Wapres: Kontestasi Politik Jangan Dikaitkan dengan Isu Agama
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengajak menjelang Pemilu 2024 agar isu agama tidak dikaitkan dengan kontestasi politik.
Oleh
DAHLIA IRAWATI, MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Wakil Presiden Ma’ruf Amin menegaskan bahwa moderasi beragama adalah perisai untuk menolak pendekatan sekuler yang memisahkan agama dari urusan negara serta konsep negara yang diatur oleh satu agama tertentu. Moderasi beragama juga akan menciptakan harmonisasi tanpa mendiskriminasi salah satu agama atau keyakinan. Menjelang Pemilu 2024, Wapres mengajak agar isu agama tidak dikaitkan dengan kontestasi politik.
”Masih adanya kasus penolakan pendirian rumah ibadah di beberapa daerah, juga kontestasi politik yang dikaitkan dengan isu agama, mengindikasikan masih ada pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan,” ujar Wapres Amin ketika memberikan kuliah umum dalam acara Dies Natalis Ke-43 Universitas Islam Malang (Unisma) dengan tema ”Quo Vadis Moderasi Beragama dalam Bingkai Merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Peradaban Dunia” di Malang, Jawa Timur, Jumat (19/1/2024).
Pekerjaan rumah terkait moderasi beragama ini tidak hanya menuntut peran pemerintah, tetapi juga seluruh komponen masyarakat, pemuka agama, media, partai politik, termasuk institusi pendidikan. Pada dasarnya, moderasi beragama menjadi simbol keseimbangan antara kehidupan beragama dan bernegara sehingga tercipta toleransi dan kerukunan.
Wapres juga menegaskan, pemerintah telah mencanangkan visi Indonesia Emas 2045. Untuk menuju pencapaian visi tersebut, persatuan bangsa yang berlandaskan kerukunan umat menjadi prasyarat mutlak. ”Di sinilah moderasi beragama memegang peranan kunci untuk memastikan seluruh program dan rencana kerja bisa diimplementasikan secara maksimal,” tambahnya.
Menurut Wapres, konsep moderasi beragama sejalan dengan konsep Islam wasathiyyah yang mengajarkan umat Islam untuk menghindari ekstremisme dan menjaga cara hidup yang seimbang. ”Sejarah panjang bangsa telah membuktikan bahwa kebinekaan tidak semestinya membawa perpecahan, tetapi justru menjadi anugerah, modal, dan kekayaan yang mempersatukan,” kata Wapres.
Kebinekaan inilah yang hendaknya diejawantahkan dalam keseharian, di antaranya melalui sikap cinta tanah air, toleransi, antikekerasan, juga penghormatan terhadap tradisi. Fondasi persatuan di atas keberagaman ini harus terus dirawat dan dikelola sehingga tidak menimbulkan ancaman bagi keutuhan bangsa.
Sejarah panjang bangsa telah membuktikan bahwa kebinekaan tidak semestinya membawa perpecahan, tetapi justru menjadi anugerah, modal, dan kekayaan yang mempersatukan.
Unisma sebagai institusi pendidikan yang berbasis Islam diharapkan mampu menjadi garda terdepan dalam pembentukan karakter generasi muda yang moderat. Apalagi, Unisma merupakan Kampus Pelopor Gerakan Antiradikalisme, sekaligus kampus yang menjadi proyek percontohan Kementerian Agama dalam pengembangan moderasi beragama dan bela negara.
Wapres, antara lain, berpesan agar Unisma mempertajam literasi kerukunan dan persatuan dalam ekosistem pendidikan, sembari terus membumikan cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang maju dan moderat.
Selanjutnya, praktik moderasi beragama yang sudah berjalan baik agar diperkuat untuk mengantisipasi potensi ancaman ajaran dan ideologi radikalisme yang rentan menyebar melalui kanal digital. ”Kita menginginkan pengalaman Indonesia dalam melaksanakan moderasi beragama bisa menjadi referensi dunia dalam mengelola perbedaan dan keberagaman di tingkat global,” ucap Wapres Amin.
Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elistianto Dardak menyampaikan, di Jatim, indeks kerukunan umat beragama sebesar 77,35. Angka itu di atas rata-rata indeks kerukunan nasional, yaitu 76,02. ”Artinya, Jawa Timur terus berusaha menjaga kerukunan antarumat beragama, dan ini adalah hasil dari sinergi dan juga ketokohan serta alim ulama di masyarakat. Semoga hal ini akan senantiasa terjaga,” kata Emil.
Emil, sebagaimana mengutip pesan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, mengatakan agar masyarakat menjaga mutual respect dan mutual trust, yaitu saling menghormati dan memercayai.
”Jatim diharapkan menjadi oase kebinekaan. Ada keberagaman di Jatim. Misalnya, disebutkan di Unisma tadi, ada 15.000 mahasiswa dari 38 kabupaten/kota dan dari 41 negara lain. Ini akan jadi model moderasi beragama yang bagus jika dikembangkan dan ditata dengan baik,” katanya.
Adapun Rektor Unisma Maskuri menyampaikan, tahun 2020 saat Wapres Amin juga berkunjung ke Unisma, kampus yang identik dengan Nahdlatul Ulama (NU) tersebut ditetapkan sebagai kampus antiradikalisme. ”Sejak itu dosen dan mahasiswa Unisma sudah menjadi agen moderasi. Unisma telah melakukan berbagai langkah dengan memasukkan program-program strategis, termasuk mengembangkan Islam moderat dalam pembelajaran,” katanya.
Bagi Maskuri, moderasi beragama juga mempunyai misi strategis menciptakan harmoni di dunia. Moderasi beragama merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.
”Dengan cara inilah setiap umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan, melainkan keharusan,” katanya.