshold (ambang batas parlemen) itu. Begitu parliamentary threshold ini dilanggar, artinya kita melemahkan sistem presidensial kita. Sistem presidensial kita itu kalau mau kuat harus ada pembatasan parliamentary threshold,” tutur Huda.
Senada, Wakil Ketua Majelis Syura PKS Hidayat Nur Wahid mengatakan, jika ambang batas parlemen diturunkan dari 4 persen lalu dibuat sangat longgar, itu tidak akan berjalan efektif dalam memperkuat parlemen dan parpol. Menurut dia, besaran ambang batas harus ditentukan dengan kajian ilmiah dan argumentasi yang tidak hanya rasional, tetapi juga demokratis.
Sebelumnya, Ketua DPP Partai Nasdem Saan Mustopa mengatakan, sistem pemerintahan presidensial harus disetarakan dengan sistem parlemen yang sederhana. Untuk mewujudkan itu, ambang batas parlemen masih dibutuhkan untuk menyederhanakan parpol. Besaran ambang batas yang ideal juga perlu dipikirkan karena menunjukkan representasi masyarakat di parlemen serta terkait dengan efektivitas negosiasi di parlemen.
Baca juga: Suara Terbuang Terpapas Ambang Batas Parlemen
Firman Noor
Kualitas partai
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, mengatakan, penerapan ambang batas parpol perlu dilihat sebagai upaya memaksa untuk bekerja di tengah masyarakat. Jika ambang batas terlalu rendah, kualitas partai menjadi taruhan. Sebab, tidak hanya partai berkualitas tinggi yang bisa lolos ke parlemen, tetapi juga yang sekadar mengikuti pemilu.
Menurut Firman, hal itu penting karena juga akan berdampak pada kinerja parlemen. Parpol yang mendapatkan jumlah kursi yang tak signifikan dibandingkan jumlah alat kelengkapan dewan bisa jadi bekerja tidak optimal.
Kendati demikian, Firman juga tidak setuju jika besaran ambang batas parlemen dinaikkan hingga angka yang terlalu tinggi. Itu akan menjadi gambaran riil tereduksinya aspirasi masyarakat. Sebab, belum tentu partai yang ada bisa benar-benar mewakili kepentingan banyak orang.
Baca juga: 15,6 Juta Suara Bakal ”Terbuang”, Pemilih Terpaksa Berpaling ke Partai Lain
”(Ambang batas 4 persen) itu sudah cukup. Kalau boleh disebut sebagai ideologi partai, itu sudah cukup mewakili aliran-aliran yang ada di Indonesia. Dan, di level lokal pun sudah cukup mewakili 8-9 partai itu,” ujarnya.