Antara Makna Kecurangan TSM, Keberanian MK Memutus dan Cacat Prabowo-Gibran...
Tim capres-cawapres Amin dan Gama siapkan uji materi kecurangan TSM. Apakah TSM,beranikah MK adili dengan dalil itu?
Tim hukum dua pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 dan 3, Anies Baswedan-Muaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, minggu-minggu ini sibuk untuk mengumpulkan bukti-bukti terjadinya kecurangan yang bersifat terstruktur, sistemtis, dan masif atau TSM dalam pelaksanaan Pemilu Presiden 2024. Bahkan, paslon nomor 3 membentuk tim khusus ”Tim Pembela Demokrasi dan Keadilan” untuk mengusut dugaan kecurangan tersebut. Tak main-main, tim tersebut dipimpin oleh dua advokat senior, yaitu Todung Mulya Lubis selaku ketua dan Henry Yosodiningrat selaku wakil ketua.
Sementara timnas Amin pekan lalu juga mengungkap indikasi kuat pelanggaran TSM. Tak main-main, ada Hamdan Zoelva, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), yang pernah memimpin persidangan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) tahun 2014 serta banyak perkara sengketa pilkada, dan menjadi Ketua Dewan Pakar Timnas Amin. Selain mantan Ketua KPK Abraham Samad, juga ada mantan Wakil Ketua KPK dan Ketua Tim Hukum Sengketa Pilpres Prabowo-Sandiaga Uno pada Pilpres 2019 sebagai Tim Pakar.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Lantas, apa sebenarnya kecurangan TSM dan bagaimana MK merespons hal tersebut? Dan, beranikah MK bisa menerima dalil kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif tersebut ataukah MK bertahan sebagai pemutus sengketa yang berkaitan dengan hasil semata? Untuk mengetahuinya, Kompas mencoba menyajikan pengertian seputar kecurangan TSM, keberanian MK menerima dalil kecurangan TSM dan MK tetap sebagai meutus sengketa terkait hasil pemilu semata?
Pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagai bagian dari pelanggaran administratif selama proses pemilu berlangsung. Pasal 463 UU Pemilu menyatakan, kewenangan untuk menangani pelanggaran TSM ada di Bawaslu.
Baca juga: Aksi Tolak Pemilu Curang di KPU
Dalil pelanggaran TSM pernah diajukan dalam Pilpres 2019 oleh pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ke MK. Saat itu, ada dugaan penyalahgunaan APBN untuk kepentingan elektoral seperti digunakan untuk menaikkan gaji PNS/TNI/Polri, gaji ke-13 dan pemberian THR lebih awal, menaikkan gaji perangkat desa, mencairkan dana bansos, mempercepat penerimaan PKH (Program Keluarga Harapan), dan lainnya.
MK dalam putusan sengketa pilpresnya menolak dalil-dalil tersebut karena dinilai tidak beralasan hukum. Sebab, MK menemukan fakta bahwa dalil-dalil kecurangan TSM tersebut tidak dilaporkan ke Bawaslu. Jika pun ada pengaduan atau temuan, Bawaslu sudah menindaklanjutinya serta tak ada fakta yang membuktikan bahwa Bawaslu tidak melaksanakan kewenangannya.
”Dalil pelanggaran TSM pernah diajukan dalam Pilpres 2019 oleh pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ke MK.
Calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan, calon wakil presiden nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, Kapten Timnas AMIN Muhammad Syaugi Alaydrus, Ketua Umum THN AMIN Ari Yusuf Amir seusai memimpin rapat Tim Hukum Nasional (THN) AMIN di Posko THN AMIN, Jakarta, Selasa (20/2/2024).
Syarat formal bisa ditiadakan
Lantas, bagaimana kira-kira dengan Pemilu Presiden 2024? Kompas sempat berbincang dengan Enny Nurbaningsih, hakim konstitusi yang juga juru bicara MK, mengenai dugaan kecurangan TSM. Enny menegaskan, kewenangan menangani sengketa pemilu sudah dibagi habis oleh UU Pemilu yang mengatur kewenangan MK dalam menangani sengketa yang berkaitan dengan hasil rekapitulasi suara secara nasional yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Sementara sengketa terkait dengan proses pemilu menjadi kewenangan Bawaslu.
Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan bagi MK untuk memeriksa proses pemilu yang pada ujungnya memengaruhi hasil terutama bila pemohon sengketa bisa membuktikan dalil-dalil kecurangannya dan lembaga penyelenggara pemilu tidak melaksanakan kewenangannya.
Bukan berarti MK mengambil alih kewenangan itu tetapi (MK) harus menegakkan konstitusi.
”Bukan berarti MK mengambil alih kewenangan itu, tetapi (MK) harus menegakkan konstitusi. Sebagai lembaga peradilan konstitusi, lembaga peradilan terakhir untuk menyelesaikan persoalan itu. Intinya di situ,” tegas Enny.
Hanya, MK tidak lagi menggunakan istilah TSM karena pelanggaran TSM sebenarnya sudah menjadi ranah Bawaslu untuk menyelesaikannya. ”Kewenangan Bawaslu sangat kuat. Dalam UU Pemilu, kuat sekali dia dibandingkan UU (Pemilu) yang dulu. Dengan sendirinya, semestinya Bawaslu menjalankan apa yang menjadi kewenangannya di situ. Tetapi ketika kewenangan tidak dijalankan, misalkan saya ambil contoh terkait pilkada, Pasal 158 itu bisa kami kecualikan. Tidak kami terapkan terlebih dahulu,” ujar Enny.
Pasal 158 UU 8/2015 tentang Pilkada mengatur syarat formil pengajuan sengketa pilkada MK. Disebutkan, hanya sengketa antarpaslon yang selisih suaranya berkisar antara 0,5 persen hingga 2 persen yang bisa ditangani oleh MK.
MK bisa menunda keberlakuan pasal tersebut jika memang ada persoalan yang bersifat substantif. Selain itu, MK dalam putusan sengketa pilkada pernah mendiskualifikasi calon bupati nomor urut 1 Erdi Dabi dalam Pilkada Kabupaten Yalimo Tahun 2020 karena tidak memenuhi syarat sebagai calon. Ia belum memenuhi jeda ”masa tunggu” lima tahun sejak berakhirnya masa pidana dan tidak mengumumkan statusnya sebagai terpidana secara terbuka kepada Masyarakat. MK juga pernah mendiskualifikasi Orient Patriot Riwu Kore sebagai calon bupati Sabu Raijua karena memiliki dwikewarganegaraan.
”Karena ini kan menyangkut keadilan pemilu yang harus ditegakkan. Kan begitu. MK sebagai peradilan konstitusi harus menegakkan itu. Karena sudah selesai semua. Tinggal ujungnya dibawa kemana, ya di bawa ke MK,” tegas Enny.
Suasana konferensi pers yang menghadirkan Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo-Mahfud MD Todung Mulya Lubis (kanan) dan praktisi hukum Henry Yosodiningrat (kiri). Keduanya memberi pernyataan seputar temuan kasus surat suara Panitia Pemilihan Umum Luar Negeri (PPLN) di Media Center TPN Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Jakarta, Jumat (29/12/2023). Todung juga mengecam terjadinya kekerasan terhadap sukarelawan Ganjar-Mahfud, yang berakibat kematian dan luka-luka, Sabtu (30/12/2023).
Keberanian MK
Pertanyaan lainnya, apakah MK berani memasuki ranah tersebut dalam Pemilu Presiden 2024? Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, tidak yakin MK berani untuk masuk ke dalam pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya kualitatif.
Merujuk pada kasus diskualifikasi calon kepala daerah dalam Pilkada Kabupaten Sabu Raijua yang tidak memenuhi syarat formal, Charles menilai ada masalah serupa dalam pencalonan Gibran Rakabuming Raka. Ada persoalan belum memenuhi syarat usia, tetapi kemudian diberi jalan oleh putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun, tetapi berpengalaman/sedang menjabat kepala daerah untuk mencalonkan diri.
Persoalan itu, bagi Charles, sudah merupakan bagian dari kecurangan yang bersifat TSM. Hal ini sudah dikuatkan dengan adanya putusan etik terhadap komisioner KPU oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dan juga Majelis Kehormatan MK dalam kasus hakim konstitusi Anwar Usman.
”Kalau MK berani, itu bisa memenuhi syarat bahwa proses pencalonannya cacat formal,” kata Charles. Begitu pun ketika MK nantinya dihadapkan pada persoalan pelanggaran kualitatif seperti pembagian bansos yang dinilai lebih menguntungkan paslon tertentu. MK akan meminta pembuktian seberapa besar pengaruh pembagian bansos tersebut terhadap perolehan suara. ”Selama ini kan sulit dibuktikan. Kadang-kadang MK juga tidak mau masuk ke situ,” tambahnya.
Selama ini kan sulit dibuktikan. Kadang-kadang MK juga tidak mau masuk ke situ.
Charles sepakat dengan pandangan bahwa telah terjadi kecurangan yang terstruktur, TSM. Kecurangan bersifat TSM terjadi bila melibatkan aparat pemerintahan, penyelenggara pemilu, dan terjadi secara masif. ”Ini sudah terstruktur kok. Ada pelibatan aparat. Ada pelibatan KPU yang melanggar etik dalam beberapa kasus. Ada Bawaslu yang juga tidak bekerja secara maksimal, banyak laporan diabaikan,” katanya.
Terlepas dari itu semua, ia ingin menegaskan, bila MK mau dan berani, kecurangan TSM menjadi ranah MK untuk bisa menyelesaikannya. Kecurangan TSM tidak cuma menjadi kewenangan Bawaslu. Pasalnya, apa yang ditangani Bawaslu belum memengaruhi hitung-hitungan hasil pemilu.
Tim Hukum dan Advokasi Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud mengisi formulir untuk menyerahkan berkas pelaporan di Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Fokus pada kecurangan suara
Praktisi hukum yang juga pegiat Tim Advokasi Peduli Pemilu (TAPP), Gugum Ridho Putra, tidak sependapat dengan Charles. Dalil kecurangan yang bersifat TSM sudah tidak bisa digunakan di MK. Ia mengacu pada putusan sengketa pemilu sejak tahun 2014 dan 2019 dimana MK menolak semua dalil TSM.
”Kalau bicara MK, kewenangannya adalah sengketa hasil pemilu. Dalam praktiknya saat kita menangani sengketa pemilu maupun pilkada hingga hari ini ya begitu. Kalau tahun 2008, zaman Prof Mahfud, ya, betul begitu. Itu kan kemunculan pertama TSM. Sekarang undang-undangnya sudah diganti dengan UU No 7/2017. Era 2017 ke sini, TSM itu sudah dipersempit menjadi pelanggaran proses. Tidak bisa dibawa ke MK,” jelas Gugum, advokat yang sudah menangani setidaknya 20 perkara sengketa sejak 2014.
Berdasarkan pengalamannya, yang bisa diterima MK adalah bagaimana membuktikan suara tersebut diperoleh dengan cara yang curang.
Berdasarkan pengalamannya, yang bisa diterima MK adalah bagaimana membuktikan suara tersebut diperoleh dengan cara yang curang. Meskipun selisih suara antarpasangan calon sangat tinggi jika mengacu pada quick count atau hitung cepat (pasangan calon 2 memperoleh kurang lebih 58 persen, pasangan 1 sekitar 25 persen, dan pasangan 3 dengan 16 persen), Gugum masih melihat adanya peluang untuk mengubah keadaan. Atau, setidaknya membuat pemilu menjadi dua putaran.
”Sekarang mau dijadikan gagal (satu putaran), supaya tidak 50 persen misalnya 49,9 persen, jika berpatokan pada quick count sekarang berarti harus membatalkan 8-9 persen. Katakanlah 8 persen dikali 200 juta mata pilih, berarti sekitar 16 juta harus dibuktikan kecurangannya supaya satu putarannya gagal,” katanya.
Ada metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk membuktikan hal tersebut dan tidak harus tersebar di semua provinsi. Gugum pun menguraikan model-model yang bisa membatalkan suara pemilih yang biasa dikabulkan MK, misalnya adanya kesalahan prosedur, ada pemilih yang tidak berhak, serta dalil-dalil kecurangan lainnya.
”Soal pemilih yang tidak berhak, cari saja di DPT (Daftar Pemilih Tetap) misalnya yang sudah meninggal, yang di bawah umur, atau yang namanya ganda. Aturan hukumnya jika di TPS itu ada satu saja yang mencoblos ganda, maka 100 persen harus diulang. Begitu aturan hukumnya. Makanya kalau saya ditanya potensial enggak, ya, menurut saya potensial,” ujar Gugum.
Hakim konstitusi, M Guntur Hamzah, Suhartoyo, dan Daniel Yusmic P Foekh (dari kiri ke kanan), hadir dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (8/11/2023). MK kembali menggelar sidang gugatan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang diajukan mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana. Sidang yang dipimpin oleh hakim konstitusi, Suhartoyo, tersebut beragendakan pemeriksaan pendahuluan.
Tak usah ke MK
Mereka akan bilang, tuh kan MK sudah menolak permohonan Anda. Berarti apa yang Anda tuduhkan tidak terbukti. Jadi benar dong kami menang secara legal dan konstitusional.
Namun, Charles tak sependapat dengan Gugum. Menurut dia, sulit untuk dapat memenangi perkara sengketa pemilu di MK jika menggunakan pendekatan angka-angka. Ia yakin, MK akan menolak dalil-dalil tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, ia mengusulkan sebuah usulan out of the box: tak usah mengajukan sengketa pemilu ke MK. Sebab, bila pengajuan keberatan atas hasil KPU ditolak, hal itu justru memberi legitimasi terhadap kemenangan Prabowo-Gibran.
Baca juga: Ketika ”Anak SD” Sindir Rekapitulasi KPU
”Mereka akan bilang, tuh kan MK sudah menolak permohonan Anda. Berarti apa yang Anda tuduhkan tidak terbukti. Jadi benar dong kami menang secara legal dan konstitusional,” kata Charles.
Oleh karena itu, ia merasa lebih baik pasangan calon nomor 1 dan 3 mendeklarasikan bahwa mereka menolak hasil KPU tetapi tidak ke MK karena tidak percaya pada Lembaga peradilan konstitusi tersebut. ”Biarlah cacat itu dibawa terus oleh Prabowo-Gibran,” usulnya.
Namun, bagaimana usul itu bisa diterima oleh Tim Paslon Nomor urut 1 dan nomur 3. Masih ada waktu hingga 20 Maret saat KPU mengumumkan hasil rekapitulasi suara secara nasional, yang kemudian diikuti dengan tiga hari waktu pendaftaran sengketa ke MK. Kita tunggu saja.